Dr. KARL MAY PURI RODRIGANDA JILID II Sumber Pdf: http://id.karlmay.wikia.com/wiki/E-Book Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net BAB I STERNAU, DOCTOR MEDICUS Semenjak terjadi peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam buku yang lampau, setengah tahun telah berlalu. Dari arah pegunungan Pirenea bagian selatan, datanglah seorang penunggang kuda menuju ke arah kota lama Spanyol yang kenamaan itu, Kota Manresa (di propinsi Barcelona). Ia mengendarai kuda yang luar biasa kuatnya. Itu perlu juga, karena penunggangnya pun bertubuh besar serta kuat pula. Dan sesuai dengan pengalaman kita, bahwa orang-orang yang bertubuh kuat seperti dia itu mempunyai jiwa yang lembut, yang suka damai, maka wajah orang yang terbuka dan menimbulkan kepercayaan ini tidaklah membayangkan kesan, bahwa ia dapat menyalahgunakan kekuatan tubuhnya itu. Rambut yang pirang dan raut mukanya menunjukkan bahwa ia bukanlah orang dari daerah selatan. Usianya baru kira-kira tiga puluh tahun, tetapi sikap yang menunjukkan ketenangan, banyak pengalaman, dan kepercayaan kepada diri sendiri membuat dia kelihatan lebih tua. Bajunya berpotongan Perancis terbuat dari cita yang halus dan di belakang pelana diikatkan sebuah tas yang berisi barang-barang yang dianggap sangat penting oleh penunggang kuda itu, sehingga setiap kali ia meraba untuk memastikan barang itu masih ada padanya. Sesampainya di Manresa, hari sudah siang. Ia menempuh lorong-lorong sempit dan tiba di plaza. Di situ perhatiannya tertarik kepada sebuah rumah tinggi yang baru didirikan. Di atas pintu tertulis dengan huruf-huruf keemasan, "Hotel Rodriganda". Ia tampak tergesa-gesa sekali dan tidak hendak tinggal di Manresa. Namun ketika dibacanya tulisan tadi, ia menghentikan kudanya di hadapan pintu gerbang hotel dan turun dari atas kudanya. Ketika ia berdiri, kita baru dapat mengaguminya dengan sungguh-sungguh. Meskipun mula-mula tubuhnya tampak besar sekali, namun kesan ini kini berkurang, melebur secara harmonis dengan sifat-sifat tubuh yang lain yang mendatangkan rasa kagum dan segan kepada orang yang melihatnya. Beberapa orang pelayan menyambut dengan segala hormat. Ia menyerahkan kudanya, lalu masuk ke dalam ruangan yang diuntukkan bagi tamu-tamu terkemuka. Hanya ada seorang di dalam ruangan itu, yang langsung menyambutnya dengan hormat. "Buenas tardes-selamat sore!" salam orang asing itu. "Buenas tardes!" jawab orang itu. "Saya pemilik hotel ini. Anda hendak bermalam?" "Tidak. Saya hanya akan memesan makanan kecil dan minum anggur!" Pemilik hotel segera meneruskan pesanan itu kepada orang-orangnya, lalu bertanya, "Jadi Anda tidak hendak bermalam di Manresa." "Saya ingin melanjutkan perjalanan ke Rodriganda. Berapa jauh dari sini?" "Sejam perjalanan dari sini, Senor. Tadi kelihatan Anda ingin melampaui hotel kami begitu saja." "Memang," jawab orang asing itu. "Nama hotel Anda membuat saya mengubah rencana saya. Apa sebab Anda menamakan rumah Anda 'Rodriganda'?" "Karena saya pernah menjadi abdi Pangeran selama bertahun-tahun dan berkat kebaikannya saya dapat mendirikan hotel ini." "Jadi Anda mengenal baik keadaan Pangeran?" "Baik sekali." "Saya seorang dokter dan maksud saya pergi ke Pangeran. Maka saya ingin mendengar sesuatu tentangnya. Siapa-siapakah yang dapat saya jumpai di Puri Rodriganda?" Pemilik hotel tampak suka sekali berbicara pada sore hari yang sepi itu. Maka ia menjawab, "Saya suka sekali memenuhi keinginan Anda. Saya dengar dari ucapan kata-kata Spanyol yang Anda gunakan, bahwa Anda adalah orang asing. Apakah Anda diundang Pangeran yang sedang sakit itu untuk mengobatinya?" Orang asing itu menggoyang-goyangkan kepala sedikit, karena agak ragu-ragu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Kemudian ia berkata, "Memang benar perkiraan Anda. Saya ini orang Jerman dan namaku Sternau. Sudah lama saya menjabat sebagai pembantu pertama profesor Letourbier di Paris. Beberapa waktu yang lalu saya diundang untuk secepatnya berkunjung ke Rodriganda." "Sayang. Mungkin Anda tidak sempat menjumpai Pangeran dalam keadaan hidup. Sejak beberapa waktu beliau menderita penyakit mata yang tidak tersembuhkan menurut dokter. Lagipula akhir-akhir ini beliau menderita penyakit kencing batu, yang sangat banyak mendatangkan rasa nyeri dan sangat berbahaya itu. Hanya pembedahan dapat menyelamatkan nyawanya. Beliau rela menjalani pembedahan ini, lalu datanglah dua ahli bedah termasyhur untuk membedahnya. Namun keinginan beliau itu ditentang oleh putri tunggal beliau, yaitu Condesa Roseta. Para dokter tidak dapat menunggu dan kemarin saya dengar, bahwa pembedahan akan dilakukan hari ini juga." "Wah! Kalau begitu saya terlambat!" seru orang asing itu lalu bangkit. "Saya harus berangkat sekarang juga. Masih ada kemungkinan saya belum terlambat." "Saya pun berpendapat demikian. Tak ada dokter yang bersedia melakukan pembedahan seperti itu pada waktu magrib. Lagipula mereka masih belum berani melakukan pembedahan itu, karena pekerjaan itu selalu ditentang oleh Condesa, meskipun para dokter dan terutama putra Pangeran tidak akan menunda-nunda." "Jadi Pangeran Manuel de Rodriganda Sevilla mempunyai seorang putra?" "Benar. Seorang putra tunggal bernama Pangeran Alfonso, yang lama pernah tinggal pada pamannya, seorang tuan tanah di Meksiko. Ia dipanggil pulang oleh ayahnya ketika penyakit mata ayahnya ternyata tidak tersembuhkan." "Kenalkah Anda pada Mindrello?" "Tentu saja. Setiap orang mengenalnya. Mindrello seorang yang miskin tetapi jujur. Ia disangka kadang-kadang melakukan pekerjaan menyelundup. Karena itu juga ia diberi nama Mindrello penyelundup. Namun ia dapat dipercaya. Hatinya lebih baik daripada banyak di antara mereka yang memandang rendah kepadanya." "Terima kasih, Senor. Setelah mendengar segala keterangan Anda, saya tidak boleh tinggal lebih lama lagi di sini. Selamat sore!" "Selamat sore, Senor! Saya harap Anda tidak akan datang terlambat." Sternau membayar dan menyuruh menyediakan kudanya, lalu pergi mengendarai kuda itu. Hari sudah menjelang malam, sehingga sukar baginya untuk sampai di Rodriganda sebelum gelap. Sambil mengendarai kuda dikeluarkannya dari dalam saku sepucuk surat, dan dibukanya. Meskipun sudah berkali-kali dibaca masih ingin juga ia membacanya sekali lagi. Surat itu ditulis oleh seorang wanita, demikianlah bunyinya, Rodriganda, 16. 5. 1848. Kepada Tuan dr. Sternau, Paris, 24 rue Vaugiraid. Kawan yang baik! Kita sebenarnya telah berpisah lama. Akan tetapi beberapa peristiwa telah terjadi, yang menyebabkan kehadiran Anda di sini sangat diperlukan. Anda harus menyelamatkan jiwa Pangeran Rodriganda! Datanglah secepat mungkin, dan bawalah serta alat-alat kedokteran Anda! Hubungilah Mindrello, penyelundup itu dan tanyakan tentang saya! Sekali lagi permohonan saya, supaya Anda lekas datang. Kawan Anda, Roseta. Setelah dibacanya surat itu, lalu dilipat lagi dan disimpan ke dalam sakunya. Kini jalannya melalui hutan pohon eik, namun tidak dilihatnya pohon-pohon yang tumbuh di tepi jalan itu. Pikirannya melayang-layang ke Kota Paris, ketika ia pertama kali bertemu dengan gadis penulis surat itu. Kejadian itu berlangsung di Jardin des Plantes (Kebun Raya), ketika ia tiba-tiba melihatnya di balik serumpun tumbuh-tumbuhan sedang duduk termenung di atas sebuah bangku. Terpesona oleh kecantikan gadis yang luar biasa itu, maka ia tertegun sejenak. Gadis itu berdiri dan kini kecantikannya bertambah lagi. Belum pernah dilihatnya seorang gadis yang begitu cantik, begitu sempurna, yang dianggap sebagai tidak mungkin. Ia, sebagai seorang dokter berpengalaman, merasa nadinya berhenti berdenyut dan jantungnya memeras darahnya ke pelipis dan pipi. Saat itu merupakan saat bersejarah baginya-dan bagi gadis itu juga. Mereka saling mencintai, meskipun cinta itu menemui jalan buntu. Dokter itu hanya boleh bertemu dengan kekasihnya di dalam taman itu saja. Gadis itu menurut pengakuannya, seorang dayang Condesa (putri) Roseta de Rodriganda Sevilla, bersama ayahnya yang buta tinggal di Paris dan dayang condesa telah mengangkat sumpah, tidak akan menikah selama hidupnya. Apakah alasannya berbuat demikian, tidak dikatakannya juga. Dokter itu sangat berbahagia mengetahui, bahwa ia tidak bertepuk sebelah tangan, namun ia merasa sedih mengingat keputusan yang diambil kekasihnya mengubah pendiriannya. Ia memohon dan membujuk. Gadis itu menangis, tetapi bertahan pada pendiriannya semula. Kemudian gadis itu pergi dan dokter harus berjanji, tidak akan menanyakan tentang dia. Semenjak itu tiada henti-hentinya ia memerangi kesedihan hatinya. Kemudian ia menerima surat ini. Ia membaca dan badannya gemetar. Tanpa merundingkan dengan seseorang lagi, ia mengemasi alat-alat yang diperlukan, lalu berangkatlah ia, memenuhi permintaan kekasihnya. Ia melarikan kuda sekencang-kencangnya, sehingga pada saat matahari terbenam ia sudah tiba di desa Rodriganda. Desa itu tampak lebih baik dan lebih ramah daripada desa-desa Spanyol pada umumnya. Jalan-jalannya lebar serta bersih. Rumah-rumahnya dengan kaca jendela yang seolah-olah mengajak para tamu singgah sebenar. Itu merupakan suatu tanda, bahwa Pangeran Manuel de Rodriganda y Sevilla bukan hanya pandai memerintah, tetapi juga senantiasa berusaha menambah kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya. Sternau menanyakan kepada seseorang yang dijumpainya, di mana rumah Mindrello. Orang itu menunjuk rumah yang terletak di ujung desa. Di hadapan rumah itu Sternau menghentikan kuda dan turun, lalu masuk ke dalam rumah. Penghuni rumah sekeluarga sedang makan malam. "Apakah di sini rumah Mindrello?" tanya Sternau kepada seseorang. "Benar, Senor, itu saya sendiri!" jawab orang itu, sambil bangkit dari kursi. Orang itu bertubuh tegap dan kuat. Pada roman mukanya dapat dilihat, bahwa ia seorang yang jujur dan dapat dipercaya. "Kenalkah Anda pada dayang Condesa Rodriganda?" "Siapakah namanya?" tanya orang Spanyol itu dengan wajah tegang. "Roseta." "Astaghfirullah, kalau begitu Anda Senor Sternau dari Paris." "Benarlah demikian." Maka mereka sekeluarga bangkit dari kursi masing-masing dan berjabat tangan dengan Sternau dengan muka berseri-seri. Anak-anak yang kecil pun turut berdiri dan memberanikan diri mengulurkan tangan kepada tamunya. "Kami semua bergembira pada kedatangan Anda!" seru Mindrello. "Anda datang tepat pada waktunya. Condesa, maksud saya Nona Roseta dayang itu, sedang resah hatinya. Segera akan saya beritakan kepadanya." "Apakah Pangeran hari ini juga sudah mengalami pembedahan?" "Belum. Condesa mohon dan berdoa, supaya jangan dikerjakan hari ini. Tetapi besok pekerjaan itu pasti tidak dapat ditunda lagi. Condesa yakin, bahwa Anda akan datang, Senor." "Kalau begitu Condesa mengetahui juga tentang surat yang ditulis oleh dayangnya itu." "Hm, ya, benar Condesa pasti mengetahui," jawab orang Spanyol itu agak kemalu-maluan. "Tetapi untuk hari ini sudah kami sediakan kamar untuk Anda di loteng, kamar yang ada bunga-bungaan di muka jendelanya. Akan saya antarkan Anda ke situ dengan makanan malamnya, sebelum nona itu datang." "Dan kuda saya?" "Dapat ditempatkan di rumah tetangga saya. Kuda akan diberi makan juga di situ. Maukah Anda mengikuti saya, Senor?" Mindrello mengantar Sternau naik tangga kecil ke sebuah kamar yang rapi bersih di loteng, langit-langitnya begitu rendah, sehingga dokter itu hampir menyentuh dengan kepalanya. Kemudian makanan diantar ke situ. Dalam pada itu Sternau dapat menikmati pemandangan puri melalui jendela kamar. Puri itu dibangun pada zaman ketika bangsa Arab memerintah di situ. Bentuknya seperti bujur sangkar luas, dihiasi dengan kubah-kubah yang sangat indah. Meskipun dinding-dindingnya tampak kukuh dan tegap, namun keseluruhannya dengan segala menara-menaranya yang cantik mungil menunjukkan kehalusan dalam cara membangun. Bangunan agung ini nampak cemerlang dikitari oleh hutan pohon eik yang gelap. Barangsiapa memandang pada saat matahari sedang terbenam dengan sisa-sisa warna merah di ufuk barat yang memesona, akan menyangka dirinya di alam dongeng. Tak lama kemudian senja berganti dengan malam. Puri dan desa diliputi oleh bayangan hitam. Sternau menyalakan lampu dan memeriksa alat-alat kedokteran yang diantarkan oleh Mindrello ke kamarnya di atas loteng sebelum ia membawa kuda ke rumah tetangganya. Kemudian Sternau mendengar pintu kamarnya diketuk orang. "Masuklah!" serunya. Pintu kamar dibuka dan tiba-tiba berdirilah di hadapannya gadis yang memegang peran dalam mimpi-mimpinya. "Roseta..." Sepatah kata itulah yang hanya dapat diutarakannya. Suara gadis itu gemetar, ketika ia bertanya, "Carlos, masih ingatkah Anda pada saya?" "Masih ingat?" kembali Sternau bertanya. "Mintalah apa pun dari saya, asal jangan minta harus melupakan Anda." "Namun perlu juga itu. Tetapi hari ini kita masih boleh bertemu, maka kini saya datang untuk mengucapkan terima kasih pada kedatangan Anda. Mari saya ceritakan, apa sebab saya sangat menginginkan kedatangan Anda!" "Surat Anda tidak begitu jelas. Mungkinkah maksud Anda, bahwa Pangeran dalam bahaya? Di Manresa saya mendengar bahwa beliau harus menjalani pembedahan." "Memanglah demikian, akan tetapi masih ada hal-hal lain yang membuat saya merasa khawatir. Tentang hal itu hanya dapat saya terangkan secara lisan, karena saya menaruh kepercayaan kepada Anda. Hati saya mengatakan, bahwa selain penyakitnya masih ada bahaya lain yang mengancam Pangeran. Akan tetapi sekarang saya tidak takut lagi, karena Anda sudah di sini." Wajah Sternau berseri-seri mendengar pujian itu. Ia mengulurkan kedua belah tangan lalu berkata, "Anda menaruh kepercayaan yang begitu besar kepada saya. Itu tanda Anda masih mencintai saya." Gadis itu menyambut uluran tangan Sternau dan menjawab, "Benar, Carlos, saya masih mencintai Anda. Cinta saya masih sama dengan ketika saya harus berpisah dengan Anda dan saya selamanya akan mencintai Anda. Sampai saat ini sikap saya menjadi teka-teki bagi Anda, tetapi besok akan dapat Anda pecahkan teka-teki itu dan sekaligus akan mengerti, mengapa saya harus bersikap demikian." "Mengapa baru besok? Mengapa tidak sekarang saja?" "Karena saya tidak sanggup mengutarakannya dengan kata-kata apa yang akan Anda dengar besok. Dan sekarang Carlos, janganlah kita mulai menyalahkan nasib kita, melainkan hendaklah kita mencari kebahagiaan dalam kasih kita yang suci, yang menjadi penghubung di antara kita satu sama lain, meskipun kita terpaksa dipisahkan oleh keadaan! Marilah kita perbincangkan tanpa luapan emosi tentang maksud saya mengundang Anda ke mari." Sternau memaksa dirinya tetap bersikap tenang dan menyilakan kekasihnya duduk. "Akan saya terangkan maksud saya memohon kedatangan Anda ke mari," demikian dimulainya. "Anda mengetahui, bahwa Pangeran menderita penyakit mata yang gawat. Di samping itu beliau menderita suatu penyakit tambahan, yaitu penyakit kencing batu yang sangat mendatangkan rasa nyeri. Dan para dokter yang diminta pertolongannya berpendapat, bahwa hanya pembedahan dapat menolong. Pangeran telah menyatakan diri rela menjalani pembedahan. Condesa sangat mengasihi ayahnya yang malang itu. Ia pun merupakan tangan kanan serta mata ayahnya, yang sudah tidak dapat melihat. Maka Condesa berdoa siang dan malam, mohon kepada Tuhan perlindungan bagi ayahnya, karena ia selalu diliputi rasa takut, kalau-kalau suatu bencana akan menimpa diri ayahnya yang malang itu. Para dokter yang merawat Pangeran adalah orang-orang berhati dingin yang tidak dapat dipercaya. Cortejo, notarisnya dan Senora Clarissa, yang selalu hadir dekat Pangeran, tampak seperti hantu-hantu yang mengerikan, yang haus darah Pangeran, dan selanjutnya Alfonso, putra Pangeran itu-o, betapa sedih hati Condesa!" Roseta menutup mukanya dengan tangan dan menangis. Sternau menarik tangan gadis itu dari matanya lalu membujuk, "Janganlah menangis, Senorita! Curahkan isi hati Anda kepada saya, dengan demikian hati Anda akan merasa lega." "Baik," jawab gadis itu sambil menahan tangis dan menghapus air matanya. "Condesa masih kecil sekali ketika berpisah dengan saudaranya Alfonso. Delapan belas tahun kemudian saudaranya akan kembali lagi. Condesa gembira sekali mendengar berita itu. Ketika saudaranya tiba, Condesa menyambut dengan hangat. Ia hendak menghampiri dan memeluk saudaranya. Namun ia hanya dapat menindakkan kaki selangkah saja. Ia tidak dapat menyentuh orang di hadapannya itu, apalagi memeluknya. Apa sebab ia berbuat demikian tidak diketahuinya sendiri; seolah-olah ada suara dalam hati yang menasihatinya supaya berhati-hati. Pandangan matanya kejam dan suaranya tanpa kasih. Dan ketika setiap hari diamati tingkah laku saudaranya itu, dilihatnya bahwa ia hanya menaruh perhatian kepada ayahnya untuk mengetahui bilamanakah ia akan meninggal. Maka Condesa putus ada dan akhirnya ia menulis-maksud saya, ia menyuruh saya menulis surat kepada Anda." "Apa yang ada dalam kuasa saya akan saya kerjakan," kata Sternau. "Pembedahan itu akan dilaksanakan besok?" "Benar. Para dokter tidak bersedia menunda lagi. Saya dengar juga, bahwa pembedahan akan dilaksanakan pukul sebelas." "Apakah saya dibolehkan melihat dan berbicara dengan Pangeran sebelum waktu itu?" "Tentu, asal Anda harus menghadap Condesa lebih dahulu. Pergilah menghadap Condesa pukul sembilan! Sudah pernahkah Anda melakukan pembedahan dalam kasus kencing batu itu?" Sternau tersenyum. "Kerap kali sudah, Senorita. Malah dapat saya katakan tanpa menyombongkan diri, bahwa saya ahli dalam perkara itu." "Apakah pembedahan demikian berbahaya?" "Tergantung! Untuk memastikannya, maka pasien harus diperiksa lebih dahulu! Biar kita bersabar dahulu hingga pemeriksaan selesai dilakukan." "Benar, kita harus menunggu! Saya menaruh kepercayaan penuh pada Anda. Hanya Andalah yang dapat menyelamatkan, bila masih belum terlambat." Gadis itu bangkit. "Anda mau pergi, Senorita?" "Ya, karena kehadiran saya diperlukan di sana. Jadi Anda akan datang pukul sembilan?" "Tentu saya datang. Bolehkah saya menemani Anda berjalan, Senorita?" "Hari sudah gelap. Kita tidak akan dilihat orang. Maka Anda boleh menemani saya sampai ke puri!" Mereka meninggalkan rumah Mindrello dan berjalan bergandengan tangan. Setelah mereka sampai di pintu pagar taman, Sternau mengangkat tangan kekasihnya dan menciumnya. "Selamat malam, Carlos," kata Roseta dengan ramah. "Beristirahatlah untuk melepaskan lelah." "Selamat malam, Senorita!" Sternau hendak pergi, tetapi gadis itu mendekati dan berbisik kepadanya, "Carlos-ku, maafkan saya dan janganlah bersedih hati!" Kemudian gadis itu pergi dan masuk ke dalam taman. BAB II GASPARINO CORTEJO Tepat pada waktu dua sejoli sedang berpisah, maka di dalam salah satu kamar di puri sedang diadakan percakapan yang agak ganjil sifatnya. Penghuni kamar salah seorang dari kedua orang ahli bedah, yang ditugaskan dengan dibantu seorang dokter dari Manresa, melakukan pembedahan pada Pangeran. Senor Gasparino Cortejo, jabatan advokat dan notaris, hadir dalam kamar itu. Ia bangkit hendak minta diri, lalu berkata dengan dinginnya. "Jadi Anda berpendapat, bahwa pembedahan itu membahayakan jiwa pasien?" "Sudah pasti!" "Dokter-dokter kolega Anda tidak akan mengemukakan keberatannya?" "Mereka tidak berani mempunyai pendirian lain dari pada saya. Mereka mengetahui, bahwa saya benar-benar ahli dalam bidang pembedahan," bunyi jawabnya yang congkak. "Baik. Tetapi Anda telah meyakinkan Pangeran, bahwa ia akan diselamatkan?" "Tentu." "Maka segalanya akan tetap berlangsung seperti yang kita rencanakan semula. Pembedahan akan dilaksanakan pukul delapan tanpa sepengetahuan Condesa. Honorarium Anda yang lumayan besarnya akan Anda terima di rumah saya di Manresa. Selamat malam!" "Selamat malam!" Kedua orang itu berjabatan tangan dengan sopan santun, seolah-olah mereka berdua orang-orang yang terhormat. Advokat tidak langsung pergi ke kamarnya, melainkan mengunjungi Senora Clarissa, yang cepat-cepat pergi menghampiri advokat itu. Itu merupakan tanda, bahwa wanita itu sudah lama menanti. Mereka pergi ke kamar wanita itu, lalu mengunci pintu erat-erat, supaya tidak ada orang yang dapat mendengarkan percakapannya. Notaris tidak berpakaian nasional Spanyol, melainkan berpakaian hitam. Gerak-gerik tubuhnya yang kurus, tinggi, dan bungkuk sabut itu memberi kesan watak yang suka melempar batu sembunyi tangan. Garis-garis tajam pada wajahnya mengingatkan pada seekor burung buas, sehingga sukarlah bagi kita untuk tidak merasa takut berhadapan dengan orang itu. Kesan dari wajah yang menakutkan itu diperkuat lagi oleh matanya yang senantiasa mengintai mangsa. Senora Clarissa adalah seorang wanita bertubuh besar. Raut muka wanita yang berusia hampir lima puluh tahun itu kasar, menyerupai seorang pria. Perlu ditambahkan lagi, bahwa pandangan matanya agak juling. "Silakan duduk, Gasparino," kata wanita itu, sambil duduk sendiri di atas divan bersalut kain beledu. "Aku telah lama menantimu. Kabar apa yang kau bawa?" "Kabar baik," jawab Notaris, sambil duduk di sebelahnya. "Ahli bedah itu telah menyetujui usulku." "Maka akhirnya kita akan dapat memetik dan menikmati buah pengorbanan kita yang demikian lama itu. Dapatkah pembedahan itu menyebabkan kematian?" "Sudah pasti." "Yah, itu sudah suratan takdir Pangeran," kata wanita itu sambil menengadah ke langit. "Akhirnya Tuhan dapat melepaskannya dari segala penderitaannya. Oleh karena itu kita harus merelakan kepergian Pangeran. Akan tetapi bagaimana dengan Condesa, apakah ia tidak akan mengemukakan keberatan lagi?" "Untung, sekali ini tidak, Sayang! Condesa mengira, pembedahan baru akan dilakukan pukul sebelas, padahal mereka sudah akan mulai pukul delapan. Pangeran sudah akan dilepaskan dari penderitaannya ketika Condesa sedang berpakaian." "Dan bagaimana dengan Pangeran Alfonso?" tanya wanita itu dengan mengedipkan mata julingnya sebelah. "Itu benar-benar puncak kesempurnaan dari pekerjaan kita." "Memang perkataanmu itu sedikit pun tiada berlebihan. Pekerjaan kita menunjukkan keahlian yang sempurna, namun tertutup bagi dunia luar. Mereka tidak akan meraba sedikit pun tentang rencana kita yang luar biasa cerdik itu. Berapa lama kita berdua hidup dengan saling mencintai, bukankah demikian Gasparino-ku? Namun banyak penghalang. Cinta kita tidak dapat kita utarakan dengan leluasa, karena ayahku seorang pedagang kaya. Ia tidak menghendaki menantu miskin seperti kamu. Anak kita terpaksa kita singkirkan, kalau kamu tidak tiba-tiba mendapat ilham untuk menukarkannya dengan Pangeran Alfonso yang masih kanak-kanak itu dan mengirimkannya ke saudara Pangeran Manuel di Meksiko. Kini kita sudah menjadi orang tua seorang pangeran dan kelak akan memiliki harta keluarga Rodriganda yang tidak ternilai banyaknya. Mari kita bergembira dan mengenangkan hidup kita yang cemerlang kemudian hari." Sternau tidak dapat tidur. Pertemuan dengan gadis kekasihnya menyebabkan keadaan itu. Di dalam kamar ia berjalan hilir mudik saja. Keesokan harinya, pagi-pagi, dilihatnya tetangga sudah bangun. Ia pergi ke situ dan minta kudanya disiapkan. Dinaikinya kudanya lalu pergilah ia tanpa tujuan tertentu, hanya untuk menenangkan pikiran yang sedang kacau. Akhirnya sampailah ia di Manresa. Di situ dilihatnya sebuah venta, yaitu sebuah rumah penginapan yang kelihatannya masih kosong. Namun ada seekor kuda ditambatkan di depannya. Itu merupakan tanda bahwa sudah ada seorang tamu di dalamnya. Sternau turun dari kudanya. Sejak semalam ia masih belum makan sesuatu. Kini ia ingin memesan kopi secangkir. Ketika ia masuk ke dalam dilihatnya di situ seorang berpakaian sederhana sedang duduk pada meja dengan membawa alat-alat kedokteran untuk membedah orang. Tiada diketahui oleh Sternau, bahwa orang itu adalah seorang dokter dari Manresa yang diminta bantuannya dalam pembedahan pada Pangeran. Pemilik rumah penginapan yang duduk di sebelahnya setelah menerima pesanan dari Sternau, melanjutkan percakapan dengan tamunya. "Jadi Anda akan mengunjungi Pangeran, Senor Dokter?" "Ya, seperti sudah saya katakan tadi." "Akhirnya pembedahan akan dilakukan hari ini juga?" "Benar. Pukul delapan nanti." "Tetapi Condesa tidak akan menyetujui lagi!" "Mereka tidak minta persetujuan lagi dari padanya. Kepada Condesa pernah dikatakan, bahwa pembedahan baru akan dilakukan pukul sebelas." "Bagaimana perkiraan Anda, Pangeran akan sembuh lagi atau tidak?" "Mungkin sembuh-tetapi-mungkin juga tidak. Siapa tahu?" Kini Sternau mendapat kopinya. Sudah cukup, yang didengarnya itu. Cepat-cepat diminumnya kopi, lalu ia membayar dan pergi, tanpa meninggalkan kesan bahwa percakapan yang didengarnya tadi amatlah penting baginya. Ia melarikan kuda kencang-kencang, sehingga sebelum pukul delapan ia sudah sampai di Rodriganda lagi. Setelah diserahkannya kuda kepada tetangganya ia mengeluarkan alat-alat kedokterannya, lalu pergi ke puri secepat-cepatnya. Sternau sampai pada pintu pagar yang menuju ke taman, tempat ia semalam telah berpisah dengan kekasihnya. Pintu pagar itu terbuka dan ia masuk ke dalam. Dengan langkah cepat ia menuju ke puri. Mula-mula ia menempuh jalan yang tepinya ditumbuhi pohon-pohonan. Kemudian ia hendak masuk halaman depan puri, ketika ia tiba-tiba berdiri terpaku karena terkejut. Di hadapannya berdiri-Roseta, siap untuk berjalan-jalan menghirup udara segar pagi hari. Ia tidak berpakaian ketat cara Paris, maupun salah satu pakaian nasional Spanyol; gaun yang menutup tubuh yang elok itu merupakan kombinasi dari pakaian bangsa Moor yang ringan dengan pakaian bangsa-bangsa di sebelah utara yang lebih tebal. Baru saja ia memberi perintah kepada seorang abdi, yang menjawab perintah itu dengan hormatnya, "Baik, Condesa!" lalu pergi lagi. "Condesa?" Tiba-tiba tabir yang menyelubungi kekasihnya terbuka. "Roseta!" serunya. Gadis itu berpaling. "Carlos! Begitu pagi Anda sudah di taman?" "Ya Tuhan, bermimpikah saya? Saya kenal akan Rosita, da... yang putri, tetapi Anda..." "Tetapi apa, Senor?" "Tetapi Anda adalah Condesa Roseta sendiri." "Memang benar terkaan Anda, Carlos," jawab Condesa sambil mengulurkan tangannya kepadanya. "Dapatkah Anda memaafkan saya?" "Memaafkan? Alangkah menyedihkan! Ya, sekarang saya mengerti, mengapa kita harus berpisah. Anda tega berbuat demikian pada saya, Roseta?" Condesa menundukkan kepala serta menerangkan dengan suara gemetar. "Karena ketika itu saya mencintai Anda dan saya ingin mengecap hidup berbahagia selama beberapa saat. Tetapi semuanya sudah lampau dan hukuman yang harus saya pikul bertambah berat lagi. Ayah saya-tetapi saya lihat Anda membawa alat-alat kedokteran. Mengapa Anda datang begitu pagi?" demikian dipotongnya perkataannya sendiri dengan terkejut. "Apa alasannya?" "Alasannya?" tanya Sternau, masih seperti dalam mimpi. "O, betul juga, saya hampir melupakan urusan saya yang paling penting. Condesa, ayah Anda dalam bahaya yang amat besar!" Muka putri cantik itu menjadi pucat pasi. "Ayah saya?" bisiknya. "Mengapa?" Sternau mengeluarkan arloji, melihat padanya, lalu menjawab, "Wah, sudah waktunya! Condesa, mereka segera akan mulai dengan pembedahannya!" "Masa? Pembedahan baru akan dilakukan pukul sebelas!" "Tidak. Mereka telah mengelabui mata Anda. Tanpa sepengetahuan Anda diputuskan, mereka akan melakukan pembedahan pukul delapan. Saya kebetulan menjumpai seorang dokter dari Manresa pagi ini dan mendengarkan percakapannya dengan pemilik rumah penginapan tanpa diketahui mereka." "Astaghfirullah! Mereka tentu beritikad buruk, kalau tidak, apa guna mereka berdusta kepada saya. Mari Senor, kita harus bertindak cepat, untuk mencegah mereka melakukan kejahatan ini!" Maka Condesa bergegas pergi ke puri, diikuti oleh Sternau. Ketika mereka tiba di pintu masuk, orang sedang memasukkan seekor kuda ke dalam kandang. Sternau mengenalinya sebagai kuda dokter dari Manresa. Tampak dokter itu telah melarikan kudanya dengan kencang supaya lekas sampai di Rodriganda. "Cepatlah, Condesa!" kata Sternau. "Para ahli bedah sudah hadir; kita harus bertindak secepatnya!" "Mari! Cepat, cepat!" seru Condesa sambil naik tangga, lalu berjalan di atas serambi muka yang lantainya ditutupi hamparan permadani yang mahal. Di depan pintu berdiri seorang abdi. "Pangeran sudah bangun?" tanya Condesa. "Sudah, Condesa," bunyi jawabnya. "Ia seorang diri?" "Tidak. Para dokter menemaninya." "Sudah berapa lama?" "Sepuluh menit." "O, kalau begitu kita masih belum terlambat. Mari masuk, Senor!" Condesa hendak masuk, tetapi abdi itu menghampiri, lalu menerangkan, meskipun secara sopan santun, namun dengan pasti. "Maafkan saya, Condesa. Saya telah mendapat perintah keras untuk melarang setiap orang masuk." "Aku juga?" "Terutama Anda." Condesa menjadi murka. Ia menegakkan kepala dengan tinggi hati, lalu bertanya, "Siapa memberi perintah demikian?" "Pangeran Alfonso. Beliau hadir juga di dalam kamar." "O, jadi dialah orangnya! Baik, berilah jalan!" "Maaf, Condesa. Sungguh tidak boleh! Saya tidak berani berbuat lain sebab..." Abdi itu tidak dapat melanjutkan perkataannya, karena Sternau memegang lengannya, mendorongnya kuat-kuat tanpa mengucapkan sepatah kata pun ke samping, lalu membuka pintu. Kini mereka masuk ke dalam ruang muka tempat kediaman Pangeran. Abdi masuk juga mengikuti mereka tanpa dapat berbuat apa-apa. Pintu yang menuju ke kamar Pangeran terkunci dan Putri Roseta mengetuk pintu itu. "Siapa di situ?" tanya seseorang dari dalam kamar itu, setelah berkali-kali pintu diketuk. Suaranya dikenal Putri sebagai suara saudaranya. "Aku sendiri," kata Condesa. "Lekas buka!" "Kau, Roseta?" bunyi jawabnya agak kecewa. "Siapa yang mengizinkan kau masuk. Apakah penjaga itu tidak di tempat?" "Ada. Tetapi lekas buka, Alfonso!" "Sebaiknya kau kembali ke kamarmu, Roseta. Para dokter melarang kehadiran orang lain di sini!" "Aku tidak dapat dilarang masuk ke dalam, apalagi hari masih pagi. Masih lama waktu pukul sebelas!" "Ayah minta supaya pembedahan dilakukan sekarang juga, lagipula pembedahan itu tidak sesuai disaksikan oleh seorang wanita." "Aku harus berbicara dengan Ayah sebelumnya." "Tidak mungkin. Nah, mereka sudah mulai..." Perkataan terakhir ini diucapkan dengan tiada sabar lagi, dengan nada tajam dan menolak, seolah-olah Alfonso menganggap percakapan sudah berakhir. Hal itu membuat Condesa naik darah. "Alfonso," katanya dengan suara memerintah. "Aku akan masuk. Kau tidak dapat melarangku. Aku ingin bicara dengan Ayah sebentar." "Ayah sekali-kali tidak ingin bicara denganmu. Selanjutnya aku tidak mempunyai waktu untuk melayani perkataanmu terus-menerus. Sebaiknya engkau pergi. Sia-sia engkau mengetuk pintu. Biar bagaimana tidak akan dibuka juga!" "Baik, kalau begitu akan kubuka sendiri!" "Boleh kau coba!" Perkataan itu diucapkan dengan nada mengejek. Kemudian terdengar, bahwa orang yang mengucapkan perkataan itu pergi. "Sekarang apa dayaku?" tanya Roseta dengan putus asa kepada kawannya. Kawannya tersenyum dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, namun ia tidak segera menjawab, karena sedang memperhatikan bunyi-bunyi yang terdengar dalam kamar yang tertutup pintunya. "Condesa," kata abdi sambil mendekati Putri dengan merendahkan diri. "Saya mengetahui dengan pasti, pintu tidak akan dibuka. Maka saya mohon supaya Anda sudi meninggalkan ruang ini..." "Diam!" hardik Condesa dan ia ingin menambahkan lagi kata-kata yang pedas kepada abdi itu, kalau ia tidak dipanggil oleh Sternau untuk turut mendengar suara yang keluar dari dalam kamar ayahnya itu. Condesa berbuat seperti yang dikehendaki Sternau dan mendengar suara ayahnya yang sayup-sayup menghitung: "Lima-enam-tujuh-delapan-sembilan-sepuluh-sebelas." "Apa maksud Ayah?" tanya Condesa, lalu hatinya menjadi kecut. "Pangeran sedang dibius," jawab Sternau. "Dan ia disuruh menghitung oleh para dokter." "Jadi mereka sungguh-sungguh hendak membedah Ayah?" "Betul." "Perbuatan itu harus dicegah, biar bagaimanapun juga!" seru Condesa dengan hati cemas. "Senor, tolonglah saya!" "Anda mengizinkan saya membongkar pintu?" "Apa boleh buat? Lakukanlah, cepat!" Sternau melangkah ke arah pintu, lalu menerjangnya kuat-kuat dengan kaki. Krak! Sekali hantam terbukalah pintu. Kini ia bersama Condesa berdiri di dalam kamar Pangeran. Kamar itu kosong, tetapi sayup-sayup terdengar suara-suara. Tiba-tiba pintu kamar sebelahnya terbuka. Alfonso dan salah seorang dokter masuk ke dalam. "Kurang ajar benar ini!" seru Alfonso. "Terlalu benar kau, sampai berani membongkar pintu!" katanya dengan berang. Karena marah, maka tidaklah dilihatnya bahwa Roseta tidak seorang diri, melainkan berkawan. Matanya berapi-api dan urat-urat di lehernya membengkak. "Aku terlalu?" tanya Condesa. Mukanya menjadi merah padam menahan amarah. "Bukankah seorang putri Rodriganda y Sevilla mempunyai hak penuh untuk setiap waktu berbicara dengan ayahnya? Bukan aku yang keterlaluan, melainkan mereka, yang hendak melakukan pembedahan pada ayahku yang dapat membahayakan nyawanya." "Kami telah mengambil keputusan demikian dan tidak berniat menarik kembali. Maka sebaiknya engkau pergi saja, karena kehadiranmu sekali-kali tidak berguna." "Aku tidak akan pergi sebelum melihat Ayah dan berbicara dengannya. Di manakah ia?" "Dalam kamar sebelah. Kelakuanmu yang sembrono akan membahayakan nyawanya. Ayah harus terhindar dari gangguan. Ketegangan yang sekecil-kecilnya dapat membawa akibat yang sebesar-besarnya. Siapakah orang asing di sampingmu itu?" "Ia Senor Sternau, seorang dokter dari Paris, yang telah kuundang ke mari. Aku ingin mendengar pendapatnya tentang penyakit Ayah. Kau tentu akan setuju dengan kedatangannya itu!" Dokter bedah yang ikut masuk juga ke dalam mengerutkan dahi, sambil melihat dengan hati kesal kepada mereka. Kini Pangeran Alfonso berkata, "Dari Paris? Siapa memberi izin kepadamu berbuat demikian? Itu melanggar segala peraturan! Kuharap orang lebih menghormati kemauanku. Kemauanku adalah supaya kau segera meninggalkan kamar ini dan mengirim kembali dokter asing ini!" Maka Putri menjadi pucat pasi mendengar kata-kata hinaan ini dan memerlukan beberapa saat untuk memulihkan keseimbangannya. Kemudian tubuhnya seolah-olah bertambah besar. Ia mengangkat tangan lalu menjawab, "Tahukah kau dengan siapa kau sedang berbicara? Dalam perkara ini yang dapat memerintah hanyalah Pangeran Rodriganda dan bila ia terhalang, maka aku sama-sama berhak dengan kamu untuk memerintah. Pembedahan tidak boleh dilakukan, sebelum penyakit Ayah diselidiki dengan cermat lebih dahulu oleh senor ini. Itulah kemauanku dan tidak ada seorang pun yang dapat menghalangi!" Garis-garis muka pangeran muda ini menjadi tajam, urat-urat di dahinya membengkak dan suaranya menjadi parau ketika ia menghampiri saudaranya dengan tangan terangkat secara mengancam lalu menjawab, "Kau ini memerintah? Seorang gadis? Cis! Yang bukan-bukan saja! Pembedahan tetap akan dilaksanakan dengan atau tanpa persetujuanmu dan kau akan kuenyahkan dengan bantuan para abdi, bila tidak pergi dengan suka rela. Aku sudah biasa melihat segala perintahku ditaati orang. Habis perkara!" Kemudian ia menghadap kepada Sternau, lalu berkata, "Dan Anda pun harus pergi juga! Kukira tidak perlu aku mengambil tindakan untuk mengeluarkan Anda dengan paksa dari sini!" Sternau tersenyum saja tanpa mengindahkan ancaman itu. "Saya telah datang diundang Putri Rodriganda," jawabnya tenang, "dan maksudnya ialah untuk melihat Pangeran, ayah Anda. Tugas saya akan saya kerjakan juga, meskipun mendapat tantangan! Condesa, saya mohon diperkenalkan kepada Tuan Dokter ini, yang sekurang-kurangnya adalah teman sejawat saya." Sambil berkata ia menunjuk kepada dokter Spanyol, yang selama perdebatan sengit tadi telah mengundurkan diri dekat jendela. Roseta mengangguk, menyatakan setuju, lalu memperkenalkan. "Senor Dokter Carlos Sternau, direktur klinik Profesor Letourbier di Paris-Dokter Francas dari Madrid-nah, kedua dokter yang lainnya kebetulan sekali datang juga: Dokter Milanos dari Cordova dan Dokter Cielli dari Manresa." Kedua dokter yang baru disebut namanya itu baru datang dari kamar sebelah. Perhatiannya tertarik oleh perdebatan yang hangat itu. Mereka memberi hormat secara dingin kepada Sternau dan Dokter Francas, yang sejak tadi sudah hadir di dalam kamar itu. Dokter Francas tampak pucat. Rupanya di antara tiga orang dokter itu dialah yang paling ahli. Ia mengenal juga nama Profesor Letourbier dan mengetahui, bahwa di hadapannya berdiri seorang dokter yang benar-benar ahli. Maka berhubung dengan itikadnya yang kurang baik itu, kehadiran Dokter Sternau dianggap sebagai suatu bahaya baginya. Untuk menjauhi bahaya itu diusahakan supaya ia bersikap angkuh menentang kehadiran dokter asing itu. Maka ia berkata dengan tinggi hati. "Saya tidak kenal senor ini. Persiapan kami sudah matang; kami tidak memerlukan seorang pembantu lagi. Kami telah mendapat tugas dari pasien agung kami untuk melakukan pembedahan dan bila kami tidak diberi kesempatan untuk melaksanakannya sekarang juga, tanpa mendapat gangguan dari Anda, maka saya akan menyatakan tidak bertanggung jawab pada segala akibatnya. Jadi lekaslah pergi dan suruhlah dokter asing itu lekas meninggalkan Rodriganda!" Condesa hendak menjawab, tetapi Sternau memberi isyarat supaya ia bersabar dahulu. "Izinkanlah saya memberi jawaban, Condesa yang saya muliakan!" katanya. "Persoalan ini mengenai diri saya. Maka saya pula yang harus menjawab. Saya hadir di sini sebagai seorang dokter dan di samping itu sebagai tamu Anda pula, Condesa, maka sebenarnya saya harapkan sikap yang wajar dari saudara Anda, yaitu menghormati saya, dan sikap ramah-tamah dari pihak para dokter teman sejawat saya. Namun harapan saya dikecewakan oleh mereka; mereka mengambil sikap memusuhi saya. Maka keadaan sekarang berubah. Kini saya tidak mohon lagi, melainkan saya bertindak sebagai wakil Putri Rodriganda yang memperhatikan kepentingannya dalam bidang ilmu pengobatan. Sebagai wakil resmi Putri Rodriganda saya menyatakan sebagai berikut: Oleh karena suatu pekerjaan sepenting lagipula berbahaya seperti pembedahan ini hendak dilaksanakan dalam keadaan yang sangat meragukan, maka saya mempunyai alasan kuat untuk mencurigai pekerjaan ini. Karena itu saya terang-terangan menentangnya. Saya nyatakan setiap orang yang hendak melakukan pembedahan sebelum saya mendapat kesempatan melihat serta bercakap-cakap dengan pasien itu, sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, ya, bahkan sebagai seorang pembunuh. Jika seandainya saya hendak diusir secara paksa, maka saya segera akan minta bantuan polisi, yang tidak segan-segan akan mengabulkan permintaan yang datang dari pihak Putri Rodriganda." Dengan kepala tegak Sternau berdiri di hadapan para dokter. Matanya menyinarkan kewibawaan, seolah-olah ia bukan seorang asing, melainkan pemilik puri itu sendiri. Dokter Francas menjadi pucat kedua kalinya dan dua teman sejawat pembantunya menundukkan kepalanya. Alfonso ingin mengamuk, namun ia tidak dapat menemukan kata-kata untuk mencurahkan kemarahannya. Pada saat itu tiba-tiba pintu kamar dibuka dan masuklah seorang yang menimbulkan rasa hormat maupun rasa kasihan. Orang yang masuk itu buta. Itu dapat dilihat seketika itu juga. Namun matanya yang tidak bercahaya tampak mempunyai kesanggupan untuk menguasai keadaan sekitarnya. Tubuhnya yang tinggi dan yang menjadi kurus oleh penderitaan ini diselubungi oleh kain putih yang turun dari bahu sampai ke tanah seperti kain kafan saja. Wajahnya yang mulia itu pucat pasi dan rambutnya yang beruban pada pelipisnya itu tergantung tebal-tebal sampai ke leher. Kesan orang ketika itu, seolah-olah mereka melihat suatu roh keluar dari dalam kubur untuk mengakhiri suatu perselisihan di antara makhluk yang fana. Orang yang baru muncul itu adalah Pangeran Manuel de Rodriganda y Sevilla. Pembiusan yang dialaminya masih kurang sempurna sifatnya. Ia telah sadar kembali dan mendengar perdebatan itu. Tertarik oleh perdebatan itu dengan berselubungkan kain putih, ia telah meluncur dari atas meja operasi dan masuk ke dalam ruangan ini. "Apa yang sedang terjadi di sini? Siapakah yang bicara tadi? Mengapa pembedahan harus ditunda?" tanya Pangeran, sambil matanya berkeliaran melihat ke kiri dan ke kanan. Roseta langsung menghampiri, lalu memeluknya dengan mesra. "Ayah, ayahku yang tercinta!" serunya. "Puji syukur kepada Tuhan, bahwa pembedahan masih belum dilakukan! Kini mereka tidak boleh membunuh Ayah." "Membunuh? Siapa akan membunuh, anakku?" "Kalau tidak dihalangi, Ayah akan mati, percayalah, Ayah!" "Ucapanmu itu dilandasi oleh cinta yang amat besar kepada ayahmu. Namun sebenarnya tidak perlu kau mengganggu kami!" "Benar sekali, Ayah!" kata pangeran palsu cepat-cepat. "Ia telah mengacau pekerjaan kami dengan cara melanggar segala peraturan! Ia begitu kurang ajar sampai berani menyuruh bongkar pintu! Coba Ayah pikir sendiri, apakah perbuatan itu layak dilakukan oleh seorang Putri Rodriganda." "Benarkah itu, Nak?" tanya Don Manuel dengan tersenyum, kurang percaya. "Memang benar, Ayah," jawab Putri. "Kesehatan Ayah harus selalu dijaga dengan hati-hati sekali dan jiwa Ayah terlalu berharga bagiku untuk berlaku kurang hati-hati. Ayah hanya boleh mendapat pertolongan dokter-dokter yang saya percayai. Namun saya mendapat kesan, bahwa mereka kurang memperhatikan kepentingan Ayah dan bertindak agak ceroboh. Disebabkan oleh rasa cemas dan khawatir itu, maka saya menulis surat kepada Profesor Letourbier di Paris minta dikirim seorang ahli bedah. Sekarang ahli bedah itu sudah ada di sini. Anehnya ialah, bahwa mereka tidak mengizinkan berbicara dengan Ayah. Dapatkah sekarang Ayah maklum, mengapa saya akhirnya masuk kamar Ayah juga?" Si sakit itu menundukkan kepala dan berkata sambil tersenyum letih, "Dokter-dokterku mendapat kepercayaan sepenuhnya. Bila pembedahan itu dirahasiakan waktunya, maka hal itu semata-mata dilakukan demi kepentinganmu sendiri dan supaya aku terhindar dari rasa gelisah. Di mana dokter dari Paris itu?" "Ia hadir di sini. Namanya Dokter Cari Sternau dari Mainz." "Di sini, dalam kamar ini?" "Benarlah, Yang Mulia," jawab Sternau sendiri. "Maafkan saya, bahwa saya memberanikan diri menerima undangan putri Anda. Bila kita menghadapi perkara hidup mati seseorang, maka tidak boleh kita menganggap soal yang kecil apalagi bila orang yang dimaksudkan itu ayah kita sendiri." Perkataan itu diucapkan dengan suara mantap yang tepat mengenai hati orang buta itu. "Pernahkah Anda menyaksikan pembedahan demikian, Senor?" tanya Pangeran. "Pernah." "Anda hanya menjawab dengan sepatah kata saja, tetapi dari nadanya saya dapat mendengar, bahwa Anda telah berkali-kali menyaksikan pembedahan demikian, bahkan mungkin juga melakukannya sendiri." "Anda baru saja mendengar, saya ini seorang dokter yang memimpin suatu tim dokter pada Profesor Letourbier." "Kalau begitu, Anda harus mendapat kepercayaan dan tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Saya harus mengucapkan terima kasih dengan kedatangan Anda. Bersediakah Anda memeriksa saya?" "Itu memang maksud kedatangan saya, Yang Mulia." "Kalau begitu, maka silakan masuk. Para dokter akan menemani kita. Selanjutnya saya mohon supaya yang lain tinggal di sini." "Tunggu dahulu, Ayah!" seru Alfonso. "Ayah belum mengetahui bahwa saya telah mengusir orang ini. Ayah akan meniadakan perintah saya?" "Anakku, engkau telah menghina senor ini dan aku harus meminta maaf karena perbuatanmu itu." Dengan mengucapkan perkataan ini ia kembali lagi ke kamar sebelah. Sternau mengikutinya bersama dengan tiga orang dokter itu. Alfonso yang harus tinggal dalam kamar itu berbisik kepada saudaranya dengan berangnya, "Awas! Ini tidak akan kulupakan!" Kemudian ia berdiri di muka sebuah jendela. Roseta duduk di atas kursi, tanpa menghiraukan saudaranya. Kamar yang dimasuki Pangeran sudah dilengkapi dengan segala alat pembedahan yang diperlukan. Di atas sebuah meja panjang diletakkan sebuah tilam, tempat Pangeran membaringkan diri. Di sampingnya terletak berbagai alat pembedahan dan di atas lantai terdapat pinggan-pinggan tempat menampung darah. Pangeran Manuel berkata kepada Sternau, "Karena saya sudah kehilangan penglihatan, maka saya biasa menilai orang dari suaranya. Dan suara Anda menimbulkan kepercayaan. Maka silakan Anda memeriksa saya!" Sternau sudah biasa menghadapi berbagai pasien, tetapi sekali ini ia merasa prihatin. Maklumlah, karena sekali ini pasiennya ayah gadis yang luar biasa dicintainya, meskipun tanpa harapan. Dengan tiada sengaja ia menarik napas panjang. Pangeran mendengar dan bertanya, "Anda kira keadaan saya ini sudah mengkhawatirkan?" "Bukan begitu, Yang Mulia," jawabnya. "Apa yang Anda dengar bukan pernyataan putus asa, melainkan suatu doa yang dipanjatkan kepada Tuhan, semoga pekerjaan saya dapat berhasil dengan baik dan harapan Condesa terkabul." Pangeran menjabat tangannya, lalu berkata, "Terima kasih, Senor. Perkataan Anda membuat saya lebih banyak menaruh kepercayaan kepada Anda. Barangsiapa di samping keahliannya masih juga mengharapkan bantuan dari Tuhan akan berhasil dalam segala usahanya. Maka silakan mulai pekerjaan Anda!" Kini Sternau mengajukan pertanyaan-pertanyaan, yang berhubungan dengan penyakit Pangeran. Sesudah itu Pangeran harus berbaring di atas meja, supaya dapat diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara yang meyakinkan bagi para dokter Spanyol yang menghadirinya, sehingga mereka menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan seorang dokter yang jauh lebih ahli daripada mereka. Akhirnya si sakit dibolehkan berdiri lagi. Ia bertanya kepada Sternau tentang hasil pemeriksaannya, akan tetapi Sternau tidak menjawabnya, melainkan ia bertanya pula. "Yang Mulia, Anda tidak dapat melihat. Bolehkah saya mengajukan berbagai pertanyaan berhubung dengan hal itu kepada Anda?" "Boleh. Silakan bertanya!" Sternau mengajukan berbagai pertanyaan, yang dijawab oleh Pangeran. Kemudian ia mengeluarkan berbagai perkakas, lalu menyinari dan memeriksa mata Pangeran. Akhirnya selesailah ia dengan pemeriksaannya, lalu ia menghadap kepada dokter-dokter teman sejawatnya. "Baru saja dikatakan oleh Dokter Francas, bahwa ia tidak mengizinkan campur tangan orang luar. Maka saya terpaksa menempuh jalan lain daripada musyawarah. Kini saya paparkan segala pendapat saya tanpa tedeng aling-aling, tanpa berusaha mendengar pendapat orang lain. Yang Mulia, bolehkah saya mengetahui dengan cara bagaimanakah para dokter hendak mengeluarkan batu dari dalam tubuh Anda?" "Dengan membedah kandung kencing," jawab si sakit. Sternau terkejut. "Itu tidak mungkin, Yang Mulia," serunya. "Mereka hendak menipu Anda atau Anda salah mengerti! Sebab saya tidak mengerti apakah keperluan mereka untuk menipu Anda." "Saya tidak salah mendengar," kata Pangeran. "Boleh Anda tanyakan sendiri kepada Tuan-Tuan ini!" Sternau menoleh kepada para dokter. Hanya Francas yang sanggup memberi jawaban. Ia berkata dengan angkuhnya, "Memang pendapat kami demikian. Hanya dengan cara demikian Pangeran dapat disembuhkan dari penyakitnya." "Tetapi," kata Sternau dengan hati panas, "sudahkah Anda mengetahui dengan pasti tentang batu itu dengan jalan meraba, mengetahui berapa besar dan di mana letaknya? Astaghfirullah, saya tidak dapat memahami pekerjaan Anda. Setiap pembedahan di bagian tubuh sekitar ini adalah berbahaya, apalagi pembedahan yang hendak Anda lakukan. Dapat menyebabkan kematian! Seorang dokter yang berani menggunakan pisau bedahnya dengan cara seperti yang Anda maksudkan bagi saya sama dengan seseorang yang hendak melakukan pembunuhan keji terencana!" "Kurang ajar benar!" seru ahli bedah dari Madrid itu. "Anda sendirilah yang kurang ajar!" jawab Sternau dengan mata berapi-api. "Pangeran Rodriganda itu bukanlah seorang dokter. Beliau tidak dapat mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya. Tetapi setiap orang yang baru belajar tentang ilmu kedokteran mengetahui, bahwa pembedahan itu pasti berakhir dengan kematian bagi Pangeran. Bila saya adukan hal ini dan mereka datang untuk mengadakan penyelidikan, maka pasti Anda akan ditahan berdasar tuduhan hendak melakukan pembunuhan." Meskipun ancaman itu mengecutkan hati para dokter, namun Francas berhasil menguasai dirinya. "Wah," serunya mengejek. "Anda, orang asing, hendak mengancam kami? Lucu benar! Lihat, orang ini pandai bermain sandiwara dengan tujuan mendapat pujian dari Yang Mulia, mungkin dengan harapan diangkat menjadi dokter pribadi Yang Mulia. Akan tetapi Yang Mulia tidak begitu mudah tertipu. Beliau mengenal benar kami. Kami adalah dokter-dokter kenamaan. Nama kami belum pernah ternoda! Mari, lebih baik kita dengar saja pendapat dukun sombong ini, bagaimana cara sebaiknya menurut pandangannya untuk mengeluarkan batu itu!" "Baik, itu akan Anda dengar!" jawab Sternau tenang. "Batu itu hanya dapat dikeluarkan dengan jalan lithotripsi. Jalan demikian tidak berbahaya." "Lithotripsi?" tanya dokter dari Manresa itu. "Apa itu?" Sternau menggelengkan kepala mendengar ucapan itu. "Nah, Yang Mulia mendengar sendiri, kepada siapa Anda telah mempercayakan keselamatan jiwa Anda serta kebahagiaan putri Anda," katanya kepada Pangeran. "Orang ini belum pernah mendengar tentang lithotripsi, yaitu cara menghancurkan dan mengeluarkan batu dengan gurdi catheter!" Francas tertawa mengejek. "Anda kira Anda terlalu pandai? Dongeng tentang selipit catheter itu sudah lebih dahulu kami ketahui daripada Anda, namun hanya merupakan dongeng saja. Hanya seorang yang masih awam menaruh kepercayaan padanya. Dan kami tidak suka bertukar pikiran dengan seorang awam. Biar Pangeran sendiri yang menentukan, siapa yang harus meninggalkan kamar ini, dia atau kami." "Dalam perkara ini segala perbuatan akan saya lakukan berpedoman pada hati nurani," kata Sternau. "Sudah saya katakan, bahwa Pangeran bukanlah seorang dokter. Karena itu, maka ada kemungkinan, beliau akan memilih yang salah, yang akan menyebabkan kematiannya. Dalam hal itu saya tidak akan menyerah begitu saja. Ketahuilah, bahwa saya rela mempertaruhkan nyawa saya sendiri untuk mempertahankan keyakinan saya!" Maka Pangeran bangkit, lalu berbicara dengan nada memerintah, "Tuan-Tuan Dokter, tempat ini janganlah dijadikan gelanggang perdebatan. Pendapat Anda sudah saya maklumi. Kini giliran menguji pendapat Dokter Sternau. Maka biarlah ia di sini untuk memaparkan pendapatnya. Tuan-Tuan Dokter lain saya minta meninggalkan tempat ini dahulu. Kemudian Tuan-Tuan akan diberi tahu tentang keputusan yang akan saya ambil." "Itu berarti, bahwa kami diusir?" gerutu Francas. "Apakah itu berarti juga, bahwa kami sudah diberhentikan dari tugas kami? Baik, kami akan pergi, tetapi kami masih harus mengadakan perhitungan dengan orang asing ini. Selanjutnya adalah harapan kami, supaya Yang Mulia jangan mudah terpengaruh oleh bujukan, melainkan selalu menimbang masak-masak keputusan yang hendak Anda ambil." Mereka mengemasi perkakasnya, lalu meninggalkan kamar itu. Tidak lama kemudian Roseta masuk, memeluk Pangeran dengan mesra dan bersorak, "Selamat! Ayah, terima kasih!" Pangeran menolak dengan lemah lembut, sambil berkata, "Sabar dahulu, Nak! Keputusan masih belum diambil! Aku masih harus mendengar pendapat Dokter Sternau lebih dahulu." "Pendapat Dokter Sternau sudah pasti satu-satunya yang baik," seru Roseta. "Ayah sungguh dapat mempercayainya." Roseta memandang kepada Sternau dengan penuh kemesraan, sehingga hati Sternau diliputi kebahagiaan. Dengan suara terharu ia berkata, "Percayalah kepada saya, Yang Mulia! Demi Tuhan, segala perbuatan yang hendak saya lakukan pada Yang Mulia, adalah yang sejujur-jujurnya. Saya mohon Anda memaafkan saya telah menggunakan kata-kata kasar pada para dokter itu. Saya terkejut mendengar cara mereka bekerja yang begitu ceroboh dan tidak mengenal tanggung jawab, yang dapat membahayakan jiwa Anda. Bila pembedahan dilakukan juga, maka jiwa Anda sudah pasti tidak akan tertolong." Kini pintu terbuka dan Alfonso menyerbu masuk. Di luar ia telah mendengar tentang kegagalan pada dokter dan kini ia datang dengan marah dan rasa kecewa untuk mengusahakan, supaya sedapat mungkin tujuan jahat masih dapat dilaksanakan. "Mengapa para dokter itu pergi, Ayah? Ayah telah mengusir mereka?" tanyanya. "Aku tidak mengusir mereka, Nak!" jawab Pangeran. "Aku hanya mengatakan kepada mereka, aku ingin diberi waktu untuk berpikir." "Saya harap, dalam mengambil keputusan, Ayah sudi mempertimbangkan juga segala jasa dan jerih payah para dokter untuk menyembuhkan penyakit Ayah itu!" "Aku akan mengambil keputusan yang adil, percayalah, Nak! Tetapi sekarang kumohon supaya engkau jangan menyinggung-nyinggung lagi perkara yang memuakkan ini." Alfonso harus menurut juga, lalu Pangeran berkata kepada anak perempuannya, "Tahukah kamu, bahwa Dokter Sternau telah memeriksa mataku juga?" Putri Roseta memandang kepada Sternau dengan muka berseri-seri. "Benarkah demikian?" tanyanya. "Dan bagaimanakah pendapat Anda, ada harapan atau tidak?" "Pasti ada harapan, Condesa. Berkali-kali saya telah mengobati orang buta. Berkat pengalaman saya, kini dapat membedakan dengan mudah kasus-kasus penyakit buta yang tidak dapat disembuhkan dengan yang dapat disembuhkan." "Tetapi pendapat para dokter, penyakit mata Ayah itu tiada tersembuhkan." "Berdasar pemeriksaan saya, dapat saya pastikan bahwa pendapat para dokter itu salah." Roseta terlompat. Pangeran menegakkan kepalanya, suatu tanda bahwa ia merasa gembira, sedang Alfonso melempar pandangan penuh kebencian. "Apa maksud Anda?" tanya Don Manuel. "Katakanlah, lekas!" "Benarkah para dokter berpendapat bahwa penyakit Anda tidak dapat disembuhkan?" "Ya, begitulah pendapat mereka." "Menurut pendapat mereka, Anda menderita penyakit apa?" "Penyakit stafyloom." "Itu tidak benar. Penyakit stafyloom, bila lapisan kornea membusuk! Penyakit Anda disebut star keruh, bergabung dengan pengotoran lapisan kulit tanduk yang sangat jarang kita jumpai. Penyakit ini disebut leukoom." "Apakah penyakit itu dapat disembuhkan?" tanya Pangeran sambil menahan napasnya. "Memang sudah lama penyakit ini dianggap sebagai tiada tersembuhkan, tetapi kini para dokter sudah berhasil menyembuhkan beberapa orang yang berpenyakit demikian. Leukoom ini dapat dikeluarkan dengan menggunakan jarum star yang dimasukkan berkali-kali. Akhirnya star keruh di bawahnya dapat dibedah. Maukah Anda mempercayakan diri Anda kepada saya, maka saya dapat mengatakan dengan jujur, bahwa Anda mempunyai harapan untuk dapat melihat kembali, meskipun tidak sejelas seperti sebelum Anda sakit. Sedikitnya Anda dapat membaca dengan memakai kacamata!" Pangeran menadahkan tangan ke langit, lalu berkata, "O, alangkah baiknya, bila itu mungkin!" Roseta, karena gembira, berlutut di hadapannya dan menangis terisak-isak. "Ayah, percayalah kepadanya! Tiada seorang pun dapat menolong Anda, kecuali dia!" "Baik, akan kuturut nasehatmu, Nak! Aku akan mempercayakan diriku sepenuhnya kepadanya!" demikian diputuskan oleh Pangeran. "Sambutlah tangan saya, Tuan! Anda telah mulai pekerjaan Anda hari ini dengan bantuan Tuhan dan Anda akan mengakhirinya dengan bantuan Tuhan pula. Alfonso, anakku, tidakkah engkau turut bergembira dengan kami?" Pangeran palsu itu berusaha menyembunyikan kekecewaannya, lalu menjawab, "Saya akan berbahagia, bila Ayah sembuh dan dapat melihat lagi, tetapi harus dikatakan juga, bahwa tidaklah baik untuk memberi harapan palsu kepada seseorang dalam kesusahan, sebab bila pengharapan itu ternyata kosong belaka, maka orang itu akan merasa sepuluh kali lebih malang!" "Tuhan akan melindungi kita! Perawatan itu akan makan waktu berapa lama, Tuan dokter?" "Batu itu tidak dapat langsung dikeluarkan, karena Anda masih harus membiasakan diri dengan perkakasnya. Setelah dua minggu baru dapat dikerjakan," jawab Sternau. "Dan kemudian, bila kekuatan tubuh Anda sudah pulih kembali setelah mengalami pembedahan itu, maka dapat dimulai dengan perawatan mata. Itu akan makan waktu lebih lama lagi." "Tetapi dapatkah Anda tinggal di sini begitu lama?" "Ya, saya harus minta cuti pada Profesor Letourbier selama beberapa waktu lebih dahulu. Mungkin juga saya harus meletakkan jabatan saya di sana." "Baik Anda meletakkan jabatan saja, bila Anda tiada berkeberatan. Anda dapat tinggal di sini berapa lama pun dan akan menerima ganti rugi cukup banyak untuk segala yang Anda tinggalkan di Paris!" "Hadiah paling besar yang saya harapkan hanyalah, bila Anda dapat sembuh dengan sempurna dan dapat memperoleh penglihatan Anda kembali. Hari ini saya akan menulis sepucuk surat kepada Profesor." "Ya, lakukanlah itu! Anda tinggal di sini saja. Roseta akan mengantarkan Anda ke kamar Anda." "Bukankah pekerjaan itu harus dilakukan oleh seorang abdi?" kata Alfonso dengan hati kesal. "Benar juga pendapatmu," kata Pangeran, "kegirangan hatiku membuat aku lupa hal itu." "Saya pun harus berterima kasih pada ucapan peringatan itu," kata Sternau dengan penuh harga diri, "karena bukanlah keinginan saya, orang mengadakan pengecualian karena saya." Sternau minta diri kepada Pangeran Manuel dan bergegas keluar dari kamar itu. Di luar ia menjumpai ketiga orang dokter Spanyol itu, yang menatapnya dengan pandangan penuh kebencian. "Anda telah menantang kami," kata Francas. "Baik, kami terima tantangan itu dan kami terus-menerus akan melawan Anda, hingga Anda menyerah kalah." "Boleh saja!" Hanya itulah jawaban Sternau. Kemudian didorongnya orang yang berbicara tadi, lalu ia membuka pintu. Ia pergi ke rumah tempat ia bermalam. Bila ia kembali lagi ke puri, sebuah kamar sudah akan siap baginya untuk ditempati. Tidak lama kemudian beberapa orang mengadakan pertemuan di kamar Senora Clarissa dengan pintu terkunci. Pangeran Alfonso, Dokter Francas, dan Notaris Gasparino Cortejo hadir di situ. Kedua orang yang namanya disebut lebih dahulu menceritakan peristiwa yang baru dialaminya dengan panjang lebar. "Aneh benar!" seru Clarissa setelah mendengar seluruh cerita itu. "Kami sudah begitu yakin akan berhasilnya rencana itu, tiba-tiba datang orang asing untuk mengacaukan segala-galanya!" "Mengacaukan?" tanya Alfonso dengan tajam. "Itu tidak dapat disebut demikian. Bukan mengacaukan, melainkan hanyalah menunda sekadarnya." "Cara penyembuhan dengan catheter itu benarkah dapat berhasil?" bisik notaris kepada dokter. "Sudah pasti," jawab Francas. "Tetapi sebelum ia berhasil, sebaiknya kita menghancurkan diri Dokter Sternau dengan gurdinya sendiri." "Dan bagaimana kemungkinan berhasilnya pembedahan mata itu?" "Itu pun mungkin, kecuali bila terjadi peradangan. Saya khawatir, dokter asing itu sanggup melakukan segala pekerjaan itu." "Maka kita harus mengusahakan, supaya peradangan itu terjadi," kata Clarissa. "Benarlah, itu dapat kita usahakan dan lebih banyak lagi," kata notaris, "tetapi kita harus bekerja dengan hati-hati. Janganlah kita tergesa-gesa. Selanjutnya kita harus selalu menjaga, supaya perbuatan kita tidak menimbulkan kecurigaan. Kita tidak boleh dilihat orang sedang bersama-sama. Maka kita harus selekasnya mengakhiri pembicaraan ini dan berpisah. Namun satu hal sudah pasti: Pangeran tidak boleh sembuh, terutama tidak boleh dapat melihat kembali, karena hal itu akan berbahaya. Ia sekali-kali tidak boleh melihat wajah Alfonso. Dan dokter asing itu harus dibunuh atau disingkirkan." "Tetapi bagaimana?" tanya Clarissa. "Serahkan pekerjaan itu kepadaku! Aku mempunyai kawan-kawan baik di daerah pegunungan. Mereka dinamakan perampok oleh orang-orang bodoh. Tetapi bagiku mereka merupakan sahabat-sahabat yang paling setia serta jujur. Aku akan mengunjungi mereka dan minta bantuan mereka untuk membebaskan kami dari gangguan pengacau asing itu." Ketika Sternau kembali lagi ke puri, Putri Roseta menyambut dengan salamnya. "Selamat siang, Senor!" katanya. "Semoga kedatangan Anda membawa berkat dan bahagia!" "Saya khawatir, kedatangan saya mula-mula hanya mendatangkan pertarungan saja," jawabnya. "Itu sudah diramalkan oleh Dokter Francas." "Mungkin Anda benar," jawab Putri dengan mata berseri-seri, "tetapi pertarungan itu bukanlah hanya bermanfaat untuk memberantas kepalsuan, dusta dan kebatilan, melainkan juga suatu pertarungan yang mengabdi kepada cinta! Dan dalam pertarungan itu saya akan menjadi kawan Anda yang setia dan bersemangat!" BAB III KISAH TENTANG SEORANG PENGEMIS Di atas pegunungan Pirenea di sebelah barat Andorra, terdapat pegunungan Maladetta (Yang Terkutuk). Puncak-puncaknya menjulang tinggi ke langit dan jurang-jurangnya dalam serta gelap. Di daerah itu terlihat seorang pengembara menempuh jalan menuruni gunung. Tiada mata air yang dapat memberinya kesejukan, tiada pula semak belukar tempat berteduh dari panas matahari yang memancarkan sinar dengan teriknya ke atas tanah berbatu yang tandus itu. Sesungguhnya pengembara itu sangat mendambakan seteguk air minum yang dapat menyegarkan tubuh, serta suatu tempat yang teduh, tempat ia dapat melunjurkan kaki untuk melepaskan lelah sejenak. Orang itu sudah lanjut usianya. Rambut sudah beruban dan wajahnya kurus kering oleh pengaruh cuaca. Kulit tangannya mengeras seperti kulit hewan yang disamak. Pakaiannya compang-camping dan sandal yang dipakainya sudah tua dan tipis, sehingga kakinya menyentuh tanah yang panas menyengat itu. Tambahan pula tampak ia sedang menderita sakit payah, karena ia batuk tiada putus-putusnya! Demikian ia berjalan terhuyung-huyung menuruni gunung. Perjalanan itu sangat meletihkan, tetapi ia memaksakan kaki melangkah terus, seolah-olah terdorong oleh pengaruh kutuk jahat, merangkak-rangkak di tengah-tengah gurun tandus itu. Akhirnya ia berhenti dan menoleh ke kiri dan ke kanan seolah-olah ada sesuatu yang dicari. "Inilah daerahnya," katanya kepada diri sendiri. "Di sini telah kubawa anak itu. Dari sini aku pergi ke Meksiko dan dari sini pula mulailah hidup sengsara yang terasa hingga ke tulang sumsumku. Maka di sinilah aku harus berhenti dan beristirahat." Orang tua itu lalu duduk bertopang dagu di atas sebuah batu yang membara. Di mana-mana sunyi senyap keadaannya. Hanya napas orang tua yang terengah-engah itu memecah kesunyian. "O, santa madre dolorosa," katanya kemudian. "Betapa besar dosaku, betapa kejam pula ganjaran yang kuterima untuk perbuatanku itu! Aku harus mengembara sepanjang masa sambil mengemis, menempuh daratan dan lautan untuk menebus dosaku yang amat berat menekan jiwaku itu, agar dengan tenang dapat membaringkan tubuhku ke dalam liang kubur. Ya Tuhan, sertailah hamba-Mu yang berdosa ini. Berilah, supaya aku tidak sia-sia mencari! Berilah, supaya aku dapat menemukannya, supaya dengan demikian aku terhindar dari bahaya api neraka yang abadi itu!" Ia duduk termenung sambil batuk-batuk. Kemudian ia mulai lagi. "Akan tetapi, masih hidupkah ia? Ataukah sudah dimatikan, anak yang tampan, yang telah kugendong dalam keadaan tidur seperti anak Kristus di dalam tangan perawan suci itu? Alangkah kejinya, kalau benar begitu keadaannya. Tidak, tiada tertahan olehku keadaan yang tidak menentu seperti ini! Aku harus berjalan terus, membelok ke kiri, ke tempat persembunyian gerombolan perampok itu. Tetapi mereka tidak boleh mengenaliku; mereka tidak boleh menerka maksud kedatanganku. Mereka tidak akan mengusirku. Mereka akan membiarkan orang sakit payah seperti aku dan tidak lama lagi akan kutemukan anak itu, bila insya Allah ia masih hidup. Maka ayolah kakiku, berjalanlah terus tanpa merisaukan segala keletihan! Tidak lama lagi kalian boleh beristirahat untuk selama-lamanya!" Ia bangkit dengan susah payah, lalu melanjutkan perjalanannya. Sejak semula perjalanannya menuju ke arah selatan. Kini ia membelok ke arah timur. Ia harus menempuh lembah-lembah sempit dan mendaki tebing-tebing curam. Ia batuk-batuk, napasnya terengah-engah, ia merintih dan mengerang, namun tidak mau menyerah kalah sebelum ia melihat pohon-pohon hijau di hadapannya. Kini ia sudah melampaui daerah tandus dan gersang dan ia mencapai daerah pegunungan yang mula-mula ditumbuhi semak belukar, tetapi tidak lama kemudian menjadi hutan-hutan yang lebat. Di antara semak-semak dan pohon-pohon itu ia mendaki ke atas, sampai ia tiba di sebuah padang yang dikitari semak-semak. Di situ ia duduk melepaskan lelah. Baru saja ia duduk, ia mendengar bunyi langkah kaki orang di belakangnya. Sebelum sempat menoleh ke belakang, ia merasa sebuah tangan orang yang tegap memegang bahunya, lalu ia mendengar suara orang membentak, "Apa kerjamu di sini, Kek?" "Mati!" Hanya sepatah kata itulah jawabnya. Kemudian dibiarkannya kepala terkulai ke bawah. "Kakek ingin mati? Mengapa?" Orang yang berbicara itu masih muda dan bertubuh kekar. Dari senjata-senjata yang dibawanya kita dapat menerka bahwa ia bukanlah orang kota atau orang desa biasa, yang bertujuan damai. "Karena aku tidak dapat berjalan lagi," keluh orang sakit itu. "Mengapa Kakek ke mari? Apa hendak dicari?" "Berhari-hari sudah aku mencari akar tumbuh-tumbuhan yang dapat menyembuhkan penyakitku, namun tiada dapat kutemukan." "Kakek berasal dari mana?" "Dari Orense, jauh dari sini, di perbatasan dengan wilayah Portugis." "Kakek sakit perlu datang ke mari? Kakek membawa makanan?" "Tidak, sedikit pun tidak." "Sedikit pun tidak? Astaghfirullah, Kakek akan mati kelaparan, sebelum Kakek ditewaskan kuman-kuman penyakit paru-paru Kakek! Tunggu sebentar! Aku akan minta izin supaya boleh membawa Kakek ke tempat kami!" Anak muda itu menghilang di balik semak-semak tetapi tak lama kemudian kembali lagi. "Dengan mata Kakek ditutup secarik kain aku dapat membawa Kakek ke suatu tempat, di situ Kakek dapat beristirahat dengan tenang," katanya. "Mengapa harus dengan mata tertutup?" "Itu perlu, karena Kakek tidak boleh melihat jalan masuk ke tempat kediaman kami." "Siapakah kalian gerangan?" "Kami perampok, namun kami orang-orang jujur, Kek." "Perampok? Aku tidak mempunyai apa-apa. Maka aku tak perlu takut pada kalian. Tutup saja mataku dengan secarik kain dan bawalah aku ke mana kau kehendaki." Perampok itu mengambil kain yang terlilit di lehernya, menutup mata orang tua itu dengan kain, lalu membimbingnya. Mula-mula mereka menempuh jalan yang ditumbuhi semak-semak, kemudian menurut apa yang dapat kita dengar dari bunyi langkah kaki mereka melalui lorong sempit. Akhirnya mereka berhenti dan kain penutup mata orang tua itu dibuka. Kini orang tua itu berdiri di atas suatu padang berbatu-batu. Sekelilingnya duduk lebih kurang dua puluh orang berwajah liar dan bersenjata lengkap. Mereka sedang makan, minum, mengisap rokok, atau memeriksa senjatanya. Kakek itu dibawa menghadap seorang yang bertubuh tinggi dan berjanggut lebat, yang sedang berbaring di atas selimut bulu domba, sibuk menghitung uang di dalam tas kulit yang besar. "Siapa nama Kakek?" bentaknya kepada kakek yang baru datang itu. "Namaku Bernardo, Senor." Kepala perampok itu mengamatinya sejenak. "Sangkaku, aku sudah pernah melihat wajah Kakek." "Saya rasa Anda khilaf. Saya belum pernah melihat Anda." "Kata orangku, Kakek berasal dari daerah Orense. Mengapa tidak diam di sana saja, bila sedang sakit?" "Justru karena keadaan saya yang sakit inilah maka saya ke mari. Saya mencari sejenis akar yang dapat menyembuhkan segala penyakit." "Haha, obat semacam itu tidak ada!" "Ada, Tuan. Seorang Zanggi yang arif bijaksana mengatakannya." "Apakah Kakek tidak mempunyai anak yang dapat menggantikan Kakek!" "Saya tidak bersanak saudara di dunia ini." "Kakek boleh tinggal di sini untuk beristirahat! Kakek tidak akan lama lagi hidup. Ingat, tanpa izinku, Kakek tidak boleh meninggalkan tempat ini. Awas, kalau Kakek berkhianat. Kami akan mengambil tindakan tegas pada orang-orang demikian!" Orang tua itu diberi tempat bernaung yang agak jauh letaknya dari tempat mereka sendiri. Ia mendapat makan dan minum. Selanjutnya ia tidak dihiraukan lagi. Selang berapa lama penjaga yang bertugas di luar masuk lagi dan lapor kepada kepala perampok bahwa seorang asing ingin bicara dengannya. "Siapakah orang itu?" tanya kepala perampok. "Ia tidak bersedia menyebut namanya. Ia memakai topeng hitam supaya tidak dikenal orang." "Baik, aku akan datang." Kepala perampok itu bangkit, mengambil sepucuk pistol dan meninggalkan tempatnya. Di luar dilihatnya orang asing itu. Nampaknya dikenal juga orang asing itu karena ia menghampirinya dan mengulurkan tangan kepadanya, lalu menyambutnya dengan ramah. "Selamat datang, Senor Gasparino! Berapa lama kita tidak bertemu?" "Sst!" kata orang yang bertubuh tinggi kurus dan bertopeng itu, memperingatkan. "Jangan menyebut namaku! Kita harus waspada! Cukup amankah kita di sini?" "Saya jamin! Penjaga yang sedang bertugas itu cukup jauh berdiri dari sini. Ia tidak dapat mendengar percakapan kita. Saya harap, Anda membawa tugas yang menarik bagi saya." "Memang ada tugas itu, asal Anda jangan minta upah terlalu banyak. Berapa ongkos untuk menyingkirkan dua orang?" "Itu tergantung pada siapakah mereka itu." "Seorang pangeran dan seorang dokter." "Siapakah pangeran itu?" "Pangeran Manuel de Rodriganda y Sevilla." "Tuan Anda? Astaghfirullah! Anda benar-benar seorang pegawai yang setia! Tetapi maaf, saya tidak dapat memenuhi permintaan Anda! Pangeran itu di bawah naungan salah seorang sahabat saya. Ia tidak boleh saya bunuh!" "Ada-ada saja. Ingat, saya berani membayar harga yang mahal!" "Itu pun tidak dapat mempengaruhi pendirian saya. Kami perampok bersikap jujur pada sesama kawan. Sungguhpun Anda menjanjikan bayaran yang berlipat ganda besarnya, namun harus saya tolak juga. Maka tugas membunuh orang pertama itu janganlah dipersoalkan lagi. Lalu siapakah orang yang kedua itu?" "Seorang dokter Jerman." "Itu dapat dilaksanakan." "Dan tentu lebih murah upahnya." "Tentu saja. Di mana tinggalnya?" "Di rumah Pangeran." "Kalau begitu upahnya tidak dapat lebih murah. Seorang yang tinggal di rumah orang yang kami lindungi tidak boleh dibunuh juga." "Tidak boleh? Siapa yang dapat melarang Anda?" "Saya sendiri. Saya tidak boleh melanggar begitu saja peraturan yang telah saya ciptakan sendiri. Tetapi mengapa orang ini harus disingkirkan?" "Ia merintangi jalan saya. Saya harap keterangan ini sudah cukup bagi Anda?" "Baik. Ia harus mati atau menghilang saja?" "Yang pertama lebih aman." "Anda harus membayar seribu keping uang dublon." "Sebanyak itu? Anda sedang mengigau, Capitano?" Kepala perampok itu bangkit dan berkata pendek, "Kalau begitu kita batalkan saja. Adios, Senor!" "Sudahlah! Saya setuju dengan harga itu. Bilamana uang itu harus dibayarkan?" "Separuh sekarang dan separuh lagi kemudian." "Dan bila Anda gagal?" "Tak mungkin gagal. Bagaimana orang itu harus didekati?" "Itu belum dapat saya pastikan. Sedikitnya diperlukan sejumlah orang untuk melakukan pekerjaan itu. Anda mengirim mereka ke Rodriganda. Mereka akan bertemu dengan saya di taman. Di situ saya akan memberi petunjuk. Inilah lima ratus keping uang dublon." Gasparino menghitung uang itu, lalu bertanya, "Masih adakah anak kecil yang dahulu?" "Masih. Dan kini ia sudah meningkat dewasa." "Mengapa tidak Anda bunuh saja?" "Dahulu Anda membayar saya untuk menyingkirkannya saja. Dan siapakah sebenarnya anak itu?" "Anda dapat mendengar tentang itu kemudian. Siapakah ia menurut perkiraan Anda?" "Hanya seorang anak yang ditemukan di pegunungan." "Boleh saya melihatnya?" "Sayang tidak, Senor! Anda bukanlah anggota. Anda hanya membayar pekerjaan saya. Sekarang lebih baik Anda pergi. Lebih dari ini tidak dapat Anda peroleh." "Baik. Bilamana saya dapat mengharap kedatangan orang-orang Anda ke Rodriganda?" "Esok sore. Adios, Senor!" "Adios." Mereka berjabatan tangan, lalu berpisah. Kedua orang itu baru saja memutuskan tentang jiwa seseorang. Hal itu dianggap soal kecil saja. Tetapi siapakah yang sebenarnya lebih berbahaya, kepala perampok yang kejam atau notaris munafik yang bertindak dengan sembunyi-sembunyi itu? Setelah perampok itu kembali di tempat persembunyiannya, ia memanggil lima orangnya yang tangguh dan menyuruh mereka pergi ke Rodriganda untuk melaksanakan pekerjaan yang dikehendaki notaris. Ketika malam hari tiba, salah seorang perampok menghampiri pengemis tua itu, lalu menyuruh mengikutinya. Ia membawanya ke dalam suatu gua gelap di dalam sebuah gunung. Di kiri kanan gua itu terdapat kamar-kamar kecil yang dibuat dengan jalan memahat dinding batu itu. Kamar-kamar itu dipakai sebagai kamar tidur para perampok. Beberapa di antara kamar-kamar itu berterali besi, sehingga menyerupai sel-sel dalam penjara. Perampok yang mengantar pengemis itu adalah seorang anak muda berusia lebih kurang dua puluh dua tahun. Ia berpakaian daerah Catalonia, yang penuh dengan warna-warni. Cahaya lampu yang dipegang di tangannya memperlihatkan raut muka yang agung yang sukar dapat kita kaitkan pada seorang perampok. Tubuhnya tinggi semampai dan gerak-geriknya lemah gemulai serta menarik pandangan orang. "Inilah kamar Kakek," katanya, sambil menunjuk pada salah sebuah kamar. "Ada tempat tidur juga di dalamnya. Lampu ini kutinggalkan di sini. Pakailah untuk keperluan Kakek." "Terima kasih, Nak," jawab orang tua itu. "Mungkin aku tidak dapat meninggalkan kamar ini hidup-hidup." "Mengapa tidak? Janganlah kita berpikiran terlalu pesimis. Benarlah bahwa Kakek sedang sakit payah. Namun kita selalu harus berharap. Tuhan masih ada, yang dapat menyembuhkan segala penyakit." "Memang aku berharap," jawab orang tua itu sambil batuk-batuk, "tetapi aku berharap pada kematianku. Kematian itu akan melepaskan diriku dari segala penderitaan." "Kakek tentu sangat menderita," kata perampok itu sambil membantu orang tua itu membereskan tempat tidurnya. "Roh kita tidak dapat meninggalkan jasad tanpa kita merasa sakit. Jasad kita menolak kematian itu. Namun apakah rasa sakit dibanding dengan penderitaan rohani! Penderitaan demikian lebih mengerikan. Maka adalah harapanku, jangan sampai Anak mengalaminya dalam hidup." "Jiwa Kakek menderita? Aku ingin sekali meringankan penderitaan Kakek. Aku ingin menolong Kakek." "Anak sangat bermurah hati. Namun hanya Capitano-lah yang dapat menolongku. Mungkin juga Anak dapat, bila Anak menghendaki." "Tentu aku bersedia bila sanggup!" "Kenalkah Anak seseorang di antara kawanan perampok, yang tidak mengetahui asal-usulnya?" Perampok muda itu memasang telinga. "Mengapa Kakek bertanya tentang itu?" "Karena Kakek mencari orang demikian." "Benarlah, di antara kami ada seseorang yang tidak mengetahui asal-usulnya. Dan kebetulan dia hanya seorang." "Itu dia yang Kakek maksudkan. Tunjukkan pada Kakek, siapakah orang itu." "Aku sendiri orangnya." "Alhamdulillah! Siapa nama Anak?" "Mariano." "Apa lanjutannya? Tidak ada nama lain?" "Tidak." "Ah! Bagaimana asal mula, maka Anak sampai di sarang perampok ini?" "Kepala perampok telah menemukanku di daerah pegunungan. Ia telah memeliharaku. Segala usaha untuk mencari orang yang meletakkanku di pegunungan itu sia-sia belaka." "Entahlah." "Berapa lama Anak hidup dengan mereka?" "Lebih kurang delapan belas tahun." "Lebih kurang delapan belas tahun?" tanya si tua sambil melamun. "Waktunya cocok sekali. Dapatkah Anak berusaha mengingat kembali kejadian-kejadian semasa kecil?" "Sayang tidak. Hanya aku kerap kali bermimpi tentangnya." "Mungkin sekali mimpi Anak itu sesungguhnya kejadian yang sebenarnya. Apa yang Anak mimpikan itu?" "Mimpiku tentang sebuah boneka yang mungil. Ia terletak di atas tempat tidur putih bersih serta indah. Di sudut tempat tidur itu dapat kulihat sebuah mahkota dari emas dan boneka itu dapat bergerak." "Tahukah anak nama boneka itu?" "Ya," jawabnya. "Masih jelas kuingat, bahwa aku menamakannya Roseta atau Roosje. Ada juga mimpi tentang seorang yang bertubuh tinggi dan besar, yang memanggilku Alfonso. Ia mendudukkan aku ke atas pangkuan seorang wanita yang cantik dan agung, yang sangat sayang kepadaku dan yang selalu membelai dan menciumku serta boneka Roseta. Aku masih ingat aku memanggil mereka Papa dan Mama. Aku pun tidur di atas tempat tidur yang dihiasi dengan mahkota-mahkota. Suatu kali datang seorang laki-laki asing, selagi aku tidur. Ketika itu aku tidak tidur di dalam puri, melainkan dibawa oleh Papa dan Mama ke sebuah kota. Aku hendak berteriak, karena aku takut kepada orang itu, tetapi orang itu mengencangkan ikatan kainku. Karena ketakutan, aku pun tertidur. Setelah aku terbangun lagi, aku terbaring di dalam hutan. Itulah mimpiku seluruhnya." "Tidak ada lagi yang Anak ingat? Tidak ingatkah Anak siapa nama orang yang berpakaian seragam itu?" "Abdi-abdi memanggilnya Pangeran atau Yang Mulia." "Tidak pernahkah disebut namanya?" "Tidak." "Dengarlah, Anakku, mimpimu itu sebenarnya bukanlah mimpi, melainkan kenyataan!" "Demikian juga pernah menjadi pendapatku. Tetapi bila kuceritakan kepada Capitano, maka ia memarahiku. Aku tidak boleh bicara lagi. Mahkota itu sama sekali tidak boleh kusebut, meskipun aku dapat melukiskannya dengan tepat. Ia hendak memukulku, bila aku berani bicara tentang hal itu lagi. Karena itu hingga kini aku hanya menyimpan pengetahuanku itu dalam hati saja." "Ingatanmu tentang mahkota itu masih jelas?" "Aku dapat melukiskannya dengan tepat sekali. Ujung-ujungnya yang terbuat dari emas itu bertatahkan mutiara dan di bawahnya terdapat dua tanda dari perak." "Tanda-tanda apakah itu?" "Mula-mula aku juga tidak mengetahui, tetapi setelah aku belajar membaca, aku kenal kedua tanda itu sebagai dua huruf, huruf R dan S." "Mahkota itu merupakan lambang dari seorang pangeran. Janganlah lupa kedua huruf itu!" "Aku tidak akan melupakannya, meskipun aku belum pernah menceritakannya kepada orang lain." "Dan di antara kaum perampok itu, masih adakah seorang yang diperoleh dengan jalan menemukannya di hutan?" "Tidak ada lagi!" "Kalau begitu, Anaklah yang kucari itu." Mariano terheran-heran. "Kakek mencariku? Mengapa?" "Anakku, tampak sudah menjadi kehendak Allah, bahwa engkau akan mendengarkan riwayat kejadian yang sesungguhnya tentang dirimu. Apa yang akan kau dengar dari mulutku, haruslah kaujadikan pedoman dalam hidupmu seterusnya." Wajah anak itu nampak menjadi gembira. "Benarkah itu?" serunya. "Puji syukur kepada Tuhan!" "Diam!" tegur orang tua itu. "Sekali-kali tidak boleh diketahui orang, bahwa aku berbicara tentang hal ini denganmu. Bila diketahui oleh kepala perampok, jiwamu takkan selamat. Sebenarnya mereka bermaksud untuk membunuhmu, namun untunglah pekerjaan terkutuk itu tidak sampai terjadi. Tetapi bila ia mengetahui apa yang hendak kuceritakan kepadamu, ia akan merasa terpaksa membunuhmu, hanya untuk menyelamatkan rahasia. Untunglah bahwa kamar inilah yang kausediakan untukku. Ingat, apa yang akan kuceritakan ini, sekali-kali bukanlah dimaksud untuk telinga orang lain. Maka sebaiknyalah engkau kembali lagi ke sini, bila tugasmu sehari ini sudah selesai dan tidak ada orang yang memerlukan bantuanmu lagi." "Aku harus menunggu sampai semua orang tidur." "Bawalah kertas, pena, dan tinta, karena pasti akan ada yang harus kau catat. Bawalah juga sebuah lampu yang lebih terang nyalanya, supaya engkau tidak mendapat kesukaran bila sedang mencatat." Mariano pergi dan orang tua itu ditinggalkannya seorang diri. "Terima kasih Tuhan, bahwa Engkau memberi kepadaku tenaga secukupnya untuk sampai ke tempat ini," katanya kepada dirinya sendiri. "Barangkali Tuhan mau mengampuniku, bila aku berusaha untuk menebus dosaku pada masa lampau itu." Ia batuk-batuk lagi sehingga hampir tidak dapat bernapas. Tak lama kemudian para perampok itu tidur. Beberapa orang masih berbaring sambil bercakap-cakap. Akhirnya mereka pun menarik selimut menutupi tubuhnya. Semua orang sudah tidur. Hanya seorang penjaga di luar berjalan hilir mudik untuk menjaga keselamatan kawan-kawannya. Kini Mariano meninggalkan kamarnya. Hampir-hampir ia tidak dapat mengendalikan rasa gembira. Akhirnya, akhirnya tabir yang menutup matanya akan dibuka juga! Kini ia mengetahui, bahwa mimpinya itu bukanlah khayal belaka, melainkan kenyataan! Hatinya berdebar-debar, ketika ia menghampiri sel yang didiami orang tua itu. Orang tua itu masih jaga. Ia sedang duduk, ketika mendengar anak muda itu datang. Mariano meletakkan lampunya ke atas lantai, lalu duduk di sebelah orang tua itu. Orang sakit itu melihat dengan penuh pengharapan, mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Mariano ke dalam tangannya sendiri, yang membara karena demam yang sedang diderita. "Mariano," demikian dimulai pengakuannya, "orang telah melakukan kejahatan padamu dan akulah yang menolong mereka. Sekarang aku masih belum mohon pengampunan dari padamu. Engkau harus mendengar dahulu, bagaimana cara aku berdosa kepadamu." Orang sakit itu berdiam diri dan menarik napas dalam-dalam, seakan-akan ia membutuhkan tenaga untuk dapat melanjutkan ceritanya. "Harus kauketahui juga, bahwa aku dahulu pernah menjadi anggota kawanan perampokmu itu." "Masa! Kakek! Perampok juga!" "Benarlah demikian, Nak! Capitano adalah pemimpinku juga. Namaku Tito Sertano dan aku berasal dari Mataro. Mula-mula aku seorang pelaut miskin. Kadang-kadang aku menyelundupkan beberapa elo kain sutra melewati perbatasan Perancis. Pada suatu kali aku tertangkap. Perahu serta barang selundupanku disita dan aku sendiri dimasukkan ke dalam kurungan. Namun aku dapat melarikan diri dan karena di mana pun aku tidak dapat hidup aman, maka aku menggabungkan diri dengan gerombolan perampok itu. Pekerjaan pertama yang harus kulakukan ialah menukar seorang anak. Hingga kini pekerjaan menyelundup itu tidak begitu memberatkan hati, tetapi perbuatan yang baru ini membuat hatiku gelisah. Aku tidak dapat tidur semalaman. Dan ketika aku disuruh Capitano membunuh seseorang, aku mengingkari sumpah setiaku dan meninggalkannya." "Coba ceritakan kisah penukaran anak itu!" mohon Mariano. "Kepala perampok itu menyertai aku untuk meyakinkan diri, bahwa pekerjaan itu dilaksanakan dengan baik. Ia membawaku ke sebuah hotel di Barcelona. Kami bermalam di situ. Kira-kira tengah malam, kami didatangi orang yang membawa bungkusan. Ketika dibuka bungkusan itu kulihat di dalamnya seorang anak berusia kira-kira empat tahun. Kain pembungkusnya berbau ether, maka aku mengetahui bahwa anak itu telah dibius. Aku harus menukar anak itu dengan anak lain, yang sedang tidur dalam kamar sebelahnya. Kamar itu tiada terkunci dan aku mendapat ether sebotol untuk membius anak yang kedua itu. Setelah menukarkan pakaian kedua anak itu, aku membawa anak yang pertama bersama kepala perampok ke sini." "Kakek mengetahui dengan pasti?" "Aku dapat menyatakannya dengan sumpah! Kau mengira telah bermimpi, padahal kau telah mengalami kejadian yang sesungguhnya. Ketika aku menukar kedua anak itu, aku masih sempat melihat pada baju anak asing itu suatu gambar mahkota dengan dua huruf R dan S. Aku masih dapat mengingat pula tanggal kejadian itu, yaitu tanggal 1 Oktober tahun 1830 pada malam hari, pergantian tanggal 1 ke 2 Oktober." "Kakek masih dapat mengingat orang yang membawa anak itu? Maklumlah, bagiku keterangan itu amat penting." "Aku tidak kenal dia, tetapi aku mendengar namanya disebut orang. Pemimpin perampok kurang pandai merahasiakan namanya. Sekali aku mendengar, ia memanggilnya Gasparino dan nama itu disebut sekali lagi ketika ia sedang berpisah dengan orang itu. Ketika itu pintu terbuka dan aku dapat menangkap nama itu diucapkan. Pasti aku dapat mengenal orang itu kembali, bila aku bertemu dengannya." "Bagaimana bentuk tubuhnya?" "Tinggi kurus. Suaranya agak parau dan ia suka menggunakan kata-kata dan ungkapan lemah-lembut." "Jadi Kakek telah membawa anak asing itu ke mari! Apa yang terjadi dengan anak itu kemudian?" "Ia disembunyikan dalam gua dan dirawat dengan baik. Ia selalu bicara tentang mama dan papanya, tentang bayi Roseta, tentang Alimpo dan Elvira yang baik itu. Akhirnya ia dilarang oleh Capitano menyebut nama-nama itu. Kemudian mungkin sudah terlupakan lagi olehnya nama-nama itu." "Tidak," selang Mariano. "Aku sekali-kali tidak melupakannya. Kedua nama yang disebut belakangan itu memang masih belum timbul dalam ingatanku, tetapi sekarang aku dapat mengingatnya kembali. Alimpo yang baik hati itu kerap kali menggendongku. Ia mempunyai kumis tebal dan gagah. Aku tidak suka dicium olehnya karena kumisnya itu. Ia selalu mengakhiri perkataannya dengan, 'Demikian juga pendapat Elvira.' Elvira ialah istrinya. Badannya gemuk. Aku dapat membayangkannya dengan nyata di hadapan mataku. Aku pasti akan mengenalnya bila aku bertemu dengannya. Sekarang lanjutkan cerita Kakek!" Setelah dengan susah payah mengatasi serangan batuk, ia melanjutkan. "Beberapa minggu setelah penukaran anak itu aku diberi tugas membunuh seseorang. Aku menolak. Capitano mengancam akan membunuhku, bila aku tidak melaksanakan perintahnya. Aku pura-pura hendak mematuhi perintahnya, padahal aku pergi dan tiada kembali lagi. Aku pergi berlayar sebagai kelasi di sebuah kapal Perancis, kemudian di beberapa kapal Amerika. Aku menderita sakit ketika kapalku berlabuh di San Juan d'Ulloa. Aku sembuh kembali, lalu bekerja pada seorang hartawan bangsa Meksiko. Aku dibawa olehnya ke ibukota Meksiko. Aku mengabdi padanya beberapa tahun lamanya hingga ia meninggal. Sejak itu nasibku agak malang. Uang tabunganku makin menyusut dan aku diserang penyakit paru-paru. Ajalku sudah hampir sampai. Ketika itu timbul keinginan pada diriku untuk minta pengampunan karena dosa-dosaku. Aku ingin mencari anak yang diculik itu dan mohon pengampunan dari padanya. Aku mengumpulkan uang dengan minta-minta untuk membiayai pelayaranku ke Spanyol. Penyakitku telah mengubah tubuhku secara sempurna, sehingga aku tidak usah khawatir akan dikenal orang lagi. Maka aku memberanikan diri pergi ke sarang perampok untuk mencari anak itu. Dengan kehendak Allah juga maka pada hari pertama aku sudah dapat bertemu dengan anak itu. Untung juga demikian, kalau tidak, mungkin aku tidak akan bertemu lagi dengannya untuk selama-lamanya." Kembali orang tua itu mendapat serangan batuk, setelah selesai menceritakan riwayatnya yang menimbulkan perasaan-perasaan yang bertentangan satu sama lain dalam diri anak muda itu. Kini ia tiada dapat duduk dengan tenang, melainkan berjalan hilir mudik di dalam sel itu. Orang yang berbaring di hadapannya telah berbuat kejahatan pada dirinya. Namun orang itu hanyalah alat saja di tangan seorang penjahat. Lagipula ia harus mematuhi perintah Capitano. Patutkah ia melepas amarahnya kepada orang yang sudah demikian tersiksa lahir batin itu, lagipula tinggal menunggu ajalnya saja? Orang sakit itu menengadahkan tangan, lalu memandang Mariano dengan iba. Anak muda itu menghampirinya, mengulurkan tangan kepadanya dan berkata, "Tito Sertano, aku memaafkanmu, aku dapat memaklumi seluruh perbuatanmu yang sesat itu. Aku sendiri pun hanya seorang yang berdosa juga dan perlu minta pengampunan dosa dari pada Tuhan seperti aku telah mengampunimu." Kepala pengemis itu terkulai ke belakang, matanya dipejamkan dan pada wajahnya terbayang perasaan damai sentosa. "Betapa lega hatiku sekarang!" bisiknya. "Ya Allah, puji syukur kepada-Mu. Kini aku dapat meninggal dengan tenang. Namun berilah kesempatan kepadaku untuk memulihkan kembali kebahagiaan dari suatu keluarga agung, yang telah kuhancurkan di masa lalu. Kulihat, engkau sudah membawa pena dan tinta. Maka catatlah segala yang hendak kuceritakan, dan aku akan menandatangani keterangan itu. Biar engkau dapat memakai sebagai bukti, bahwa kaulah orang yang telah diculik itu." "Baik, akan kukerjakan itu," jawab Mariano sambil mengeluarkan alat-alat tulisnya. "Apa yang aku dengar itu, nyata masih belum cukup. Hanya Tuhan yang mengetahui, di mana orang yang dipanggil dengan nama Gasparino itu tinggal, dan di mana orang-orang yang menukar anak itu kini bertempat tinggal. Apa nama hotel tempat kedua anak itu ditukar?" "Nama hotel itu 'El Hombre Grande'," jawab pengemis itu. "Dan di kamar mana kejadian itu berlaku?" "Aku mengambil anak itu dari kamar yang terakhir di tingkat pertama." "Apakah mereka akhirnya mengetahui, bahwa anak-anak itu telah ditukar?" "Entahlah. Kami sudah meninggalkan hotel itu pagi-pagi sekali, ketika semua orang sedang tidur." Kini Mariano menyusun surat yang berisi segala yang diperlukan itu. Setelah selesai, surat itu ditandatangani oleh pengemis itu. "Nah," kata Mariano, "surat ini akan kusimpan baik-baik. Kini aku hendak pergi dan aku harus mengucapkan terima kasih pada keterangan Kakek yang sangat berguna itu bagiku. Aku telah mengampuni segala perbuatan Kakek. Semoga Tuhan juga mengampuni Kakek." Kemudian Mariano kembali lagi ke kamarnya, tetapi ia tidak dapat tidur semalaman. Apa yang telah didengarnya bukan main penting baginya. Namun beberapa bagian dari keterangan itu, justru bagian utama, masih diliputi kegelapan. Itulah yang terus-menerus minta perhatiannya. Hingga kini ia menganggap pemimpin perampok sebagai penyelamatnya. Tetapi sekarang ia mengenalnya sebagai seorang pelaku kejahatan yang menyebabkan dia, seorang anak yang tidak berdosa, direnggut dari tangan orangtuanya yang agung dan terdampar di sarang gerombolan perampok. Kasihnya pada Capitano berubah menjadi rasa benci. Segenap kemarahannya dicurahkan kepada pemimpin itu, karena pengemis itu hanya memegang peran sebagai alat saja. Ia terpaksa tunduk bahkan kemudian ia menderita dalam usahanya menebus dosa. Kini ia sudah hampir menemui ajalnya. Maka hal itu membuat hati Mariano lunak. Tidak tega ia marah kepada orang tua itu. Ia akan berusaha menyembunyikan perasaannya pada kepala perampok maupun membuka selubung rahasia tentang asal usul dirinya. Ada lagi seorang dalam sarang perampok yang tidak dapat tidur. Ialah kepala perampok. Ia duduk dalam kamar yang dindingnya penuh digantungi berbagai senjata yang mahal. Orang itu sedang duduk tepekur bertopang dagu. Kadang-kadang ia terbangun dari lamunannya. "Gasparino Cortejo ini benar-benar seorang bajingan. Hatinya lebih busuk daripada perampok yang paling jahat!" katanya kepada dirinya sendiri. "Mengapa ia ingin membunuh dokter itu? Yah, sebenarnya apa peduli aku pada hal itu? Namun ingin juga kuketahui. Banyak benar uangnya! Jangan dilewatkan kesempatan baik ini. Jangan dilepaskan dia sebelum kuperas habis-habis hartanya!" Otaknya berputar lagi. Perkembangan pikiran ini menggelisahkannya. Maka ia bangkit, lalu berjalan mondar-mandir, sambil berkata pada dirinya sendiri, "Peristiwa Mariano pun dapat menghasilkan uang banyak juga, bila kutangani dengan cerdik. Tugasku sebenarnya membunuh anak itu. Namun bodoh, bila kulakukan. Anak itu dapat kugunakan sebagai sandera untuk mengorek uang dari saku si bedebah itu. Sayang, aku sudah telanjur menyayangi anak itu. Sungguh tak sampai hati mencelakakannya, bila hal itu perlu juga dilakukan." Kepala perampok itu berjalan lagi hilir mudik. Kemudian sambil tertawa mengejek ia pergi ke dinding batu dari kamarnya. Ia menekan suatu tempat, lalu sebuah batu persegi yang kecil bergeser. Di belakangnya terlihat suatu lubang dalam. Kepala perampok itu memasukkan tangan ke dalamnya dan mengeluarkan dari dalamnya sepucuk surat yang sudah kuning warnanya karena lama disimpan. "Aku ingat benar, ketika si bedebah itu menolak dengan keras permintaanku untuk menandatangani surat ini. Tetapi ia harus juga, karena ia dalam kekuasaanku. Dan karena aku tidak ingin namaku disebut di dalamnya, maka nama kaki tanganku, Tito, yang telah mengambil anak itu tertulis dalamnya." Dibukanya lipatan surat itu lalu ia berdiri dekat lampu dan membaca. "Dengan ini saya menyatakan sejujurnya, bahwa nelayan Tito Sertano dari Mataro pada tanggal 1 Oktober 1830 di hotel 'El Hombre Grande' di Barcelona atas permintaan saya dengan bayaran seribu keping uang piaster melakukan perbuatan penukaran seorang anak dengan anak yang lain. Anak yang telah ditukar dan bernama Mariano itu berada di sebuah gua di pegunungan dan mendapat perlindungan secukupnya. Manresa, 15 November 1830 Gasparino Cortejo notaris. " Kepala perampok itu melipat surat itu dan meletakkannya kembali ke dalam tempat rahasianya. Kemudian ia membelai-belai janggutnya dengan hati puas, lalu ia berkata dalam hati, "Dengan surat ini aku dapat menguasai si bedebah itu. Maka uangnya akan mengalir keluar dari dalam pundi-pundinya. Sayang aku gagal untuk mengetahui siapa sebenarnya anak yang ditukarkan itu. Namun aku dapat menduga. Cortejo adalah seorang ahli hukum yang bekerja pada Pangeran Manuel de Rodriganda y Sevilla. Aku harus menyelidikinya! Pangeran muda sedang dinanti kedatangannya, atau barangkali ia sudah datang juga. Perlukah aku mengamatinya? Haruskah aku meneliti hubungan keluarga Pangeran? Ya, itulah jalannya. Tetapi dapat dikerjakan siapa?" Wajahnya yang keruh karena berpikir tiba-tiba cerah kembali. Ia telah menemukan akal. "Aku mendapat ilham. Benar! Dialah paling cocok untuk pekerjaan ini. Mariano, anakku! Kau dapat bergerak dengan bebas di kalangan mereka. Untunglah, bahwa aku telah mengutamakan didikanmu mengenai tata hidup adat kebiasaan seperti yang dimiliki oleh seorang kalangan atas. Kau pandai menunggang kuda, bermain anggar, menembak, dan berenang. Tubuhmu kuat, sifatmu pemberani, setia dan patuh kepada atasan serta cerdik. Kaulah, yang hendak kuutus. Notaris itu tidak pernah melihatmu. Maka ia tidak dapat mengenalimu. Takkan terduga olehnya, bahwa anak muda yang tampan, ramah dan lincah itu sebenarnya anak yang dahulu sudah direncanakan hendak dibunuh. Wah, sungguh ganjil jalan nasib itu!" Ia masih berjalan hilir mudik beberapa lama, kemudian ia tidur. Keesokan hari ketika ia bangun datanglah seorang perampok melapor kepadanya, "Capitano, orang asing yang kemarin datang, baru saja meninggal!" "Baik, kita sudah bebas dari padanya. Makamkan dia, habis perkara! Coba lihat, Mariano sudah bangun atau belum. Suruh dia lekas datang kemari!" Perampok itu pergi. Tak lama kemudian Mariano masuk ke dalam. Ia memberi hormat dengan sepatutnya sambil berusaha menyembunyikan perasaan yang sudah berubah itu. Capitano menyilakannya duduk dan berkata, "Bagaimana keadaan kuda jantanmu, Mariano?" Muka anak muda itu berseri-seri ketika mendengar nama hewan kesayangannya disebut-sebut. "Ia tidak terkendalikan lagi," jawabnya. "Sudah lebih sebulan ia dikurung dalam gua kandangnya itu. Aku terpaksa memisahkan dari kuda-kuda lain, karena ia suka menendang-nendang kawannya." "Maka engkau harus hati-hati benar, bila hari ini engkau menungganginya. Hewan segagah dan setangkas dia akan susah benar dikendarai, bila selama empat minggu tidak pernah ditunggangi orang." "Jadi, aku harus mengendarainya, benarkah demikian, Capitano? Ke mana?" "Ke Manresa dan ke Puri Rodriganda." "Itu jauh sekali!" "Engkau akan mempunyai waktu cukup lama untuk mengadakan perjalanan itu. Mungkin engkau harus tinggal di situ berminggu-minggu lamanya." Wajah anak muda itu makin cerah. Bayangannya, dapat meninggalkan tempat tinggal yang suram dan gelap itu berminggu-minggu lamanya, membuat hatinya bersorak. "Aku mendapat tugas?" tanyanya. "Benarlah. Suatu tugas yang sulit dikerjakan," jawab Capitano. "Pakaianmu sudah siap?" "Sudah siap semua." "Dan seragamnya?" "Itu pun sudah. Haruskah aku menyamar sebagai perwira?" "Sebagai perwira bangsa Perancis. Engkau pandai berbahasa Perancis bukan? Akan kusiapkan surat keterangan cuti bagimu dengan nama Alfred de Lautreville, seorang letnan pasukan berkuda. Engkau harus berdaya upaya memperoleh izin masuk ke Puri Rodriganda, lagipula harus berusaha sedemikian rupa, sehingga mereka mengajakmu tinggal lama di situ sebagai tamu. Selama waktu itu engkau harus membuat laporan tentang hal itu. Aku mengetahui, engkau sanggup melaksanakan tugas seperti itu." "Dapatkah Anda memberi keterangan sedikit mengenai hal itu, yang dapat berguna bagiku dalam menjalankan tugas?" "Sayang hanya sedikit yang kuketahui. Terutama harus kau curahkan perhatianmu kepada seorang notaris yang bernama Cortejo. Aku ingin mendengar banyak tentang dia dan tentang hubungannya dengan keluarga Pangeran. Lalu masih ada seorang, yaitu pangeran muda, bernama Alfonso, yang telah lama tinggal di Meksiko. Telitilah perihal tingkah lakunya pada Pangeran maupun notarisnya! Ingin sekali kuketahui apakah ia mirip rupanya dengan notaris itu. Nah, berkemas-kemaslah sekarang! Uang yang kauperlukan akan kusediakan bersama dengan surat jalanmu. Engkau harus pandai bergaya seperti orang tingkat atas, maka uang yang kauperlukan untuk itu tidaklah sedikit. Selanjutnya engkau akan didampingi oleh seorang abdi yang dapat kupercayai dan yang sewaktu-waktu dapat kaupakai sebagai utusan untuk menyampaikan berita-berita penting kepadaku." BAB IV PERCOBAAN PEMBUNUHAN YANG GAGAL Puri Rodriganda sunyi senyap keadaannya. Pangeran berpesan kepada segenap penghuni puri supaya menghindari segala kebisingan, karena ia sangat lelah dan perlu istirahat. Tidak ada orang yang dapat mengatasi Alimpo, penjaga puri yang lanjut usia itu, dalam mematuhi pesan Pangeran itu. Bagaikan seekor kucing ia menyelinap tanpa mengeluarkan suara sedikit pun naik dan turun tangga. Bahkan di rumahnya sendiri, yang begitu jauh letaknya dari kediaman Pangeran itu, ia tetap mempertahankan cara berhati-hati yang luar biasa itu. Di situ pun ia berjalan seolah-olah kaki tidak berjejak pada lantai. Elvira, istrinya pun tidak mau ketinggalan dalam menjauhi kebisingan itu. Hanya sayang sekali, tubuhnya yang gemuk benar-benar menjadi halangan. Mukanya yang bundar bagaikan bulan purnama itu selalu berseri-seri. Matanya yang ramah seakan-akan tertawa selalu dan mulutnya terbiasa dengan mengucapkan kata-kata yang manis. Suaminya setia, meskipun berbeda jauh secara jasmaniah, mempunyai banyak persamaan di bidang rohaniah. Itulah yang membuat mereka selalu hidup rukun dan bahagia, seperti sepasang burung merpati. Kini Alimpo sedang sibuk menyiapkan sebuah meja tulis yang mewah, sedang istrinya mematut sehelai permadani yang indah. Sambil bekerja mereka berbicara berbisik-bisik, seolah-olah takut kalau-kalau percakapan mereka dapat mengganggu Pangeran. "Kaukira, meja tulis ini dapat memuaskan hati Dokter?" tanya Alimpo. "Pasti! Dan apa yang dikatakannya pula, bila melihat permadani ini, Alimpo?" "Pasti ia akan sangat menghargainya." "Memang, barang-barang yang kita berikan kepadanya sungguh merupakan barang pilihan." "Dokter itu benar-benar seorang ahli." "Lagipula ia seorang yang tampan, Alimpo!" "Entahlah. Kalian kaum wanita, pandai benar menilai seseorang mengenai ketampanannya. Namun itu bukan bidangku. Aku kurang paham. Yang kupahami hanyalah bahwa dokter itu seorang yang mempunyai pembawaan menarik dan bahwa aku menaruh hormat yang sebesar-besarnya kepadanya." "Demikian pula pendapatku. Ia seorang peramah, namun nampak begitu mulia dan agung, tak ubahnya dengan seorang bangsawan tinggi saja." "Pangeran sendiri sangat menyukainya." "Dan Condesa pun juga. Tetapi yang lain-lain, seperti para dokter Spanyol dari semula sudah tidak kusukai." "Lebih-lebih lagi perasaanku. Seperti kauketahui, aku tidak suka mengutuk orang, tetapi pada ketiga dokter itu terpaksa aku mengadakan pengecualian. Bukankah demikian juga pendapatmu, Elvira?" "Aku setuju seratus persen. Mereka pasti sudah menghalanginya, percayalah Alimpo! Dan bagaimana pendapatmu tentang Pangeran Muda?" "Kukira-eh-baik ia disambar petir saja seperti ketiga dokter itu juga." "Wah! Jangan begitu lancang mulutmu! Itu kan putra majikanmu sendiri! Namun benar jugalah perkataanmu! Aku pun tidak dapat memandang tanpa curiga. Benarkah ia putra Pangeran yang sesungguhnya?" "Aneh juga, bahwa aku tidak dapat melihat persamaan dengan Pangeran ayahnya." "Aku melihat persamaan. Bukan dengan Pangeran, melainkan dengan Notaris Cortejo." "Bukankah lebih banyak persamaan dengan Nona Clarissa?" Elvira merasa heran mendengar ucapan itu. Namun setelah berpikir sejenak, ia menjawab, "Benar jugalah pendapatmu, Alimpo! Memang ada persamaan dengan Nona Clarissa. Alangkah cocoknya, bila kedua orang itu menjadi ayah dan ibu Pangeran Muda. Aneh benar?" "Memang demikian," jawab suaminya. "Tetapi kini meja tulisku sudah siap." "Permadaniku pun siap juga. Mari kita suruh membawa kedua barang itu ke kamar Tuan Dokter." "Baiklah!" Di dalam lorong mereka bertemu dengan tiga dokter Spanyol yang sedang menuju kamar Pangeran. Setelah mereka sampai di ruang muka kediaman Pangeran, Dokter Francas bertanya kepada seorang abdi yang menjaga di situ. "Kami dengar, Pangeran sedang sakit. Kami ingin bicara dengan beliau." "Maaf. Yang Mulia tidak mengizinkan tamu mengunjunginya." "Kami juga dilarang?" "Pangeran tidak menyebut nama." "Maka biarkan kami masuk!" "Saya tidak berani." "Mengapa tidak? Bukankah wajar, bila Pangeran sakit, para dokter memberi bantuan kepadanya?" "Namun saya tidak berani juga," jawab abdi itu dengan sopan. "Saya harus mematuhi perintah Pangeran." "Perintah kami pun harus kautaati!" hardik dokter itu. "Persoalan ini mengenai orang sakit, dan dokterlah yang berhak memerintah." "Mula-mula saya pun mengira demikian, Tuan. Tetapi kemudian saya mendapat pelajaran. Dari Dokter Sternau dan kemudian dari Pangeran sendiri. Ketika Anda hendak melakukan pembedahan terhadap Pangeran, Anda memerintahkan supaya melarang orang masuk, sampai-sampai Condesa sendiri dilarang. Saya mematuhi perintah Anda. Karena itu saya kena marah." "Itu jelas salahmu sendiri. Coba jika engkau berhasil mencegah Condesa dengan orang asing itu masuk, engkau akan terhindar dari kemarahan mereka. Jadi dapatkah engkau melaporkan kehadiran kami atau tidak?" Abdi itu bimbang seketika lalu menjawab, "Baik, akan saya laporkan." Ia masuk kamar sebelahnya dan kembali lagi dengan berita, bahwa dokter boleh masuk. "Apa kataku?" kata Francas gembira. "Maka lain kali kamu harus menaruh hormat lebih banyak kepada kami!" Abdi itu membukakan pintu. Di belakang mereka ia mencibir kepada mereka. Pangeran berbaring di ruang yang sama dengan beberapa hari yang lalu, ketika ia hendak mengalami pembedahan. Ia berbaring di atas sebuah divan yang beralas kain beledu dan memakai baju pagi yang ringan. Ia tampak agak lelah, tetapi tidak seperti orang sakit. Ketiga dokter itu memberi hormat dengan membungkuk, meskipun perbuatan itu tidak dapat dilihat oleh Pangeran. Pangeran memberi tanda bahwa mereka boleh duduk, lalu berkata, "Tuan-Tuan tentu telah mendengar, bahwa saya memerlukan istirahat. Bila saya menerima Anda juga, maka dengan perbuatan ini saya memperlihatkan rasa persahabatan saya. Silakan mengemukakan keinginan Anda!" Francas bangkit dari kursi lalu menjawab, "Yang Mulia, kedatangan kami hanyalah karena dorongan kecemasan hati kami melihat keadaan kesehatan Anda. Memang kami telah mendengar tentang keinginan Anda untuk mendapat istirahat yang sempurna. Justru karena itu kami mengira, mungkin kesehatan Anda makin menurun. Maka kami merasa berkewajiban datang kepada Anda untuk memberi pertolongan bila diperlukan." "Terima kasih!" jawab Pangeran dengan ramah. "Benar saya merasa agak letih, namun saya kira tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan." "Maaf, Yang Mulia," tukas Dokter Milanos, "kerap kali terjadi seorang pasien menganggap keadaannya tidak berbahaya, padahal sebaliknya keadaannya. Hanya seorang dokterlah, yang pandai menentukan hal itu." "Mungkin Anda benar," jawab Pangeran sambil tertawa kecil. "Saya pun tidak hanya mengutarakan pendapat saya sendiri dalam hal ini. Pendapat dokterlah yang saya ikuti. Menurut Dokter Sternau keadaan saya itu tidak perlu dikhawatirkan dan bukankah tadi juga Anda katakan, bahwa saya harus taat pada nasihat dokter." Ketiga dokter itu berpandang-pandangan sejenak dengan penuh rasa terkejut, kemudian Francas bertanya dengan muka sungguh-sungguh, "Sternau, orang asing itu? Yang Mulia, Dokter Cielli di samping saya ini, telah mendapat kehormatan untuk menjadi dokter pribadi Anda bertahun-tahun lamanya. Kami pun, Dokter Milanos dan saya, dengan rela memberi tenaga kami untuk menyembuhkan penyakit Anda. Kami bertiga merupakan regu dokter kenamaan karena keahlian maupun kemahirannya. Kami berpendapat, bahwa keadaan Anda adalah gawat. Karena itu kami harus mengambil tindakan tegas untuk menyelamatkan Anda. Sebaiknya adalah keyakinan kami juga, bahwa pembedahan dengan gurdi sepit seperti yang dianjurkan oleh orang asing itu tak akan berhasil, melainkan hanya akan menyebabkan kematian saja." "Itukah merupakan keyakinan Anda, Tuan-Tuan?" tanya Pangeran dengan sungguh-sungguh. "Benar," jawab ketiga dokter itu serentak. Kini Pangeran memegang sebuah kotak kecil yang terletak di sebelahnya di atas meja. Kotak itu dibuka, lalu diberikannya kepada para dokter. "Maka ada baiknya Anda berkenalan dengan isi kotak ini!" katanya sambil tersenyum. Francas memegang kotak itu, memeriksa isinya secara sepintas lalu dan meneruskannya kepada Cielli. "Hanya serbuk," katanya dengan nada meremehkan. "Barangkali Senor Sternau mengira penyakit Anda dapat disembuhkan dengan memberi minum obat serbuk dan obat cair saja. Alangkah lucu pendapat demikian!" "Anda salah! Serbuk itu bukan untuk dimasukkan ke dalam tubuh saya, melainkan telah dikeluarkan dari dalamnya." "Apa!" seru Francas terheran-heran. "Benarlah Tuan-Tuan! Tadi pagi Dokter Sternau sudah mulai menghancurkan batu itu dan serbuk inilah hasil pekerjaannya. Dan Anda melihat, saya masih belum mati, bukan?" Ketiga orang itu menarik wajah kemalu-maluan, namun hal itu tidak terlihat oleh Pangeran karena penyakit butanya. Francas cepat dapat menguasai diri lagi, lalu bertanya, "Yakinkah Yang Mulia, bahwa serbuk ini berasal dari batu yang dihancurkan itu?" Pangeran tampak tersinggung sekali oleh ucapan itu lalu berseru, "Anda barangkali menganggap Dokter Sternau seorang penipu atau seorang tukang sihir. Sikap demikian sekali-kali tidak dapat saya benarkan. Lagipula akhirnya akan merugikan diri Anda sendiri! Ketahuilah, bahwa Senor Sternau mendapat kepercayaan penuh dari saya! Hari ini ia telah menyerahkan bukti, bahwa cara pembedahannya sekali-kali tidak mengandung bahaya seperti yang telah Anda bayangkan. Kini saya menaruh kepercayaan kepada pendapatnya, bahwa penyakit mata saya dapat disembuhkan. Tuan-Tuan, ketahuilah juga, bahwa Dokter Sternau sebenarnya bermaksud untuk bekerja sama dengan Anda, tetapi sifat kasar Anda membuat dia mengurungkan niatnya. Sungguhpun masih muda usianya, namun orang-orang bahkan mereka yang sudah banyak pengalaman pun, dapat meneladan kepadanya. Bekerjasamalah dengan dia, maka saya akan mendengar nasihat Anda!" Kini Francas merentangkan kedua belah tangannya, seolah-olah hendak menolak, lalu berkata, "Terima kasih, Yang Mulia! Saya sama sekali tidak bermaksud untuk menerima kuliah dari seorang yang masih duduk di bangku sekolah layaknya. Bila Anda lebih banyak mempercayai dia daripada kami, itu urusan Anda. Tetapi kami pun tidak dapat membiarkan orang memandang rendah pada kesanggupan kami. Maka kini saya minta diizinkan pulang lagi ke Madrid." "Saya pun ingin kembali ke Cordova. Di situ tenaga saya akan lebih dihargai," kata Milanos dengan penuh harga diri. "Dan saya," kata Cielli, "saya mohon dibebaskan dari jabatan saya sebagai dokter pribadi Anda. Mungkin Senor Sternau ingin mengisi tempat yang kosong itu." "Masya Allah! Serangan begitu dahsyat Anda lancarkan kepada diri saya seorang diri. Bagaimana saya menangkisnya!" kata Pangeran sambil tersenyum tenang. "Puri Rodriganda selalu menerima Anda sebagai tamu kehormatan. Namun bila Anda dengan tunggang langgang ingin meninggalkannya, maka saya tidak dapat menghalanginya. Sampaikanlah saja perhitungan Anda kepada pengurus keuangan saya, lalu terimalah pernyataan terima kasih saya pada segala jerih payah Anda selama bertugas di sini." "Terima kasih Anda sudah kami terima, Don Manuel!" kata Francas dengan nada tajam. "Maukah Anda menganggap kunjungan kami kali ini sebagai kunjungan terakhir?" "Permohonan itu pun dapat saya kabulkan," jawab Pangeran. "Selamat jalan, Tuan-Tuan!" Para dokter memberi hormat lalu pergi. Di luar mereka berhenti sejenak dan berpandang-pandangan. "Peran kita sudah tamat!" kata Francas. "Kalah!" kata Cielli dengan berang. "Dikalahkan oleh orang semacam itu!" "Tidak, kita masih belum kalah!" kata Francas. "Sekarang kita pergi, tetapi saya yakin, kita akan dipanggil kembali!" Para dokter berjalan lagi menuju kamar mereka masing-masing dengan muka keruh. Ketika Francas masuk ke dalam kamarnya, ia melihat sudah ada orang di dalamnya. Pangeran Alfonso, Notaris, dan Nona Clarissa sedang menanti di situ. "Bagaimana, berhasilkah?" tanya Alfonso. "Berhasil," jawab Francas dengan muka masam. "Syukurlah!" "Jangan terlalu cepat merasa puas, Pangeran!" kata dokter itu. "Memang ada yang berhasil, tetapi bukan kami. Sternaulah yang berhasil." "Astagfirullah!" seru Notaris. "Semoga ia disambar petir!" "Ya, tetapi harus langsung, sekarang juga, karena saya tidak lama lagi di sini!" kata dokter itu dengan tersenyum pahit. "Anda hendak pergi?" tanya Clarissa terkejut. "Benarlah. Kami telah dipecat. Kami harus menyerahkan perhitungan kami kepada pengurus keuangan Pangeran." "Kurang ajar benar," kata Notaris. "Tetapi Anda jangan pergi!" "Jangan pergi? Anda kira Dokter Francas tidak mempunyai harga diri, dan mau memaksakan kehendak kepada pasien demikian?" "Bukan memaksakan kehendak Anda. Dengar dahulu! Pangeran sendiri akan mohon supaya Anda tetap di sini." "Kalau begitu lain perkara. Tetapi bagaimana dapat diusahakan supaya Pangeran mau berbuat demikian?" "O, itu perkara kecil. Akan saya urus. Tetapi ceritakan dahulu tentang percakapan Anda dengan Pangeran." "Itu dapat diceritakan dengan singkat sekali. Pendek kata maksudnya hendak memecat kami. Maka cepat-cepat kami mendahuluinya dengan mengajukan permintaan kami sendiri untuk berhenti." Ia melanjutkan ceritanya. Pangeran Alfonso hingga kini berdiam diri saja. Ia duduk dekat jendela dengan muka muram. Tetapi ketika dokter itu selesai bercerita, ia berpaling. "Jadi pembedahan itu sudah dimulai? Benarkah demikian?" "Benar, dan tanpa diberitahukan kepada kita! Sternau telah membalas kita dengan menggunakan senjata kita sendiri." "Anda kira, ia akan berhasil mengeluarkan batu itu, Senor Francas?" "Saya yakin." "Itu tidak boleh. Kita harus mencegahnya!" "Bagaimana dapat Anda mencegahnya, Don Alfonso?" tanya dokter itu dengan melirik. "Itu urusan Senor Cortejo." "Ya, serahkan saja kepada saya. Saya mengetahui bagaimana harus menanganinya," kata Cortejo. "Benar, percayakan hal itu kepada Senor Gasparino," kata Clarissa. "Orang asing ini tidak boleh terus-menerus mengganggu kita. Tuhan tidak akan mengizinkan ia terus-menerus melanggar hukum-Nya. Murka Allah akan menimpa dan menghancurkan kepadanya!" "Dokter, sudikah Anda memperpanjang kediaman Anda di Rodriganda dengan sehari lagi?" tanya Notaris. "Saya yakin, esok hari hati Pangeran akan senang melihat Anda masih tinggal di sini." "Dapatkah Anda menjamin itu? Baik, saya akan tinggal di sini, tetapi hanya sampai esok pagi. Kalau sampai waktu itu saya tidak diminta tinggal, saya akan pergi juga." "Jangan khawatir! Percayalah segalanya kepada saya," kata Cortejo. "Tetapi sekarang saya harus pergi." Ia pergi menuju ke taman. Ketika ia sampai di perbatasan taman dengan hutan, ia berhenti di balik semak-semak dan mengeluarkan bunyi siul nyaring. Tidak lama kemudian daun-daun sebuah semak dikuak orang. Seorang laki-laki berpakaian daerah sekitar itu keluar dari balik semak. Ia memakai kain hitam penutup lengan. "Untunglah Anda datang," katanya. "Sudah lama Anda saya nantikan. Anda tentu membawa tugas juga untuk saya." "Memang, ada tugas," geram Cortejo. "Hari ini juga harus dikerjakan." "Baik! Tetapi bilamana?" "Tunggu sampai saat yang tepat tiba. Orang itu masih belum ada dalam puri." "Saya mengetahui. Saya telah melihatnya berjalan di hutan. Saya menyuruh orang memata-matainya. Menurut laporannya, orang itu pergi ke pegunungan bersama penjaga hutan." "Jadi ia sedang berburu. Bukankah lebih baik tugasmu dilaksanakan di situ juga?" "Lebih baik jangan! Tak mudah bagi kami menemukannya di situ." "Jadi lebih baik menunggu sampai ia kembali lagi ke taman." "Baik. Tapi bila ia datang dari sebelah lain?" "Kalau begitu, kalian harus menunda melaksanakan tugas sampai nanti. Tampak ia mempunyai kebiasaan untuk berjalan-jalan pada senja hari. Itulah kesempatan baik. Mudah-mudahan akan berhasil!" "Sudah pasti, Senor! Peluru kami tidak pernah meleset!" "Jangan memakai peluru. Harus cukup dengan pisau saja. Suatu tembakan dapat mengacaukan suasana dan itu harus dicegah. Bila kalian memasukkan pisau ke dalam tangannya maka orang akan mengira, bahwa ia melakukan bunuh diri." "Saya harus mematuhi perintah Anda, sungguhpun sebutir peluru sebenarnya lebih pasti dan aman. Orang ini tidak boleh dipandang enteng. Ia bertubuh kuat dan tidak akan menyerah begitu saja." "O, jadi kalian takut," ejek Cortejo. "Sekali-kali tidak. Jangan khawatir, perintah Anda akan dilaksanakan juga. Tetapi bagaimana dengan pembayaran upahnya? Pemimpin kami menguasakan pada saya menerima uang itu." "Datanglah tepat tengah malam ke tempat ini lagi. Akan kubayarkan uang itu. Kamu membawa kain penutup? Apa gunanya?" "Anda menganggap kami masih hijau?" kata perampok itu dengan tertawa. "Kami bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kain penutup itu berguna sekali untuk membuat kami sukar dikenal orang." "Maka laksanakan tugas dengan baik!" demikian nasihat Notaris, sambil memalingkan badan hendak kembali lagi ke puri. Perampok itu adalah seorang yang dikirim oleh Capitano kepada notaris di Rodriganda untuk membunuh Sternau. Benarlah, apa yang dikatakannya itu. Sternau telah pergi bersama seorang penjaga hutan, bukan untuk berburu, melainkan untuk menikmati udara segar dari pegunungan dan hutan dan untuk mengenal lebih baik daerah sekitar puri. Peninjauannya makan waktu lebih lama daripada yang disangka semula. Baru siang hari ia kembali lagi. Sternau memegang bedil pinjaman dari Pangeran di tangannya. Kedua larasnya masih terisi peluru yang belum sempat digunakan. Terdorong oleh perasaan romantis ia tidak kembali melalui jalan biasa, melainkan berjalan melalui hutan. Sambil berjalan tepekur menikmati alam ia sampai di taman. Tiba-tiba terlihat olehnya suatu bintik putih di hadapannya. Di atas jalan kecil sedang berjalan Roseta dan gaunnya yang putih berkilat-kilat di antara pohon-pohon. Tampak ia sedang mencari atau menanti kedatangan orang, karena kadang-kadang ia tertegun mendengarkan. Ia mengetahui, bahwa Sternau telah pergi ke hutan dan karena dokter itu sampai sekarang masih belum datang, hatinya menjadi resah lalu ia pergi menuju ke taman. Roseta mendengar bunyi desir di hadapannya, lalu melihat seseorang keluar dari balik semak-semak. Ternyata Sternau dan memberi salam kepadanya. Putri mengulurkan tangan, tetapi cepat-cepat menarik kembali, sedang pipinya menjadi merah padam. "Maaf Senor," katanya. "Sekali-kali tidak saya duga Anda di sini!" "Sayalah yang harus minta maaf, Dona Roseta," jawab dokter itu. "Saya telah menempuh hutan, lalu melihat Anda. Maka saya merasa berkewajiban memperlihatkan diri saya." "Notaris telah menanyakan Anda." "Itu sudah saya duga. Saya terlambat. Saya akan secepatnya pergi ke situ." "Bolehkah saya ikut?" tanya Putri. Mukanya menjadi merah lagi. "Tentu boleh," jawab Sternau. Bedilnya dipanggul lalu ia berjalan bergandengan tangan dengan Roseta melalui taman ke puri. "Tahukah Anda, bahwa ketiga dokter itu hendak pergi?" tanya gadis itu untuk mulai suatu percakapan. "Masa!" jawabnya. "Itu agak mengejutkan. Saya tidak bermusuhan dengan mereka. Saya hanya ingin memperlihatkan kepada mereka, bahwa Don Manuel dapat sembuh dan dapat melihat kembali." "Anda benar-benar percaya, bahwa Ayah dapat melihat kembali?" "Ya, saya yakin." "Dan mereka hari ini justru menyatakan sebaliknya. O, Senor, sembuhkanlah ayahku dan berilah penglihatan kembali. Saya akan berterima kasih kepada Anda seumur hidup!" "Percayalah kepada bantuan Tuhan! Ia akan memberi pimpinan kepada saya, agar dapat melakukan yang sebaiknya." "Anda dapat melakukan... eh, apa itu?" Kata-kata terakhir itu diucapkan Condesa dengan amat terkejut, karena tiba-tiba semak-semak di hadapannya bergerak dikuakkan orang. Lalu muncullah kepala orang bertopeng hitam. Dari kedua lubang matanya kelihatan cahaya mata yang liar. Tak lama kemudian terdengar aba-aba, "Ayo. Tikam dia!" Sosok-sosok tubuh bertopeng, yang kini bermunculan keluar dari semak belukar dengan membawa pisau terhunus, berlompatan mengepung Sternau. Untunglah dokter itu bukan pertama kalinya menghadapi situasi seperti demikian. Selama masa pengembaraannya di Amerika Utara ia kerap kali berkelahi dengan suku-suku Indian liar. Maka ia terbiasa dengan segala kemungkinan. Dalam keadaan demikian ia tak pernah merasa takut atau bimbang dan dapat segera bertindak secara tepat. "Wah, ditujukan kepada diri saya!" serunya. Dengan mengucapkan perkataan itu dilepaskannya tangan kawan wanitanya, lalu melompatlah ia secepat kilat beberapa langkah ke samping. Secepat itu juga dipegangnya bedil dan diarahkannya. Dua letusan terdengar, lalu dua orang bertopeng menjerit dan menghilang ke dalam semak-semak. Dalam sekejap mata diputarnya bedilnya, lalu dihantamkan hulunya ke atas kepala penyerang ketiga. Orang itu rebah ke atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Pada saat itu pula lengannya tertikam oleh penyerang keempat. Tetapi dengan gerak cepat dipegangnya penyerang itu pada lehernya. Dijatuhkannya bedilnya, karena senjata itu terlalu panjang untuk dipakai sebagai pemukul. Dengan kepalan tinju tepat dikenai pelipis lawannya, yang langsung rebah ke atas tanah. Ketika ia berpaling mencari lawan berikutnya, dilihatnya bahwa orang itu sudah menghilang. Kini ia baru sempat memperhatikan Roseta. Ketakutan telah membuat tubuh gadis itu kaku. Ia bersandar pada sebatang pohon sambil memeluk batangnya. Mukanya pucat dan matanya dipejamkan, seolah-olah takut menyaksikan kekasihnya dikeroyok oleh begitu banyak lawan. Seluruh peristiwa itu hanya berlangsung tidak lebih dari satu menit lamanya. Lawan sehebat ini sama sekali tidak diduga oleh para perampok itu. "Condesa," kata Sternau, "sadarlah!" Suara Sternau membuat Roseta sadar kembali. Ia membuka mata. Ketika dilihat kekasihnya berdiri di hadapannya tanpa mengalami cedera, bukan main gembira hatinya. "Carlos!" serunya dengan hati bersorak. Peralihan dari rasa takut yang mencekam kepada rasa gembira, terlalu cepat dan membingungkannya. Seketika ia lupa hambatan-hambatan adat dan kesopanan. Langsung dipeluknya kekasihnya erat-erat dan disandarkan kepalanya pada dadanya, lalu ia menangis tersedu-sedu. "Roseta!" Kata ini diucapkan hampir-hampir tanpa suara, namun sepatah kata ini membayangkan kasih dan bahagia yang sempurna. "Roseta, tenanglah! Pembunuh-pembunuh itu sudah terusir." Kemudian tampak oleh Roseta lengan kekasihnya berdarah, lalu ia berseru terkejut. "Astagfirullah, engkau mendapat luka!" "Tidak apa," katanya sambil menenangkannya. "Itu hanya luka kecil." "Jahat benar mereka!" kata Roseta sambil menggigil dan memperhatikan dengan rasa takut tubuh-tubuh yang tergolek di atas tanah itu. "Siapakah mereka? Telah kau apakan mereka? Lima orang pembunuh, Carlos, engkau benar-benar seorang yang kuat dan gagah berani!" Roseta menyandarkan kepalanya kembali pada dada Sternau dan ketika gadis itu memandang kepadanya, pandangan penuh rasa cinta dan kagum, sehingga Sternau tidak dapat menahan diri lagi. Ia menundukkan kepala dan mencium kekasihnya dengan mesra. Tiba-tiba Roseta terkejut. "Siapa itu?" Terdengar bunyi langkah kaki yang tergesa-gesa, datang dari puri menuju ke arah mereka. Kemudian tampak tiga orang. Mereka adalah dua orang pembantu tukang kebun disertai oleh Alimpo. Alimpo pergi ke taman untuk memetik bunga yang hendak dipakai sebagai penghias kamar Sternau. Ketika sedang memetik bunga-bunga itu didengarnya bunyi tembakan itu. Itu bukan hal yang biasa. Karena itu mereka menduga telah terjadi sesuatu yang memerlukan pertolongan. Segera mereka bergegas ke tempat kejadian itu. Setelah penjaga puri tiba di situ ia berdiri dengan tercengang. "Condesa! Senor Sternau! Apa yang terjadi?" serunya. "Ada yang hendak membunuh Senor Sternau," jawab Roseta dengan panas hati. "Membunuh?" tanya orang bertubuh kecil itu. "Masya Allah, mana mungkin? Itu harus saya ceritakan kepada Elvira!" Setelah mengatakan ini ia bertepuk tangan dan melihat sekelilingnya, seolah-olah ia menduga bahwa Elvira ada di dekatnya. "Akan tetapi Senor Sternaulah yang memang," demikian ditambahkan Roseta. "Ia telah mengalahkan lima penyerang itu." "Lima orang? Wah!" seru Alimpo terheran-heran. "Lima orang sekaligus?" "Tiga orang terlepas," demikian diperbaiki Sternau. "Yang terbaring ini telah saya pukul dengan tinju saya. Mungkin ia hanya pingsan saja. Ayo, tolong saya membuka topeng mereka. Kita lihat, dapatkah kita mengenal mereka atau tidak." "Tetapi, Senor, bukankah lebih baik, mengobati luka Anda lebih dahulu?" tanya Roseta. "Itu nanti saja, Dona Roseta," jawab Sternau. "Luka tikaman itu tidak begitu besar." "Tikaman!" seru Alimpo. "Masya Allah, betapa mengerikan! Sayang Elvira tidak di sini. Ia biasa mengobati orang luka! Mari Senor, untuk sementara akan saya balut luka Anda dengan sepotong saputangan!" Sternau mengulurkan tangan kepadanya dengan tersenyum, lalu penjaga puri yang berbudi itu membalut lukanya erat-erat dengan sepotong saputangan, sehingga darahnya tidak dapat keluar lagi. "Nah, yang perlu sudah dikerjakan," katanya. "Masya Allah, suatu percobaan pembunuhan di Puri Rodriganda!" Ia membungkuk dan membuka topeng perampok yang tergolek di atas tanah, dibantu oleh kedua tukang kebun itu. Ternyata bahwa mereka tidak mengenal orang-orang itu. Salah seorang sudah mati. Pukulan dengan hulu bedil telah menghancurkan kepalanya. Roseta memalingkan muka dengan menggigil. "Hebat benar pukulannya!" kata Alimpo. "Seperti dikerjakan oleh palu godam saja!" "Siapa membawa tali?" tanya Sternau yang menyelidiki perampok lainnya. "Ia hanya pingsan saja. Kita harus mengikatnya. Ia akan memberitahu kepada kita, siapakah dia sebenarnya dan mengapa kawan-kawannya ingin membunuh saya." "Ya, bangsat ini harus bicara," kata Alimpo. "Awas kalau ia tidak mau. Saya sanggup mengoyak-ngoyak tubuhnya berkeping-keping. Ya, Senor, saya berbahaya sekali bila sudah marah!" Sternau tersenyum dan bertanya, "Tapi pernahkah Anda marah, Senor Alimpo?" "Sebenarnya belum pernah, Senor! Tetapi saya dapat membayangkan bahwa saya sama berbahaya dengan seekor harimau atau seekor buaya, bila saya marah!" Juan Alimpo mengeluarkan sepotong tali dari dalam saku, lalu mengikat tangan orang pingsan itu erat-erat di belakangnya, sehingga pasti ia tidak dapat menggerakkannya bila ia sadar kembali. "Nah dia sudah diikat," katanya. "Masih ada perintah apa lagi, Senor?" "Saya akan pergi bersama Condesa ke puri dan mengirim orang-orang kepada Anda," jawab Sternau. "Orang ini setelah sadar kembali harus dikurung di tempat yang aman. Ia tidak boleh lepas! Kawannya harus kita biarkan saja terbaring hingga datang alcalde, hakim desa, untuk menyaksikan kejadiannya." "Kami ada tempat yang aman untuk mengurung tawanan kita. Ia pasti tidak dapat lolos dari situ!" "Baik! Tetapi kita harus bertindak hati-hati! Ada juga pembunuh yang lolos. Kita tidak mengetahui, berapa banyak jumlah mereka. Sangat mungkin mereka akan kembali lagi untuk membebaskan kawannya." "Kembali lagi? Membebaskan?" tanya penjaga puri terkejut. "Dan saya harus tinggal di sini? Tetapi bagaimana bila mereka menikam atau menembak, Senor? Itu berbahaya sekali! O, apa yang akan dikatakan oleh Elvira?" "Bukankah Anda seorang pemberani, Senor Juan Alimpo?" "Apa? Pemberani? Ya, tentu. Bahkan lebih dari itu! O, kalau Anda mengetahui saya ini seorang yang berbahaya sekali untuk musuh. Tetapi peristiwa yang Anda alami berlainan. Mereka mulai menikam dengan pisau! Itu terlalu kejam! Apalagi bila mereka menembak. Itu lebih-lebih lagi." "Baik! Kalau begitu akan saya tinggalkan bedil saya di sini. Lagipula pisau kepunyaan kedua orang ini dapat juga kalian gunakan untuk membela diri." Sternau mengisi bedilnya dan memberikannya kepada penjaga puri. Tetapi Alimpo mundur tiga langkah, lalu berkata terkejut. "Iih! Jangan berikan kepada saya, Senor! Senjata itu dapat meletus sebelum tersentuh. Berikan saja kepada kedua tukang kebun itu. Ada dua laras, mereka masing-masing dapat membunuh seorang musuh dengannya. Saya akan mengambil kedua pisau dari tawanan kita. Itu cukup untuk membunuh dua orang musuh juga." Setelah Alimpo mendapat apa yang diinginkannya, maka Sternau pergi bersama Condesa ke puri. Ia minta supaya Condesa pergi mengunjungi ayahnya dan memberitahu dengan hati-hati tentang peristiwa tadi. Kemudian ia mengumpulkan beberapa orang pekerja, yang segera disuruh pergi ke tempat di hutan itu. Setelah itu barulah ia pergi ke kamar membalut lukanya. Di atas tangga rumah ia bertemu Nona Clarissa, yang sedang berjalan-jalan. Ketika tampak olehnya tangan Sternau yang dibalut itu ia bertanya, "Ada apa, Senor? Saya lihat, tangan Anda dibalut dan pada baju Anda melekat darah. Apa yang telah terjadi?" Sternau merasa agak heran, bahwa wanita yang biasanya selalu acuh tak acuh saja terhadapnya, kini menegurnya. Tetapi ia menjawab dengan sopan, "Saya terluka, Nona." "Terluka? Siapakah gerangan yang melukai Anda?" "Kami tidak mengenal pelaku-pelakunya. Mereka bermaksud membunuh saya." "Astagfirullah! Jadi jiwa orang di Puri Rodriganda ini tidak aman? Tetapi," tambahnya sambil melirik pada dokter itu, "seperti kata Anda tadi, pelaku-pelakunya tidak dapat dikenali. Jadi mereka itu dilihat orang lain juga, selain oleh Anda?" "Dilihat oleh penjaga puri dan dua orang tukang kebun." "Mereka telah melarikan diri?" "Beberapa orang telah lolos, seorang dapat saya matikan dan seorang lagi menjadi tawanan kami. Tawanan itu akan dibawa oleh penjaga puri." Wanita itu tampak pucat pasi mukanya. Karena terkejut ia hampir tidak dapat menguasai dirinya, lalu berkata dengan suara gemetar, "Maafkan saya, Senor, berita ini benar-benar mengejutkan, sehingga seluruh badan saya merasa lemas! Percobaan pembunuhan! Terkutuklah para pelakunya! Semoga Tuhan memberi hukuman setimpal kepada mereka! Berita ini begitu mencekam bagi saya, sehingga saya terpaksa mengurungkan niat saya berjalan-jalan." "Bolehkah saya antar Anda ke kamar Anda?" tanya Sternau sambil mengulurkan tangan kepadanya. Wanita itu mengangguk dan dengan lemas menyandarkan tubuhnya pada lengan dokter itu. Dalam keadaan biasa ia tidak akan berbuat demikian. Tetapi ketakutan rencana jahatnya diketahui orang membuatnya merasa kehilangan segala tenaga. Sternau mengantarkannya sampai ke pintu, lalu pergi setelah pamit. Ia merasa senang dapat berpisah, karena ada sesuatu pada diri wanita tua itu yang tidak berkenan padanya. Clarissa masuk ke dalam kamarnya, lalu merebahkan dirinya ke atas divan. Tak lama kemudian ia memanggil pelayannya dan menyuruhnya pergi memanggil Senor Gasparino Cortejo. Orang itu datang. Ia merasa heran, mengapa Clarissa dalam keadaan gelisah seperti itu. "Engkau menyuruh aku datang, Clarissa. Tetapi mengapa begitu gelisah?" "Celaka, celaka besar menimpa kita!" serunya. "Aduh, tubuhku begitu lemas. Aku hampir tak dapat menceritakannya." "Masa!" kata Cortejo tenang. "Engkau masih dapat berbicara, masakan tak dapat bercerita tentang perkara yang kaurisaukan itu." "Ya, tetapi perkara itu terlalu buruk! Porak-porandalah segala cita-cita dan rencana kita!" "Caramba, tak perlu engkau meratap seperti itu, bicaralah! Engkau membuat aku takut dengan sikapmu yang kurang teguh itu. Apa, apa yang terjadi? Kecelakaankah? Ayo, ceritakan!" "Dengarlah! Dokter Sternau telah diserang orang di taman." Wajah Notaris yang menyerupai burung buas itu menjadi cerah mendengar keterangan itu. Ia tersenyum puas. Kiranya penyerangan yang didalangi olehnya itu telah berhasil dilaksanakan, maka ia berkata, "Nah. Apa yang buruk? Kan biasa saja? Dari siapa kau dengar berita itu?" "Itulah yang membuat hatiku risau! Bila berita itu kudengar dari orang lain, maka tak begitu resah hatiku..." "Jadi, bagaimana? Katakanlah langsung!" "Dokter Sternau sendirilah, yang membawa berita itu." Notaris terdiam karena terkejut. "Dokter Sternau? Tak mungkin!" katanya ragu-ragu. "Namun itulah faktanya. Aku sangat terkejut, sehingga aku harus membiarkan diriku diantar oleh orang yang menjadi musuh kita. Mengapakah sampai begitu kesudahannya?" "Jadi ia telah luput?" tanya Notaris sambil mengertakkan gigi. "Ia hanya luka ringan pada tangannya." "Dungu benar mereka! Harus kuajar mereka bagaimana cara menikamkan pisau." "Sayang tak akan tercapai maksudmu itu, karena salah seorang perampok telah dibunuhnya, dan yang lain telah sempat ditawan mereka." "Setan!" maki Advokat perlahan-lahan. "Itu berbahaya. Orang mati tidak dapat berbicara, tetapi tawanan itu dapat menjadi berbahaya." "Dapatkah ia membocorkan rahasia?" "Tentu! Para perampok itu telah melihat aku. Mereka dapat mengenal aku, karena aku pernah bercakap-cakap dengannya." "Aduh! Kamu begitu ceroboh." "Aku tidak akan mendengar keluh-kesahmu lagi. Kejadian yang lampau tidak perlu disesali. Yang penting ialah: kita harus menemukan pemecahannya." "Ada! Ada pemecahan yang betul-betul memuaskan!" seru wanita itu bersemangat. "Tawanan itu harus kita lepaskan dengan diam-diam." "Itu dapat dikerjakan. Tetapi tidak dapat dengan langsung. Kita harus menanti saat yang paling tepat. Tawanan itu baru besok dapat dibawa ke pengadilan. Malam ini ia masih akan disekap dalam puri. Kita dapat membebaskan dengan mudah. Asal ia tidak membocorkan rahasia sebelumnya." "Maka ia harus diberi tanda." "Benarlah! Biar saya pergi ke taman dahulu, ke tempat perkelahian terjadi. Masya Allah! Seorang diri melawan banyak musuh! Dan keluar sebagai pemenang. Orang itu pandai benar berkelahi. Baik, sekali ini ia masih dapat bebas menikmati hidup, tetapi lain kali kita tidak akan meleset lagi. Lain kali harus digunakan siasat cerdik untuk menangkapnya." "Dan bagaimana menurut pendapatmu apakah kita dapat menyingkirkan orang yang kita benci itu?" tanya wanita, kawannya yang "berbudi" itu. "Yah, tentang bagaimana caranya, aku sendiri pun masih belum mengetahui dengan pasti," jawab sekutu wanita itu. "Dokter Sternau harus mati, bila kita ingin berhasil melaksanakan rencana kita," kata Clarissa dengan penuh keyakinan. "Yang pasti ialah, bahwa rencana kita tidak boleh kita urungkan," kata Notaris, "aku akan menyetujui segala tindakan yang dapat mendekatkan kita kepada tujuan kita." Clarissa mengangguk dan Notaris melanjutkan, "Kini aku hendak pergi ke tempat perkelahian itu." Ia bergegas ke taman. Di situ sudah berkerumun sebagian besar penghuni puri, tertarik ke tempat itu karena berita yang menggemparkan itu. Segalanya berjalan sesuai rencana Cortejo, seperti yang telah dipaparkan kepada wanita sekutunya itu. Sedang mayat perampok dibiarkan tergolek di taman dengan mendapat penjagaan ketat, maka perampok seorang lagi, yang menjadi tawanan mereka digiring ke puri. Cortejo mengenal orang itu sebagai orang yang telah diberi tugas olehnya. Mereka bertemu dekat puri. Cortejo diam-diam berhasil memberi tanda kepada tawanan itu. Ia menyentuhkan mulutnya dengan jari. Tanda itu dilihat oleh tawanan itu. Ia mengangguk. Muka Cortejo yang suram menjadi cerah kembali. Ia tersenyum gembira. Hati Pangeran sangat cemas ketika mendengar berita tentang percobaan pembunuhan pada Dokter, tamunya yang sangat dihormati itu. Roseta berdaya upaya untuk menenangkan hati ayahnya. Pangeran memerintahkan supaya diadakan pemeriksaan dengan teliti. Ketiga dokter Spanyol itu diam-diam pergi meninggalkan desa. Mereka dapat menduga, siapa yang memberi perintah untuk membunuh itu. Setelah mengalami kegagalan, untuk sementara mereka masih belum menaruh harapan lagi. Luka Sternau tidak begitu parah. Ia tidak merasa terganggu olehnya. Maka ia dapat mencurahkan segenap perhatiannya kepada Pangeran. Dalam waktu singkat sejak ia tinggal di puri, ia sudah berhasil mengambil hati sebagian besar penghuninya. Itulah sebabnya, maka mereka ingin sekali mengetahui, siapa orang yang hendak membunuhnya. Sayang keinginan mereka tiada terkabulkan, karena tawanan itu tetap bungkam saja, tidak berbicara sedikit pun. Karena itu, terpaksalah mereka menunggu sampai perkara itu jatuh ke tangan pengadilan. Peristiwa yang menggemparkan itu panjang lebar dibicarakan di rumah penjaga puri. "Akan kuceritakan kepadamu, Elvira sayang, seluruh kejadian itu, dari mula sampai akhir." "Ya, aku ingin sekali mendengarnya, Alimpo sayang," jawab Elvira. Penjaga puri itu memegang sebatang sapu, melihat ke kanan dan ke kiri sambil meneliti benda-benda yang terdapat dalam kamar, dan berkata, "Jadi kawanan penjahat itu datang berlima. Umpamanya jam besar ini sebagai penjahat pertama, almari pakaian sebagai yang kedua, meja bunga sebagai yang ketiga, lampu duduk sebagai yang keempat, dan kopor yang di sudut itu sebagai yang kelima. Setujukah?" "Setuju, Alimpo sayang." "Bagus! Jadi inilah mereka, kelima pembunuh itu. Kita masih memerlukan Dokter Sternau yang hendak dibunuh mereka dan Condesa. Senor Sternau adalah aku sendiri, sedangkan engkau adalah Condesa. Setujukah?" "Setuju! Jadi aku menjadi Condesa!" Sambil mengucapkan perkataan itu wanita gemuk itu meluruskan tubuh dalam usahanya menyamai sikap Condesa. "Kini aku, Dokter Sternau, hendak pergi berburu," demikian dilanjutkan oleh penjaga puri itu, "lalu aku kembali dengan memanggul bedil berlaras dua." Sambil berkata demikian dipanggulnya sebatang sapu lalu ia berkata, "Aku berjumpa denganmu di taman, Elviraku, maksudku Putri Roseta. Aku memberi hormat dan kamu membalas hormatku." Lalu ia membungkukkan tubuhnya dalam-dalam, sedang wanita itu memaksakan tubuhnya yang gemuk membungkuk dengan lemah gemulai. Kemudian Alimpo berkata lagi, "Sedang aku memberi hormat, aku diserang oleh kelima orang penjahat itu. Yang pertama, jadi jam besar itu, melompat ke arahku, tetapi segera kubidikkan bedilku ke arahnya, lalu aku menembak bahunya-dor!" Sambil berkata demikian ia membidikkan sapu dan menembak dengan mulutnya. Kemudian ia berkata lagi, "Kini datang yang kedua, jadi almari pakaian itu, dengan pisau terhunus menujuku. Aku menembak lagi-dor! Kini datang yang ketiga jadi meja bunga itu. Wah! Aku kehabisan peluru! Maka aku timpa kepalanya dengan gagang bedil." Ia memutar sapunya, lalu memukul keras-keras meja dengannya. "Yang keempat datang, yaitu lampu duduk itu. Aku tidak dapat memukul dengan gagang bedil, karena jaraknya terlalu dekat. Aku harus meninjunya hingga pingsan. Beginilah kira-kira ia melakukannya..." Alimpo memegang lampu duduk dengan tangan kirinya, lalu meninju dengan tangan kanannya, sehingga lampu itu pecah berkeping-keping. Si penjaga puri begitu asyik memeragakan peristiwa itu, sehingga ia tidak dapat membedakan yang khayal dengan yang nyata. "Aduh, Alimpoku, apa yang telah kau perbuat?" keluh istrinya. "Diam, Elvira sayang," jawabnya. "Bukankah kamu ini Roseta. Putri itu sekali-kali tidak menghiraukan lampu itu. Aku harus memukul penjahat yang keempat ini, karena ia sudah sempat melukai lenganku." "Memang kau benar, namun agak sayang lampu yang bagus itu. Tetapi tidak mengapa, karena engkau telah memecah lampu itu untuk kepentingan Senor Sternau." "Memang, Elvira. Aku berbuat itu demi kepentingannya. Tahukah kamu, bahwa aku rela berbuat apa pun untuk memenuhi keinginannya. Tadi di taman aku sudah mempersiapkan diri dengan senjata pisau dua bilah untuk menikam kawanan penjahat itu." "Kamu hendak menikam?" tanya istrinya kurang percaya. "Memang. Aku, Alimpomu!" kata penjaga puri itu. "Masya Allah! Dua bilah pisau? Siapa yang hendak kautikam?" "Para pembunuh yang melarikan diri, bila mereka berani kembali lagi." "Astagfirullah!" seru Elvira kagum. "Kian besar keberanianmu! Seakan-akan kau haus darah." "Benarlah. Pada saat-saat segenting ini timbul sifat-sifatku yang asli," jawab Alimpo dengan memasang wajah seram sambil membelai-belai kumis. "Pergilah segera ke gudang penyimpanan senjata dan ambil untukku pedang kepunyaan bangsawan kenamaan zaman lampau, Arbicault de Rodriganda." "Pedang yang besar dan dahsyat itu?" tanya wanita gemuk itu tercengang. "Untuk apa?" "Karena aku malam nanti harus menjaga tawanan itu." "Apa? Kau hendak membahayakan jiwamu dengan membawa pedang yang mengerikan itu. Tidakkah terlalu besar korban demikian? Bayangkan, Andaikata tawanan itu lepas..." "Sst! Janganlah khawatir! Tentu aku tidak begitu bodoh untuk berdiri menjaga di muka pintu kamar tawanan dengan pedang itu. Aku akan menjaga di dalam kamarku sendiri. Bila tawanan itu lepas, ia tidak akan melihatku. Tetapi bila ia sampai masuk ke kamarku, ia akan melihat pedang dahsyat itu dan ia akan lari tunggang-langgang. Kini aku hendak pergi membawa serombongan abdi ke bawah untuk memeriksa, kalau-kalau pintunya belum terkunci dengan baik." Pada saat itu juga Condesa Roseta masuk ke dalam kamar Pangeran terengah-engah dan dengan wajah berseri-seri. Di dalam kamar sudah hadir juga Sternau. "Aku membawa kabar baik untuk Ayah," katanya. "Baru saja aku menerima sepucuk surat. Akan kubacakan Ayah surat itu?" "Boleh, asal Senor Sternau mengizinkannya," kata Pangeran dengan rendah hati. "Tentu ia akan mengizinkan. Coba Ayah dengar!" jawab Roseta lalu membacakan surat itu. "Madrid, 30. 5. 1848 Rosetaku yang tercinta! Ayah telah diangkat sebagai seorang ambassador di Meksiko. Ia harus lekas pergi ke sana dan aku akan mengikutinya. Tetapi sebenarnya aku harus mengunjungimu dahulu. Aku akan pergi ke Rodriganda. Lusa aku akan tiba di situ. Bila mungkin, jemputlah aku di Kota Pons. Di situ aku akan beristirahat selama setengah jam! Sampaikan salamku kepada Pangeran dan terimalah sendiri peluk cium dari sahabatmu. Amy Dryden. " "Bukankah itu berita baik, Yah?" tanya Roseta. "Tentu, Nak," jawab Pangeran. Kemudian ia menatap Sternau dan menerangkan. "Lady Amy Dryden ialah putri Lord Henry Dryden, Pangeran Nottingham yang selama beberapa tahun telah tinggal di Madrid. Di situlah kedua wanita itu bertemu dan berkenalan." "Bolehkah aku besok pergi menjemput Amy?" tanya Roseta kepada ayahnya. "Tentu boleh!" jawab ayahnya. "Bila tiada salah, besok ada pekan raya di Kota Pons. Sebaiknya engkau diantar oleh penjaga puri ke situ, Nak." "Aku mendapat pengawal yang gagah perkasa," jawab Roseta sambil tertawa. Sternau pun ingin menawarkan jasanya sebagai pengawal, namun sayang, ia tidak dapat meninggalkan pasiennya. Tidak berapa lama kemudian, ketika semua orang sudah tidur, dua orang menyelinap ke bawah, ke ruang tempat tawanan dikurung. Kedua orang itu adalah Pangeran Alfonso dan Notaris Cortejo. Di muka pintu ruang tahanan berdiri dua orang abdi, yang mendapat tugas jaga pada ketika itu. Sesampai di bawah, Notaris tetap di tempatnya, sedang Alfonso berjalan dengan langkah yang keras bunyinya, supaya para penjaga dapat mendengar dengan jelas. Mereka sedang duduk di atas lantai dengan muka muram. Mereka menyalakan sebuah lentera. Ketika mereka melihat tuan muda mereka, maka segeralah mereka berdiri dan memberi hormat. "Orang itu ditahan di belakang pintu ini?" tanya Alfonso. "Benarlah," jawab salah seorang. "Kuharap, kalian menjaganya dengan baik! Bila kalian membiarkan tawanan itu lepas, janganlah kalian berharap mendapat pengampunan dari kami! Coba, berikan lentera itu sebentar kepadaku!" Pura-pura ia hendak membakar rokok yang sudah padam itu. Dengan sengaja disinggungnya lentera itu, sehingga terjatuh dari tangan abdi itu. Salah satu kaca lentera pecah dan apinya padam. "Dungu kau!" seru Alfonso dengan berang. "Jemput lentera itu. Aku akan menyalakan lagi!" Sambil berkata demikian Alfonso membungkuk dan diam-diam memegang lentera itu dalam tangannya. Ketika para abdi sedang sibuk meraba-raba dalam gelap untuk menemukan lentera itu dan mendapat caci maki dari majikannya, maka Notaris menggunakan kesempatan membuka pintu kamar dengan perlahan-lahan sekali sehingga tiada terdengar oleh seorang pun, lalu menyelinap masuk ke dalam. Pangeran Alfonso berdiri sedemikian, sehingga para abdi tidak dapat melihatnya. Ketika tidak lama kemudian tangan Notaris meraba bahunya, ia mengetahui bahwa pekerjaan membebaskan tawanan sudah selesai. Ia meletakkan lentera itu ke atas lantai, lalu mundur selangkah. "Apakah kalian menunggu bantuanku untuk menemukan lentera sial itu?" tanyanya dengan berang. "Inilah lenteranya! Telah saya temukan di sini!" seru seorang abdi gembira. "Tetapi minyaknya sudah tumpah!" "Lekas ambil minyak lagi untuk menggantikan yang tumpah itu. Biar untuk sementara kita nyalakan sumbunya tanpa minyak." Alfonso mengambil korek api dan menyalakan lampu. Kemudian ia membuka pintu ruang tawanan, yang sudah ditutup kembali dengan rapi oleh notaris itu, lalu menyinarkan cahaya lampunya ke dalam. Ia membuka pintu sedemikian, sehingga para abdi tidak dapat melihat ke dalam kamar. "Tawanan itu sedang tidur atau pura-pura tidur!" kata Alfonso lalu menutup kembali pintu itu. "Baik kita jangan ganggu dia!" Sambil mengucapkan kata-kata itu berpalinglah ia dan naik tangga. Dalam pada itu Notaris diam-diam pergi membawa tawanan itu. Mereka meninggalkan puri tanpa diketahui orang. Akhirnya ketika mereka mengira keadaan sudah cukup aman, advokat itu berhenti, lalu berkata menyindir, "Bagus benar kau laksanakan tugasmu itu. Tentu kamu sekarang minta dibayar juga." "Maaf, Senor!" jawab tawanan itu. "Sepandai-pandai tupai meloncat, sekali gagal juga." "Ya, tetapi jangan pada kesempatan sepenting ini! Nampaknya seolah-olah pemimpinmu sengaja mengirim orang-orang yang berjiwa pengecut." Perampok itu mendekatinya, lalu berkata menantang. "Anda bermaksud menghina saya?" "Habis bagaimana aku harus menamakannya? Bila bergerombol menghadapi seorang lawan, dan masih juga gagal, apakah mereka itu bukan orang yang berjiwa pengecut?" "Memang berkata itu lebih mudah daripada berbuat. Anda sendiri sanggupkah mengerjakannya? Anda sepanjang hari hidup bersama dengan orang itu. Cukup waktu dan kesempatan untuk menyingkirkannya, bukan? Namun hal itu tidak terjadi. Sebaliknya Anda harus minta bantuan orang lain untuk melakukannya. Bukankah Anda juga seorang pengecut? Camkanlah itu! Anda bukan pemimpin saya. Maka tak perlu saya menerima segala perlakukan Anda yang kurang sopan itu. Anda tidak lebih baik sedikit pun dari saya. Setali tiga uang. Awas! Bila saya mengadukan Anda, Anda akan celaka! Jangan suka melontarkan tuduhan yang bukan-bukan! Ingat, bahwa di antara kawan-kawan saya tidak ada yang berjiwa pengecut!" "Baik! Tetapi mengapa kalian tidak dapat membunuh orang itu?" "Yah. Siapa dapat menduga lebih dahulu, bahwa raksasa itu begitu kuat dan pandai berkelahi!" "Bukankah kalian berkelompok menghadapinya?" "Benar, tetapi kami hanya dibolehkan menyerang dengan pisau. Itulah perintah Anda. Sebenarnya tembakan dengan peluru adalah cara yang lebih aman, tetapi Anda tidak menyetujui. Jadi nyatalah, Anda sendiri yang harus memikul tanggung jawab kegagalan usaha itu." "Jadi," kata Notaris sambil tertawa, "mungkin juga maksudmu untuk memaksa aku membayar upahmu, seakan-akan kamu telah melakukan kewajiban dengan semestinya." "Memang saya bermaksud minta upahku. Anda sendiri yang bersalah. Anda wajib membayar upah saya!" "Aku tidak mau membayar, sebelum dokter itu mati." "Bunuh saja sendiri-sanggup atau tidak!" "Itu kan pekerjaan kalian!" seru Notaris dengan berang. "Kini sudah bukan tugas kami lagi! Kami telah melakukan apa yang ditugaskan kepada kami. Tugas itu tidak berhasil dengan baik, tetapi itu bukan salah kami. Saya menuntut diberi bayaran. Bila Anda merasa sayang membayar upah itu, maka Anda akan menyesal. Kemudian Anda harus membayar uang berlipat ganda banyaknya. Pemimpin kami akan menuntut ganti rugi untuk kawan kami yang telah tewas." "Persetan kau, laknat!" "Baik! Saya akan patuhi perintah Anda! Saya akan pergi!" kata perampok itu sambil tertawa mengejek. Langsung ia menghilang dalam kegelapan malam. Perkembangan demikian sama sekali tidak diduga oleh Notaris. Ia memanggil dengan suara yang sekeras masih dimungkinkan oleh keadaan tanpa membahayakan dirinya, tetapi tidak mendapat jawaban. Ia mulai merasa takut. Mungkinkah ia diadukan oleh perampok itu? Kalau itu terjadi, maka rencana yang muluk-muluk, yang dengan tekun dibina sejak dahulu, akan kacau-balau dibuatnya. Ia kembali lagi ke puri dengan hati cemas lalu tidur, namun tidak mendapat istirahat yang diinginkannya. Semalaman ia tidak memejamkan mata. Keesokan paginya ia mendengar suara hiruk-pikuk di dalam puri. Dari suara-suara yang didengarnya ia mendapat kesimpulan, bahwa sesuatu yang penting telah terjadi. Ia terbangun. Ia mendengar pintu kamarnya diketuk orang. Suara seorang abdi kedengaran di luar pintu. "Anda masih beristirahat, Senor Cortejo?" "Masih," jawabnya hati-hati. "Bangunlah, Senor! Don Manuel ingin berbicara dengan Anda. Ada sesuatu telah terjadi. Perampok itu telah lepas tadi malam." "Tak mungkin!" seru advokat itu pura-pura terkejut. "Aku segera datang!" Tidak lama kemudian ia meninggalkan kamarnya pergi ke Pangeran. Di kamar Pangeran sudah hadir Putri Roseta, Senora Clarissa, dan Alfonso. "Sudahkah Anda dengar berita yang mengejutkan itu?" tanya Don Manuel. "Sudah," jawab Cortejo, "akan tetapi saya rasa berita itu salah." "Tidak salah. Perampok itu benar-benar telah lepas." "Mana mungkin! Bukankah tawanan itu dijaga ketat oleh dua orang abdi?" "Namun ia sudah menghilang tanpa bekas." "Hm!" geram Notaris sambil memasang muka, seolah-olah ia terkejut sekali. "Sudahkah Anda mendengar dari Alfonso, bahwa semalam ia telah menyaksikan tawanan itu masih ada?" "Ya. Putraku telah mengunjungi ruang tahanan itu dan ia melihat sendiri tawanan itu sedang tidur di lantai." "Kalau begitu, mereka itu dilepas oleh para abdi penjaganya sendiri. Tidak ada keterangan lain lagi yang masuk akal." "Itu tidak mungkin. Kedua abdi itu begitu terkejut sehingga saya tidak dapat mencurigai sedikit pun." "Saya pun percaya, bahwa para abdi tidak bersalah," kata Roseta dengan nada meyakinkan. "Mereka orang-orang yang setia, itu dapat saya jamin." "Tetapi bagaimana perampok itu dapat melepaskan diri, kalau tidak dengan pertolongan mereka?" tanya ahli hukum itu. "Itu yang akan kita selidiki. Ayahku telah memanggil Anda untuk membantu penyelidikan itu." "Bagus! Saya harap, penyelidikan akan membawa hasil yang nyata. Saya langsung akan pergi ke tempat kejadiannya." Sudah dapat diduga, bahwa penyelidikan itu tak akan membawa hasil. Sternau pun terbangun dari tidurnya oleh hiruk-pikuk dalam puri itu. Segera ia pergi untuk melihat apa yang terjadi. Di lorong ia bertemu dengan penjaga puri yang kelihatan sedang bingung sekali. "Anda sudah mengetahui?" tanya Alimpo cepat. "Pembunuh itu telah melarikan diri." "Tak mungkin," seru dokter itu terkejut. "Namun kenyataannya demikian," jawab Alimpo. "Ia menghilang, tanpa meninggalkan bekas. Itu pun dikatakan oleh Elviraku." "Tetapi saya tidak mengerti. Bagaimana tawanan itu dapat meninggalkan ruang tahanan?" "Tak seorang pun mengetahui, bahkan Elviraku pun tidak. Saya menugaskan dua orang abdi menjaga di muka pintu. Pangeran Alfonso pun turut menyaksikan tawanan itu sedang tidur di ruang tahanan. Tadi pagi, ketika para abdi masuk ke dalam ruang untuk mengantar air minum, tawanan itu sudah hilang!" "Sangat mengherankan! Itu harus diselidiki! Bila orang itu melarikan diri, usaha pembunuhan pada diri saya kemarin tidak mungkin menjadi terang!" "Sayang sekali, Tuan! Kini datang orang-orang yang berwajib mengadakan penyelidikan, dan pelaku utamanya, pembunuh itu, justru telah menghilang. Sangat menyedihkan dan memalukan. Demikian dikatakan juga oleh Elviraku. Tetapi saya sudah cukup membuang waktu mengobrol di sini. Saya mempunyai tugas. Saya harus mengantar Condesa Roseta dengan kereta kuda ke Kota Pons." Alimpo segera pergi, karena ia sekarang harus melakukan tugas mulia, yaitu melindungi putri majikannya dalam perjalanan, supaya tidak terjadi sesuatu pada dirinya. Hal itu membuatnya merasa bangga, membuat otot-otot tubuhnya yang kecil itu berkembang besar serta mempunyai keberanian seekor singa. Meskipun ia tidak dipersenjatai dengan pedang zaman kuno yang pernah dipuji sifatnya kepada istrinya itu, rasanya ia seorang pahlawan besar yang setiap saat dapat membela putri majikannya itu. BAB V SEORANG LETNAN PERANCIS Hari itu di Kota Pons terdapat pekan raya. Karena itu jalan-jalan yang menghubungkan kota itu dengan daerah-daerah sekitarnya menjadi ramai sepanjang hari. Bangsa Spanyol terkenal sebagai bangsa yang bersungguh-sungguh, namun bila tiba waktunya untuk melihat hidup dari sudut gembira, akan diraihnya kesempatan itu dengan dua belah tangannya. Dua orang sedang kelihatan menempuh jalan dari arah utara menuju ke kota. Mereka menghindari jalan raya dan hanya melalui jalan-jalan kecil, supaya tidak usah berjumpa dengan orang-orang. Mereka memanggul bedil Pirenea berlaras panjang serta membawa beberapa pistol dan pisau belati tersisip pada ikat pinggangnya. Dengan demikian mereka tidak menimbulkan kesan, bahwa mereka orang-orang yang cinta damai. Salah seorang di antara mereka menyandang seutas tali. Di ujungnya tergantung segulung kain hitam. Dalam keadaan terbuka kain itu akan dapat kita ketahui sebagai topeng, yang juga dipakai para perampok yang telah menyerang Dokter Sternau di Rodriganda itu. Adakah hubungan antara orang-orang ini dengan pembunuh-pembunuh Dokter Sternau itu? Memang ada. Yang seorang ialah yang sempat melarikan diri setelah serangannya ternyata gagal, yang seorang lagi ialah perampok yang dibebaskan Notaris. Setelah diputuskan percakapan dengan notaris itu, maka ia cepat-cepat meninggalkan Rodriganda, menuju Kota Pons. Di tengah jalan ia berjumpa dengan kawan yang sedang bersembunyi, sedang menanti perkembangan lebih lanjut dari peristiwa itu. "Nah, bagaimana sekarang!" kata salah seorang setelah lama mereka berjalan tanpa bercakap. "Bagaimana pendapatmu, Bartolo?" "Aku akan kembali lagi ke Capitano." "Bodoh kau, kalau mau kembali lagi!" kata yang lain. "Kita akan kena marah dan tidak akan lepas dari hukuman kita, karena kegagalan usaha kita. Sekurang-kurangnya kita akan sepuluh kali tidak mendapat bagian harta rampasan." "Bagus kalau sampai di situ saja akibatnya. Mungkin hukumannya lebih kejam lagi!" kata Bartolo. "Kau benar Juanito, namun kita harus taat juga. Kita sudah mengucapkan sumpah setia." "Kuanggap tak perlu memegang janji pada seorang pemimpin perampok. Aku ikuti teladan kaum saudagar. Kini aku akan membuka usaha sendiri. Kau ikut aku atau tidak?" "Aku? Hm!" "Coba bayangkan, Bartolo! Capitano mendapat sebagian besar dari apa yang kita kumpulkan. Semua rahasia, siasat, dan rencana dipegangnya sendiri. Kita yang mengerjakan segalanya, kita yang dimasukkan ke dalam penjara atau digantung. Ia sendiri tinggal di rumah dengan aman. Ia hanya memimpin saja. Kau sudah mengetahui, berapa banyak uang yang sudah diterima sebagai upah untuk membunuh dokter itu. Dan berapakah yang akan direlakan untuk diserahkan kepada kita?" "Ya, hanya sedikit sekali yang dapat kita harapkan. Itu sudah pasti." "Bukankah lebih baik berusaha sendiri tanpa menjadi kaki tangan orang lain? Umpamanya kita dapat menawan seorang bangsawan kaya-raya. Kita dapat minta uang tebusan besar, yang dapat kita nikmati bersama." "Kau benar juga, Juanito! Kalau begitu, kita harus meninggalkan tempat ini. Bila diketahui oleh Capitano, tamatlah riwayat kita ini." "Kita akan menyeberang Sungai Ebro. Tetapi kita harus mengumpulkan uang lebih dahulu untuk ongkos perjalanan. Pada saat ini di Pons diadakan pekan raya. Orang-orang akan membawa uang lebih yang tidak mereka perlukan sendiri. Itu dapat dipakai untuk keperluan kita. Ayo, kita pergi sekarang!" "Baiklah! Jadi engkau mempunyai bedil!" "Bedil-bedil dan pistol-pistol yang harus kita tinggalkan, karena hanya boleh menyerang dengan pisau saja ketika itu. Kebetulan aku mempunyai dua bilah pisau. Boleh kuberi sebilah." "Tetapi dengan bedil dan pistol itu kita akan menarik perhatian." "Bodoh! Apa yang belum kita perlukan, kita sembunyikan dahulu." Mereka tidur semalam dalam hutan. Keesokan paginya mereka menanam senjata mereka yang belum diperlukan. Kemudian mereka berangkat menuju Kota Pons. Mereka tidak bermaksud masuk kota itu, karena pekerjaan itu terlalu berbahaya bagi mereka. Mereka bermaksud bersembunyi di luar kota di suatu tempat persembunyian. Dari tempat itu mereka menghadang orang-orang yang lalu dan membawa uang banyak. Dengan demikian mereka berharap dapat mengumpulkan cukup uang sebagai bekal belanja. Mereka sedang berbaring di balik semak belukar dan melihat orang-orang lalu lintas, tanpa mereka bergerak dari tempat persembunyiannya, karena di antara orang yang lalu tidak menimbulkan kesan membawa uang banyak. Tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dan putaran roda kereta. Bartolo menjenguk keluar dari semak-semak, namun ia menarik diri kembali dengan terkejut. "Ada apa? Siapakah dia?" tanya Juanito. "Astagfirullah! Betapa terkejutnya aku!" jawab yang lain. "Itulah Condesa dari Rodriganda, yang ditemani oleh dokter itu, ketika kita menyerangnya." "Benarkah? Bagus, itu mangsa kita." Sekarang giliran Juanito untuk mengintip dari balik semak-semak. "Ya, kau benar" katanya. "Tetapi begitu cepat jalannya. Kita tidak sempat menembak." "Menembak?" tanya Bartolo. "Kau kan tidak bermaksud membunuhnya!" "Bukan orangnya. Aku hanya ingin menembak kudanya, supaya kereta itu terpaksa berhenti dan mereka dengan sendirinya akan jatuh ke tangan kita." "Itu pendapat yang lebih baik. Aku tidak tega membunuh seorang putri yang sangat cantik. Kedua orang pengawalnya dapat kita selesaikan dengan mudah. Saisnya tidak nampak sebagai seorang pahlawan, apalagi yang lainnya. Aku mendengar dia kemarin disebut penjaga puri. Dia seorang penakut benar, melihat nyamuk pun ia akan lari tunggang langgang. Condesa tentu akan membawa banyak uang. Bagaimana sekarang, kita akan menunggu sampai ia kembali lagi?" "Baik!" angguk Juanito. "Kita tidak dapat mengharapkan mangsa lebih baik lagi. Kita tembak saja kudanya. Kau kuda di sebelah kanan dan aku kuda di sebelah kiri. Selanjutnya akan kita lihat bagaimana perkembangannya." Ketika rencana ini diperbincangkan, kereta Putri Rodriganda berjalan menuju Kota Pons. Roseta mengetahui, bahwa kawannya akan tiba dengan naik kereta pos dan karena masih belum waktunya kereta pos itu datang, maka Roseta minta supaya saisnya mengantarkan dahulu ke sebuah hotel, tempat Putri biasa menginap, bila ia sedang di Pons. Setengah jam kemudian tibalah kereta pos ditarik oleh enam ekor kuda. Alimpo dan sais sedang menanti di perhentian kereta pos untuk menjemput tamu dan mengantarkannya ke majikannya. Satu per satu penumpangnya turun dari kereta pos dan sebagai penumpang terakhir turunlah seorang wanita berbaju tebal dan mukanya bertudung. Penjaga puri telah mengamati semua penumpang dengan sia-sia. Akhirnya ia menghampiri wanita itu, membungkuk dalam-dalam dan berkata, "Selamat siang-selamat datang! Anda tentu Senorita Lady Dryden!" Wanita itu tertawa riang, terdengar seperti kicau seekor burung yang sedap didengar. Kemudian dijawabnya sambutan aneh yang baru didengarnya itu. "Benarlah, Kawan, saya ini Amy Dryden. Dan siapakah Anda?" "Dona Lady Senorita yang mulia, saya ini Senor Juan Alimpo, penjaga Puri Rodriganda. Demikian juga pendapat Elviraku." Kembalilah terdengar tawa riang yang pendek itu. "Dan siapakah Elvira itu?" "Elvira itu istri saya, Lady Amy Senorita Dryden." "O, begitu! Dan katakanlah, Anda hanya sendiri saja datang menjemputku?" "Tidak, Lady Dryden Dona! Condesa turut juga. Beliau di hotel menanti Anda." "Antarkan saya ke sana, Senor Alimpo!" Penjaga puri memberi tanda kepada sais untuk mengurus barang bawaan tamu. Ia sendiri berjalan dengan bangga di muka wanita Inggris itu sebagai penunjuk jalan. Alimpo yang berbudi itu menyadari, bahwa "Dona Lady Amy Senorita Dryden" telah mendapat pelayanan yang sangat terhormat dari padanya. Roseta sedang berdiri di depan jendela, ketika ia melihat kawannya datang. Cepat-cepat ia menghampiri kawannya itu. Mereka bertemu di depan pintu kamar. Wanita asing itu membuka tudung mukanya dan kini Alimpo melihat wajah seorang gadis cantik berambut pirang yang ramah dan memesonakan, sehingga Alimpo lupa segala-galanya, lupa bahwa kurang pantas baginya turut menyaksikan dua gadis itu berpeluk cium. Baru setelah ia melihat pandangan mata majikannya yang seolah-olah menegur, ia sadar pada kesalahannya, lalu cepat-cepat memutar badannya dan kembali ke ruang bawah. Di situ ia bertemu dengan sais, yang sedang terengah-engah membawa barang-barang bagasi yang berat itu. "Masya Allah! Alangkah cantiknya!" seru Alimpo penuh kekaguman. "Dan rambutnya itu, aduhai benar! Bagaikan emas! Bahkan lebih murni daripada emas... Hai! Mengapa engkau melongo saja, memandang aku terus-menerus! Masih banyak pekerjaanmu menanti! Bawalah kopor-kopor dan kotak-kotak itu ke kereta dan janganlah ingin tahu urusan-urusan orang lain yang tidak dapat kaupahami!" Penjaga puri itu tersentak dari lamunan, ketika dilihatnya sais itu sedang memandangnya dengan tercengang dan sedang melahap segala rahasia lubuk hatinya, yang dengan tiada sadar telah diungkapkannya. Ia membelalakkan mata kepada sais, lalu memutar badannya dan pergi ke sekitar kamar majikannya untuk menanti perintah-perintah selanjutnya. Selesai bersalam-salaman, kedua gadis itu saling menceritakan pengalaman-pengalamannya masing-masing. Kini mereka berdiri di muka jendela dan bercakap-cakap dengan gembira, sambil menyaksikan keramaian berhubung dengan pekan raya itu. Gadis Inggris itu sambil menunjuk dengan jari berkata, "Lihatlah, Roseta, siapakah orang itu?" "Seorang perwira! Pasukan berkuda!" "Kau kenal dia?" "Tidak. Ia bukan orang Spanyol. Dilihat dari pakaian seragamnya, ia seorang Perancis." Ternyata itu Mariano, dalam perjalanan menuju Rodriganda, melalui Kota Pons. Siapa menyaksikan dia, berpakaian seragam pasukan berkuda yang manis, dengan gagah duduk di atas kuda jantan yang tangkas, sekali-kali tidak akan mengira, bahwa anak muda itu adalah anak angkat seorang pemimpin perampok. Adelardo, seorang perampok yang menyamar sebagai abdi, mengikutinya dengan jarak tertentu. Mariano menuju ke hotel untuk beristirahat sejenak. Tetapi sebuah gerobak yang agak tinggi, berisi buah-buahan sebagai barang jualan, menghalangi jalannya. Bukannya mengitari gerobak itu, Mariano langsung saja melompat dengan kuda jantannya. Kuda itu melakukannya dengan begitu mudah, seolah-olah rintangan itu tiada berarti sedikit pun baginya. "Hebat juga!" seru Roseta dan bertepuk tangan. "Penunggang kuda yang tangkas!" kata Amy, sambil mengagumi anak muda itu. Penunggang kuda itu memperhatikan rumah yang hendak dikunjunginya. Tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada jendela dengan kedua gadis itu di belakangnya. Kedua gadis itu menyaksikan air muka pada wajah pemuda itu berubah menjadi gembira. Pemuda itu menarik kekang kudanya, seolah-olah hendak menghentikan kuda dan berdiam diri sejenak di situ, namun perbuatan itu diurungkan. Sekali lagi ia melempar pandangannya ke atas lalu melompat turun dari kudanya. "Tidak tampakkah olehmu, bahwa ia memandang kepadamu?" tanya Amy, yang menjadi merah padam mukanya. "Pandangan itu bukan untukku, melainkan untukmu sendiri. Aku yakin!" "Itu tidak mungkin!" kata gadis Inggris itu sambil tertawa kemalu-maluan. "Kau begitu cantik, setiap orang pasti akan menaruh perhatian kepadamu." "Tahukah kamu, bahwa kamu jauh lebih cantik daripadaku, Amy? Kamu tidak percaya? Baik, akan kubuktikan." "Bagaimana caranya, Roseta? Kau membuatku ingin tahu." "Seorang wasit akan menentukannya." "Itu hebat!" tawa gadis Inggris itu. "Siapa yang menjadi wasitnya? Tentu maksudmu bukan Alimpo, yang memanggilku Senorita Amy Dona Dryden." "Bukan dia, Manis. Meskipun Alimpo seorang abdi yang baik hati dan setia, namun janganlah kita memberi beban dengan tugas sebagai seorang wasit. Ia betul-betul tidak akan sanggup, karena ia tidak mempunyai pendapat sama sekali tanpa 'Elviranya'. Tapi di Puri Rodriganda terdapat seorang yang tepat sekali untuk tugas sebagai wasit itu: ialah dokter kami." "Seorang dokter? Apa pengetahuan seorang dokter dalam bidang kecantikan? Bukankah nanti pendapatnya akan didasarkan pada obat-obatan dan ramuan-ramuan?" Amy tertawa dengan nakal, sehingga Roseta terpaksa turut tertawa juga, tetapi cepat-cepat ia menjawab, "Tidak semua dokter hanya memikirkan tentang obat-obatan saja. Dokter Sternau itu..." "Sternau?" selang kawannya. "Itu nama orang Jerman. Dahulu kaukatakan, doktermu bernama Cielli." "Benar. Tetapi Dokter Cielli sudah berhenti. Bayangkan dahulu, Amy sahabatku, ayahku akan dapat melihat lagi!" Gadis Inggris itu cepat melihat ke muka kawannya. Pada mata kawannya itu terlihat sinar kegembiraan yang sangat. "Mungkinkah itu?" tanyanya. "Alangkah bahagianya! Ceritakanlah! Cepat, ceritakan!" "Baik, akan kuceritakan, tetapi jangan di sini. Nanti saja. Dalam perjalanan kita ke puri. Janganlah kita membiarkan Ayah menunggu lama kedatanganmu." Roseta memerintahkan Alimpo menyiapkan kereta kuda. Beberapa menit kemudian mereka meninggalkan kamar dan naik ke atas kereta. Di halaman di muka hotel tertambat dua ekor kuda kepunyaan dua orang pemuda yang baru datang itu. Mariano sudah ada di dalam menghadapi anggur segelas yang telah dipesannya. Namun ia tidak menyentuh anggur itu, karena di hadapannya selalu terbayang kedua mata biru yang dilihatnya tadi. Mata itu telah memandangnya dengan penuh kekaguman. Kini didengarnya derap kaki kuda. Ia melihat ke luar jendela. Tampak olehnya sais sedang memasang kuda pada keretanya. Cepat-cepat ia menghadapi jendela. Ia memandang ke arah pintu kereta. Di situ tergambar sebuah mahkota dengan warna keemasan di atas latar putih dan di bahwa mahkota itu tertera huruf-huruf: R dan S. Ditekankannya tangannya kepada pelipisnya. Ia merasa nadinya berdenyut keras. Baru saja dilihatnya penjelmaan dari mimpi-mimpinya. Jadi mimpi itu ternyata bukan mimpi, melainkan kenyataan. Jiwanya bergelora dan berbuih, tetapi ia menahan diri dan memanggil pemilik hotel. "Kereta itu milik siapa?" tanya Mariano. "Kepunyaan Pangeran Manuel de Rodriganda," jawabnya. "Rodriganda," demikian diulangnya dengan berbisik. "Dan apakah makna huruf S itu?" "Pangeran itu bernama Manuel de Rodriganda y Sevilla. Wanita yang baru naik ke atas kereta itu adalah anaknya, Condesa Roseta." "O, begitu. Dan siapa wanita lainnya?" "Ia orang asing. Menurut keterangan penjaga puri, Senor Juan Alimpo, wanita itu adalah seorang kawan Condesa, seorang Inggris. Ia berkunjung ke Rodriganda." Pemilik hotel pergi. Mariano berdiam diri. Agak bingunglah ia, ke mana harus dicurahkan perhatiannya lebih dahulu, ke muka gadis Inggris yang masih belum mengenakan tudung itu atau ke lambang kebangsawanan yang huruf-hurufnya memberi pengharapan penuh kepadanya. Kini kedua gadis itu sudah duduk di dalam kereta. Pemilik hotel berlari ke luar untuk mengucapkan salam berpisah, ketika perhatian Amy tertarik kepada jendela yang terbuka itu. Di belakangnya berdiri Mariano. Amy menjadi merah mukanya. Tak lama kemudian kereta itu berangkat. Mariano melempar sekeping uang perak ke atas meja, lalu bergegas-gegas ke luar. Kudanya dinaiki dan dipacunya. "Kita sudah harus pergi lagi?" tanya abdinya terheran-heran. Adelardo tidak mendapat jawaban melainkan harus cepat-cepat menaiki kudanya juga untuk mengikuti tuannya. Baru setelah Mariano menempuh jarak yang agak jauh, ia memperlambat lari kudanya. Gelora darahnya sudah mereda dan ia dapat berpikir tenang kembali. Mungkinkah pertemuan ini hanya berdasar kebetulan saja, tidak mengandung arti sama sekali baginya? Mungkinkah lebih banyak keluarga yang memakai lambang kedua huruf R dan S itu? Mengapa ia melarikan kudanya cepat-cepat seperti dikejar-kejar setan untuk mengikuti kereta itu? Bukankah Rodriganda tujuannya juga, sehingga ia pasti dapat berjumpa dengan kedua wanita itu kembali, bila Andaikata ia kehilangan jejak kereta kuda itu? Maka Mariano memperlambat lari kudanya. Kereta itu dilihatnya menikung di sebuah kelokan dan menghilang. Akan tetapi sesaat kemudian ia terkejut: ia mendengar bunyi tembakan. Sekali lagi terdengar sebuah tembakan. Di balik kelokan terlihat asap mengepul di dua tempat. Apakah kereta itu sedang ditembak orang? Mariano memacu kudanya. Dalam waktu kurang dari semenit ia mencapai kelokan dan melihat apa yang terjadi. Kereta yang ditumpangi Putri berhenti di tengah-tengah jalan dan dua ekor kuda yang menariknya tergolek di atas tanah, kepalanya berlumuran darah, di belakang kereta itu sedang berjongkok sais yang gemetar di sekujur tubuhnya. Anehnya, Alimpo, penjaga puri yang suka disebut pahlawan itu, kini menghilang tanpa jejak. Di atas tangga kereta berdiri seseorang yang berkedok dan membidikkan pistolnya ke arah kedua wanita itu. Di sampingnya, di atas tanah, berdiri kawannya yang membidikkan bedilnya. Mukanya telah dilumuri dengan arang. Ketika mereka mendengar derap kaki kuda di belakangnya, mereka memutar badannya. "Bangsat!" geram Bartolo setelah dikenali Mariano. "Persetan dengan dia!" seru Juanito. "Tembak saja! Habis perkara!" Maka dibidikkannya bedilnya ke arah Mariano dan ditariknya picunya. Tetapi pemuda itu waspada dan sudah siap mengelak. Peluru mendesing di sisinya, namun tiada mengenainya. Seketika kemudian sudah dicabutnya pedangnya dari sarungnya. "Terimalah ini, bedebah!" Dengan perkataan ini ditetakkan pedangnya ke atas kepala lawannya sehingga orang itu rebah ke atas tanah. "Nah, mereka sudah dibereskan," kata pemuda itu sambil membungkuk dalam-dalam di hadapan kedua wanita itu. "Apakah Anda terluka, Senorita-Senorita?" Dengan pistol masih di dalam tangan, ia berdiri di hadapan mereka. Amy berdiam diri saja, hanya mukanya menjadi merah. Roseta segera dapat menguasai diri dan menjawab, "Tidak. Untunglah kami tidak mendapat cedera, berkat pertolongan Anda. Anda datang tepat pada waktunya untuk menghindarkan bencana. Maka kami menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya, Senor! Saya adalah Condesa de Rodriganda dan wanita ini Amy Dryden, sahabat saya." Mariano memberi hormat dan berkata, "Saya adalah Letnan Alfred de Lautreville. Bolehkah saya mendapat kehormatan untuk melayani kepentingan Anda?" "Sayang kami merasa terpaksa memenuhi permintaan Anda, karena abdi-abdi kami telah menghilang tanpa jejak." "Saya lihat ada seorang duduk di belakang kereta. Ayo, ke marilah kamu!" Sais itu bangkit dari sikap jongkoknya, lalu menghampiri pemuda itu dengan berjalan tertimpang-timpang dan merasa malu. "Mengapa engkau bersembunyi? Bukankah seharusnya engkau melindungi kedua wanita itu?" tanya letnan itu. "Saya hanya duduk di belakang kereta, Senor teniente (letnan)," bunyi jawabnya. "Tetapi mengapa? Orang bertubuh sekuat kamu, tidak berani melawan perampok-perampok seperti itu?" "Kalau disuruh berkelahi, sebenarnya saya berani melawannya, tetapi mereka hendak menembak saya. Lagipula Senor Alimpo lebih-lebih lagi, Senor Teniente. Ia sedang bersembunyi di balik semak-semak itu." Sais itu langsung menunjuk ke tempat persembunyian yang dimaksudkannya. Dengan perlahan-lahan Alimpo bangkit di balik semak-semak itu. Ia telah menelungkup dengan muka menyentuh tanah, supaya tidak sampai menyaksikan bencana itu. Setelah dilihatnya, bahwa sudah lewat, ia melompat, dan berlari-lari dengan kedua belah tangannya terkepal menjadi tinju. "Condesa!" serunya dengan gagah, "mereka hendak menyerang kita. Di mana mereka sekarang, jahanam itu? Akan saya hancurkan mereka!" Mariano hendak menjawab, namun ketika dilihatnya Alimpo, perkataan itu tidak keluar dari mulutnya. Kurasa, sudah pernah melihat orang ini. Orang yang bertubuh kecil, muka yang nampak ketakutan, janggut yang aneh itu! Roseta yang menggantikan menjawab. "Kemauan baikmu itu sudah terlambat. Makajangan cepat-cepat mau melarikan diri." "Melarikan diri? Apakah saya melarikan diri?" tanya Alimpo dengan kemalu-maluan. "Benarlah. Lalu kamu bersembunyi." "Bersembunyi? Ya, tentu, itu terpaksa saya lakukan. Saya tidak boleh ditembak mati, maka saya bersembunyi. Maksud saya kemudian akan menolong Anda." "Caramu agak aneh untuk menyelamatkan orang!" kata Roseta dengan tersenyum. "Tetapi biar bagaimana juga, pertolonganmu sudah tidak diperlukan lagi. Lihat tubuh kedua orang yang tergolek di situ. Siapakah mereka?" Adelardo telah turun dari kudanya, lalu mulai membuka alat penyamaran kedua orang itu. Perampok yang kepalanya kena tetak pedang itu mukanya berlumuran darah dan tidak dapat dikenal lagi. Tetapi setelah muka perampok yang lain dibersihkan dari arangnya, maka penjaga puri berseru, "Astagfirullah! Itu pelarian kita! Anda dapat mengenalnya juga, Dona Roseta?" "Benar juga!" kata Tuan Putri. "Kalau begitu, ia sudah menerima ganjarannya!" Untunglah bahwa peristiwa itu telah memenuhi segala pikiran kedua wanita itu, sehingga perbuatan kedua pemuda itu luput dari perhatian mereka. Letnan bersama abdinya itu berjongkok dekat mayat itu dan Adelardo berbisik, "Astagfirullah! Itu Bartolo." "Sst! Diam! Jangan sampai kedengaran!" kata Mariano, memperingatkan abdinya. Kemudian ia bangkit berdiri dan bertanya kepada Tuan Putri, "Anda kenal dia, Dona Roseta?" "Ya, saya mengenalnya. Ia termasuk kelompok pembunuh yang berikhtiar hendak membunuh salah seorang penghuni puri. Ia telah kami tangkap." Pemuda itu memberi isyarat dengan pandangannya kepada Adelardo supaya berhati-hati, lalu berkata pura-pura acuh tak acuh, "Peristiwa ini segera harus kita laporkan ke Kota Pons karena tempat ini termasuk daerah kota itu." "Dan bagaimana dengan kami? Lalu kereta saya bersama kuda yang malang itu hendak diapakan?" "Anda janganlah terganggu oleh pikiran-pikiran lain yang menyusahkan. Mohon izinkan saya mengantar Anda ke Rodriganda." "Dengan segala suka hati, Senor Teniente! Tetapi kami sudah tidak mempunyai kuda lagi!" "Itu soal mudah. Saya dapat memasang kuda saya sendiri dan kuda abdi saya di muka kereta Anda. Kita dapat meninggalkan tempat ini, sedang abdi saya tinggal di sini bersama orang-orang Anda untuk melaporkan kejadian itu dan menjaga mayat sampai tiba waktunya orang-orang mengangkatnya dari situ. Kemudian mereka dapat menyusul kita naik kereta sewaan." "Usul itu baik, Senor Teniente," kata Roseta. "Cepat, lepaskan kuda-kuda yang sudah mati dari kekangnya dan singkirkanlah. Tempat ini menimbulkan rasa muak dalam hatiku." Tak lama kemudian kereta itu sudah disiapkan dengan dua kuda baru. Letnan melompat ke atas tempat duduk sais. Penjaga puri menghampiri pintu kereta lalu berkata, "Condesa yang mulia, sudikah Anda mengabulkan permintaan saya! Sampaikan kepada Elviraku, bahwa saya tidak tertembak mati dan bahwa kami telah memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang!" "Baik, akan kusampaikan," janji Tuan Putri. Hampir-hampir kekang kuda terlepas dari tangan Letnan. Elvira, Alimpo! Itulah justru nama-nama yang melekat dalam ingatan. Mungkinkah sekarang secara kebetulan ia sedang mengikuti jejak mereka yang dicarinya? "Akan segera saya laporkan," kata penjaga puri. "Perkara perampokan seperti ini harus dilaporkan kepada yang berwajib. Demikian juga pendapat Elviraku." Kini sudah jelas sekali bagi Mariano. Jadi benar juga perkiraannya itu, Alimpo ini orang yang dahulu kerap kali menggendong dan menidurkannya. Tetapi ia tidak dapat lama-lama memikirkan hal itu, karena Tuan Putri memberi tanda untuk berangkat. Penjaga puri memperhatikan kereta berangkat sampai akhirnya menghilang dari pandangannya. Kemudian ia menegur serdadu pasukan berkuda itu. "Anda seorang abdi dari perwira tadi, bukan? Siapa nama perwira itu?" "Namanya Letnan Alfred de Lautreville." "Jadi ia seorang Perancis?" "Benarlah. Pasukan kami bertugas di Paris." "Tetapi Anda mahir benar berbahasa daerah Catalonia, seolah-olah Anda orang kelahiran sini. Apa maksud Anda pergi ke Spanyol?" "Hm. Itu tidak boleh saya katakan," jawab Adelardo bangga. "Kami diutus ke mari membawa tugas kenegaraan." "O, jadi atasan Anda seorang duta!" seru Alimpo. "Masya Allah! Masih begitu muda sudah menjadi seorang duta! Dan berpangkat letnan lagi!" Kini ia berbicara dengan sais, "Sudah kau perhatikan baik-baik senor Teniente tadi! Adakah sesuatu yang patut kau kemukakan?" "Tidak ada!" "Masa! Harus ada sesuatu! Berapa lama kamu bekerja pada Pangeran?" "Lebih dari tiga puluh tahun." "Kalau begitu kamu sudah mengenal Pangeran pada masa mudanya. Coba bandingkan Pangeran ketika itu dengan Senor Teniente de Lautreville. Adakah sesuatu yang patut dikemukakan?" "Tidak ada!" jawab sais itu sambil menggeleng kepala. "Benar-benar dungu kamu!" "Mungkin begitu," jawab sais itu acuh tak acuh. Dalam pada itu kereta berjalan terus ke Rodriganda. Roseta sibuk memikirkan, siapakah gerangan orang yang menyewa pembunuh-pembunuh itu. Amy sebaliknya asyik dengan memandang pemuda yang sedang duduk di muka kereta, di tempat sais. Akhirnya kereta tiba di Puri Rodriganda. Di muka pintu halaman berdiri seorang bertubuh tinggi kurus yang sedang mengawasi mereka dengan terheran-heran. "Siapakah orang itu?" tanya Amy. "Senor Gasparino Cortejo, ahli hukum kami," jawab Roseta. Mariano pun kenal nama itu. Bukankah itu nama orang yang telah memberi perintah untuk menukarkan dirinya? Dan di atas pintu gerbang puri ia melihat terpahat di atas batu, suatu gambar lambang sebuah mahkota dan di bawahnya tertulis huruf-huruf R dan S. Puri yang indah dan agung itu memberi kesan yang tidak terlukiskan kepadanya. Seolah-olah ia tiba di suatu tempat, yang merupakan sumber dari segala mimpi tentang masa kecilnya, lalu melompatlah ia dari tempat sais dengan perasaan, bahwa hidupnya mulai sekarang ini masuk tahap yang baru. Notaris menatap pemuda itu dengan rasa heran. "Apakah ini?" sungutnya. "Siapakah orang itu? Nyata benar persamaannya! Inilah Pangeran Manuel tiga puluh tahun yang lampau! Suatu kebetulan saja atau bukan?" Sepintas lalu tampak olehnya, bahwa dirinya sedang diamati juga oleh pemuda itu. Pandangan pemuda itu mengandung rasa ingin tahu bercampur kewaspadaan seperti menghadapi suatu bahaya. Kedua wanita itu telah turun dari kereta lalu menaiki tangga luar yang besar itu. Notaris menyambut mereka dengan tersenyum sopan dan memberi hormat dengan membungkuk. "Saya merasa mendapat kehormatan besar sebagai orang pertama dapat menyambut kedatangan Anda. Kini izinkan saya diperkenalkan kepada pengantar Anda." Kemudian, ketika nama Gasparino Cortejo disebut oleh Roseta, maka tampaklah pandangan Letnan kepada Notaris mengandung rasa curiga. Ketika Notaris mendengar nama Alfred ke Lautreville hatinya menjadi lega. Perwira itu berbangsa Prancis-jadi persamaannya dengan Pangeran hanyalah suatu kebetulan. Kini kedatangan kereta di puri sudah mulai ketahui orang. Alfonso, Dokter Sternau, dan Nona Clarissa bergegas-gegas datang untuk menyambut para tamu. Mereka melihat kuda-kuda lain yang dipasang pada kereta itu dan Alfonso menanyakan apa sebabnya. "Senor de Lautreville begitu baik meminjamkan kudanya, karena kuda kami telah tertembak mati," demikianlah penjelasan Roseta. "Tertembak mati?" tanya ahli hukum itu terheran-heran. "Oleh siapakah?" "Oleh perampok, tawanan kita, yang semalam melarikan diri." Kini diceritakan oleh Roseta segala kejadiannya. Cerita itu menawan hati para pendengarnya. Perwira yang masih muda itu menerima pujian dan ucapan terima kasih mereka. Cortejo pun mengulurkan tangannya kepadanya. Kemudian ia berkata, "Perampok biadab seperti itu tak boleh tidak harus ditindak dengan tegas. Kini sedang hadir di rumah Pangeran suatu panitia di bawah pimpinan seorang perwira pengadilan dari Barcelona, yang dapat mengadakan penyelidikan dengan saksama. Petugas-petugas itu masih perlu mengajukan beberapa pertanyaan kepada Condesa. Setelah itu mereka akan mengadakan penyelidikan tentang perampokan yang dilakukan kemarin. Kemudian mereka akan dapat langsung pergi ke Pons." Kini orang-orang pergi ke Pangeran. Di situ mereka menjumpai perwira pengadilan. Pangeran Manuel mengucapkan selamat datang kepada kawan putrinya dan menyatakan rasa terima kasihnya kepada Letnan yang dengan gagah berani telah menyelamatkan jiwa kedua wanita itu. Namun Mariano menolak pujian itu. "Sebenarnya saya bukan seorang pahlawan. Yang telah saya selamatkan hanyalah uang, bukan jiwa wanita itu." "Saya tidak sependapat," kata Roseta. "Sesungguhnya Anda telah menyelamatkan jiwa kami. Maka anggaplah rumah kami sebagai rumah Anda sendiri! Kami tidak akan membiarkan Anda cepat-cepat meninggalkan Rodriganda!" Mariano membuat isyarat seolah-olah hendak menangkis lalu menjawab, "Saya telah melakukan kewajiban saya, ketika saya mengantar Anda ke Rodriganda. Namun saya tidak boleh menyalahgunakan kebaikan hati Anda." "Itu bukan penyalahgunaan," kata Pangeran cepat-cepat menengahi. "Anda akan membuat kami merasa lebih berterima kasih, bila Anda sudi menerima undangan kami. Saya benar-benar mengharap, supaya Anda beristirahat di rumah kami setelah menempuh perjalanan yang melelahkan itu. Roseta akan menyuruh menyediakan kamar-kamar untuk Anda." Perkataan tadi bukanlah diucapkan hanya karena terdorong oleh kesopanan semata-mata. Pangeran itu buta dan tidak dapat melihat perwira itu. Tetapi ia mendengar suaranya dan aneh, suara itu mengandung sesuatu yang menarik baginya. Notaris pun turut menyaksikan dan diam-diam membandingkan wajah kedua orang itu. Memang harus diakui, bahwa persamaannya agak mencolok juga. Lalu ia bermaksud hendak berhati-hati. Setelah rombongan berpisah, maka letnan itu diantar oleh seorang abdi ke kamar-kamarnya. Ia mendapat tiga buah kamar, sebuah kamar di muka, sebuah kamar duduk, dan sebuah kamar tidur. Ia meletakkan pedangnya di kamar duduk, lalu pergi ke kamar tidur untuk mencuci muka. Di dalam kamar itu terdapat juga istri penjaga puri, yang sedang memeriksa apakah semua sudah beres. Ketika ia mendengar bunyi langkah kaki, ia menoleh ke arah pintu. Ia mengetahui, bahwa tamunya seorang perwira Perancis, maka hendak memberi hormat dengan membungkuk. Namun ketika tampak olehnya wajah tamu itu, ia lupa membungkuk. Dengan mata terbelalak ia berseru, "Astagfirullah! Pangeran Manuel!" Perkataan itu membuat Mariano mundur selangkah. Wanita yang berdiri di hadapannya benar-benar dikenalnya. Semasa kecil ia kerap kali duduk di atas pangkuannya dan memandang mukanya yang bundar dan berkilat itu. Akhirnya ia bertanya, "Elvira! Bukankah Anda penjaga puri bernama Elvira?" "Benar," jawabnya sambil menarik napas. "Tuan kenal saya?" "Ya. Saya dengar dari suami Anda. Tetapi mengapa Anda menamakan saya Pangeran Manuel?" "Hampir tidak dapat dipercaya, Senor Teniente! Anda sama benar dengan Pangeran Manuel, ketika beliau berusia dua puluh tahun." "Benarkah? Yah, alam kadang-kadang menciptakan hal yang ganjil." "Seperti pinang dibelah dua! Aduh, Alimpoku harus melihatnya!" "Ia sudah melihat saya." "Benar juga. Tadi sudah Tuan katakan, bahwa ia pernah bercerita tentang saya." "Sudahkah Anda menerima salamnya dengan perantaraan Condesa?" "Benarkah? Ia memberi salam kepada saya?" "Benar." Pada wajah wanita itu nampak rasa bahagia dan ia berkata dengan mata berseri-seri, "Memang itulah sifat Alimpo. Ia menyampaikan salam! Alangkah manisnya! Apa lagi yang dikatakannya?" "Bahwa ia tidak tertembak mati." "Masya Allah. Ya, saya dengar juga dari seorang abdi, bahwa ia turut diserang. Untung benar Condesa mendapat perlindungan dari padanya." "Tentu," kata Mariano sambil tersenyum. "Ia minta disampaikan juga kepada Anda, bahwa ia telah memberi perlawanan dengan gagah perkasa dan memperoleh kemenangan gilang-gemilang." "Saya yakin! Ya, saya yakin! Demikian ia selalu, Alimpoku. Bahkan kadang-kadang ia terlalu berani, sehingga saya harus menahannya. Mari saya antar Anda ke serambi tempat lukisan-lukisan. Nanti Anda dapat melihat sendiri, betapa besar persamaan Anda dengan Pangeran Manuel. Tetapi baiklah Anda beristirahat dahulu. Anda telah berkelahi dengan perampok-perampok itu. Tentu Anda sudah terlalu lelah." Elvira hendak meninggalkan kamar, tetapi Mariano menahannya. "Tunggu sebentar, Senora. Dapatkah Anda meluangkan sedikit waktu untuk menjawab beberapa pertanyaan?" "Untuk Anda saya selalu menyediakan waktu," jawab wanita itu. "Anda dan Senor Sternau tidak dapat saya tolak permintaannya." "Maksud Anda dokter itu? Coba ceritakan, siapakah dia." "Senor Sternau itu seorang yang-yah, hampir sama gagah perkasanya dengan Alimpoku. Ia telah datang dari Kota Paris. Ia dapat menyembuhkan Pangeran dari penyakit kebutaannya. Dokter-dokter paling terkenal di sini tidak sanggup melakukannya. Kemarin ia diserang sekelompok perampok." "Itu sudah saya dengar. Apakah sebab-sebabnya, mengapa ia harus dibunuh? Barangkali ia mempunyai musuh." "Mempunyai musuh? Tidak mungkin! Ia tidak pernah berbuat jahat pada seseorang. Semua orang menyukainya." Penyerangan pada dokter itu merupakan teka-teki bagi Mariano. Sudah tentu Capitano merupakan dalangnya. Namun harus juga ada seseorang yang menghendaki kematiannya dan berani membayar mahal kepada Capitano. Puri Rodriganda baginya seperti diselubungi oleh suatu rahasia yang perlu diungkapkan olehnya. "Tampaknya saya akan tinggal di sini beberapa waktu lamanya," demikian dilanjutkan Mariano. "Maka saya perlu mengetahui sedikit tentang para penghuni yang bertempat tinggal di puri ini. bolehkah saya bertanya mengenai hal itu?" "Silakan Anda bertanya. Saya akan menjawab dengan segala senang hati." "Bagus! Pertama-tama siapakah Senor Gasparino Cortejo itu?" "Bila saya harus berterus-terang, Senor Teniente, maka harus saya katakan, bahwa tidak ada orang yang menyukai orang ini. Sudah lama ia membantu Pangeran. Pekerjaannya sebagai ahli hukum yang mengurus kepentingan Pangeran. Ia adalah tangan kanan Pangeran dalam urusan perbendaharaan. Sifatnya tinggi hati dan sembunyi-sembunyi. Kata Alimpoku: ia seorang kepercayaan Pangeran, yang menggunakan kekuasaan itu untuk kepentingan dirinya sendiri." "Lalu siapakah Dona Clarissa itu?" tanya Mariano. "Ia bekerja sebagai seorang wanita pendamping Condesa, tetapi ia banyak bergaul dengan Gasparino. Ia berlagak sebagai orang yang berhati suci, namun orang-orang tidak menyukainya." "Dan pangeran muda itu?" "Dia baru beberapa bulan di sini. Sebelumnya ia tinggal di Meksiko." "Berapa lama?" "Sejak kecil ia diambil dari sini." "Aneh juga! Seorang Pangeran mengirimkan putranya ketika masih kecil sekali, menempuh lautan, ke suatu negeri yang keadaan keamanannya masih sangat meragukan dan jiwa seseorang tidak berharga." "Ada alasan mengapa Pangeran sampai berbuat demikian. Adik Pangeran, yang bernama Don Fernando, sebagai putra bungsu tidak dapat mewarisi mahkota pangeran. Maka ia pergi ke Meksiko dan membawa bagian dari warisannya. Ia menetap di negeri itu dan menjadi kaya-raya. Don Fernando telah berjuang di pihak kaum nasionalis. Ia tetap hidup membujang dan ingin membuat putra kedua dari kakaknya menjadi ahli warisnya. Ketika itu Don Manuel mempunyai dua orang putra. Namun sebagai syarat diajukannya, supaya anak itu dikirim kepadanya untuk dididiknya. Don Manuel setuju, karena warisan itu luar biasa besarnya." "Jadi anak itu dibawa ke Meksiko? Bilamana?" "Itu masih segar dalam ingatan saya, karena kebetulan hari itu suami saya merayakan hari ulang tahunnya. Anak itu dibawa pada tanggal satu Oktober tahun 1830." Mariano mendengar dengan tercengang. Darahnya mengalir dengan deras dalam tubuhnya. Namun ia tetap menguasai diri dan bertanya, "Siapa yang menjemput anak itu?" "Pedro Arbellez, seorang penyewa tanah dan Fernando, yang telah datang ke mari." "Apakah terdapat orang lain yang turut hadir dekat anak itu?" "Hanya seorang wanita, seorang inang pengasuhnya, bernama Maria Hermoyes." "Di mana Pedro Arbellez naik kapal?" "Di Barcelona. Pangeran dan Tuan Putri mengantar anak itu ke sana dan saya pun turut hadir. Kapal itu tertunda berangkat karena badai. Itulah sebab maka orang Meksiko itu masih dua hari bermalam di hotel El Hombre Grande." Keterangan ini sesuai benar dengan cerita pengemis yang meninggal itu. Mariano berusaha sekuat tenaga untuk menekan perasaannya yang meluap-luap. Ia bertanya seolah-olah acuh tak acuh. "Apakah Senor Cortejo ketika itu sudah bekerja pada Pangeran?" "Sudah!" "Apakah ia sudah beristri dan beranak?" "Tidak. Ia tidak berkeluarga." "Hm, tahukah Anda, apakah di antara sanak saudaranya ada yang mempunyai anak?" "Ia mempunyai saudara di Meksiko dan mempunyai seorang anak perempuan." "Apakah Don Fernando masih hidup di Meksiko?" "Tidak. Tahun lalu ia meninggal." "Dan Alfonso menerima warisan dari padanya?" "Benar, Senor. Ia telah menjadi kaya-raya." "Tadi Anda mengatakan, bahwa Don Manuel mempunyai dua orang anak." "Benar, tetapi yang sulung meninggal, ketika Alfonso pergi ke Meksiko. Ia tinggal di Madrid untuk mendapat didikan sebagai perwira, tetapi ia meninggal oleh penyakit. Karena itu Alfonso menjadi putra tunggal, yang akan mewarisi mahkota." "Apakah Don Alfonso disukai orang?" "Tidak. Dahulu ia seorang anak yang baik. Saya kerap kali menimang-nimangnya. Tetapi sejak di Meksiko wataknya sudah berubah sama sekali. Ia lebih suka bergaul dengan Cortejo dan Clarissa daripada dengan ayah dan saudaranya sendiri." "Hm! Lalu siapakah Dona Amy Dryden itu?" "Ia orang Inggris. Condesa sangat sayang kepadanya. Ayahnya seorang yang kaya-raya. Lain daripada itu tidak ada yang saya ketahui." "Kalau begitu, saya tidak mempunyai pertanyaan lagi. Terima kasih, Senora." "Bolehkah saya juga mengajukan sebuah pertanyaan, Senor Teniente? Apakah Anda masih ada pertalian keluarga dengan keluarga Rodriganda?" "Sayang tidak. Nama saya pun Lautreville." "Atau barangkali keluarga Lautreville itu masih kerabat dari keluarga Cordobilla. Tuan Putri, ibunda Condesa, adalah dari keluarga Cordobilla." "Tidak juga. Kami tidak ada pertalian keluarga dengan mereka." "Kalau begitu persamaan Anda sangat membingungkan!" kata istri penjaga puri. "Sekarang masih ingin saya dengar apakah Alimpoku akan kembali segera." "Sudah pasti hari ini juga!" "Terima kasih, Senor Teniente! Kini saya akan pergi. Bila Anda perlu pelayanan, Anda dapat membunyikan lonceng." Elvira pergi. Mariano berjalan hilir-mudik saja. Apa yang didengarnya sudah cukup untuk membuat darahnya mendidih. Bila persangkaannya benar, maka ia adalah ahli waris yang asli dari Rodriganda, putra Pangeran Manuel, saudara Putri Roseta. Dan Alfonso adalah putra palsu, yang asal-usulnya hanya diketahui oleh Notaris. Mungkin Capitano juga mengetahuinya. Tetapi apakah gerangan maksud mengirim ke Rodriganda. Itu yang membingungkan Mariano. Bila ia benar putra Pangeran, bukankah sangat berbahaya untuk membiarkannya bergerak dekat Pangeran, karena mudah sekali rahasia mereka akan terungkap. Sedang Mariano asyik memikirkan persoalan ini, dua orang lain sedang duduk-duduk memperbincangkan perkara yang sama. Mereka adalah Cortejo dan Clarissa. "Persamaan letnan itu benar-benar mencolok," kata Clarissa. "Memang terlalu! Bukan main terkejut ketika aku melihatnya." "Aku juga! Barangsiapa melihatnya bersama Alfonso di sebelah Pangeran, maka tanpa sangsi sedikit pun akan memandang orang Perancis itu sebagai putranya." "Memang suatu hal yang membingungkan. Persamaan itu terlalu mencolok untuk dianggap sebagai permainan alam belaka." "Atau barangkali Capitano..." "Yang bukan-bukan! Seorang perampok tidak akan berlalu seceroboh itu! Hanya ada satu keterangan. Anak yang kita tinggalkan di sarang perampok itu tertukar lagi. Dikira Capitano, anak itu masih di tangannya, padahal ia sudah ada di tempat lain." "Jadi anak yang sudah dua kali tertukar itu adalah letnan ini? Lalu bagaimana anak itu sampai ke Kota Paris bersama keluarga Lautreville?" "Wallahualam! Di dunia ini sudah banyak terjadi hal-hal yang sebenarnya tak mungkin." "Kita harus bertindak cerdik dan memancing keterangan dari letnan ini. Seorang anak muda yang masih hijau akan mudah kita kelabui. Ambil hatinya, maka segera akan kau dengar segala yang kau inginkan. Tahukah Capitano, siapakah anak yang ditukar itu?" "Tidak." "Kalau begitu, besar kemungkinan, letnan itu seorang Rodriganda juga. Mungkin saja timbul alasan-alasan bagi perampok, untuk mengirim orang ini ke Rodriganda dengan menyamar sebagai seorang letnan." "Itu tidak mungkin! Letnan itu tidak dibesarkan di kalangan perampok. Itu dapat kau lihat dengan nyata. Lahiriah maupun batiniah ia tidak sesuai dengan seorang perampok. Dari perkenalanku yang hanya sepintas lalu dengannya dapat kuketahui, bahwa ia memperoleh pendidikan tinggi juga. Sudah pasti ia bukan seorang perampok." "Makin nyata juga bagiku, bahwa ia bukanlah perampok. Andaikata ia anak yang kita tinggalkan pada Capitano, tentu ia tak akan membunuh kawan-kawannya sendiri hari ini!" "Hal itu membuat hatiku lega. Namun kelemahan hati kita di masa lalu itu sangat disayangkan. Sebaiknya anak itu ketika itu dibunuh saja. Orang yang sudah mati tidak dapat membuka rahasia lagi." "Kau sendiri menunjukkan kelemahan yang lebih besar dengan bersedia menandatangani surat untuk Capitano, Gasparino. Hampir tidak dapat dipercaya, seorang ahli hukum berbuat sebodoh itu." "Aku telah ada di dalam cengkeraman kekuasaannya, Clarissa." "Itu tidak dapat kupahami. Seorang perampok tidak layak pergi ke polisi untuk mengadukan lawannya." "Bukan itu yang kutakuti. Tetapi ia dapat pergi ke Pangeran dengan membawa putra yang asli. Lagipula surat keterangan itu tidak akan mendatangkan kerugian bagiku. Aku tahu, tujuan Capitano dengan surat itu hanya untuk memerasku." "Tidak mungkin ia mengembalikan anak itu kepada Pangeran. Bukankah sudah kaukatakan bahwa perampok itu tidak mengetahui asal-usul anak itu?" "Memang aku tidak mengatakan hal itu kepadanya. Namun seorang perampok itu cerdik. Mungkin ia sudah mengadakan penyelidikan sendiri. Ingat bahwa ia menolak anjuranku untuk membunuh anak itu. Hal itu menambah kecurigaanku. Sangat mungkin ia sudah menduga keadaan sebenarnya. Namun kini perkara itu sudah mudah bagiku: bila perampok itu menjadi berbahaya bagiku, akan kutembak dia. Habis perkara!" BAB VI PERANGKAP PERANGKAP BARU Kehadiran dua orang tamu itu mengubah suasana sepi di Rodriganda menjadi ramai. Pangeran Manuel selalu bergembira, bila kedua orang muda itu datang mengunjungi dalam kamarnya untuk menghibur hatinya. Hatinya merasa tertarik kepada letnan itu, entah apa sebab. Demikian juga disukainya pembawaan gadis Inggris yang selalu tenang itu. Pergaulan dengan mereka membawa pengaruh yang baik bagi orang sakit itu. Karena tiga orang dokter itu telah meninggalkan Rodriganda, maka Pangeran hanya mendapat pertolongan dari Dokter Sternau dan berkat pertolongannya yang berhasil dengan baik, setelah beberapa hari dapat dirasakan oleh Pangeran, bahwa batu dalam tubuhnya telah hilang. Baru setelah kekuatan tubuhnya pulih kembali, dapat dimulai dengan mengobati matanya. Berita itu mendatangkan kegembiraan di hati para penghuni puri, kecuali tentu si ahli hukum, Nona Clarissa, dan Alfonso. Pada waktu-waktu tertentu tampak empat orang bercengkrama di dalam taman. Rombongan empat orang itu selalu berakhir menjadi dua pasang: Dokter Sternau tiap kali bergabung dengan Roseta, sedangkan sang letnan dengan Amy. Pangeran yang duduk berangin-angin di beranda, akhirnya mengetahui juga kebiasaan itu dan kadang-kadang tergoda untuk mengucapkan kata-kata kelakar berhubung dengan hal itu. Mariano merasa cintanya berkobar-kobar dalam hati dan Amy melihat pasangannya sebagai penjelmaan dari segala cita-citanya. Dengan demikian beberapa waktu berlalu, tanpa terjadi sesuatu yang mengganggu ketenteraman hidup dalam puri itu. Ada yang membaca, ada yang berjalan-jalan atau mengendarai kuda, ada yang bermain musik dan dalam segala hal Mariano memperlihatkan kemahiran dan ketangkasannya. Hanya di bidang musik ia tidak turut mengambil bagian: ia tidak dapat bermain piano. Pada suatu kali, ketika siang hendak berganti malam, Dokter Sternau sedang berada di kamar Pangeran, Roseta sedang mengendarai kuda bersama saudaranya dan Letnan sedang asyik di serambi mengamati lukisan yang mirip dengan dirinya. Kemudian ia masuk ruang perpustakaan di sebelahnya. Ketika itu hari sudah mulai gelap, sehingga tidak tampak olehnya, bahwa Amy hadir juga di ruang itu. Gadis itu sedang menikmati ketenangan hari senja dan sedang melamun. Ketika dilihatnya de Lautreville masuk ke dalam, ia tetap duduk, karena dikiranya letnan itu hanya bermaksud melintasi ruang itu saja. Akan tetapi letnan itu tidak berbuat demikian. Ia berdiri di muka jendela dan memandang pemandangan ketika matahari sedang terbenam. Dengan demikian beberapa menit berlalu dalam keheningan sejati. Kemudian ia memutar badannya, mungkin dengan maksud akan pergi, namun tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah gitar Spanyol yang tergantung pada dinding. Diambilnya gitar itu, lalu dimainkannya beberapa kelompok nada. Amy bangkit berdiri terpesona oleh desir nada-nada yang indah itu. Gitar merupakan alat musik yang dicintai bangsa Spanyol. Hampir setiap keluarga mempunyai sebuah alat demikian dan tiada jarang juga kita berjumpa dengan orang-orang yang pandai sekali memainkannya. Namun permainan seperti yang diperdengarkan oleh letnan itu benar-benar luar biasa. Maka Amy langsung bertepuk tangan setelah permainan itu selesai, lalu ia berseru, "Bukan main indah permainan Anda itu! Benar-benar mengagumkan! Tadi kata Anda, Anda tidak pandai bermain musik." "Maaf Nona, saya tidak mengetahui, bahwa Nona duduk di sini. Beberapa waktu yang lalu saya hanya mengatakan, bahwa saya tidak pandai bermain piano." "Tetapi mengapa Anda tidak mengatakan lebih dahulu, bahwa Anda sangat mahir memainkan gitar?" "Karena saya mempunyai pendapat pribadi tentang musik. Musik terutama sekali merupakan seni tentang perasaan, pengungkapan isi hati seseorang dan tidak ada orang yang ingin memamerkan perasaannya kepada umum. Saya pun tidak suka memainkan perasaan saya dengan suatu alat musik untuk memperdengarkan kepada setiap orang." "Jadi Anda menciptakan lagu-lagu Anda sendiri?" "Saya belum pernah mempelajari suatu nada. Saya memainkan sesuatu yang ditimbulkan oleh khayal saya dan lagu-lagu itu hanya diuntukkan bagi diri saya sendiri, bukanlah bagi orang lain." "Kalau begitu, Anda serakah. Anda menyanyi juga?" "Ya, hanya menurut keadaan jiwa pada saat itu." "Dan tidak seorang pun boleh mendengar nyanyi Anda? Saya pun tidak?" "Baiklah, Nona, saya akan bernyanyi untuk Anda. Tetapi lagu apa? Saya belum pernah mempelajari lagu-lagu. Saya biasa mengikat syair sendiri." "Kalau begitu, coba dapatkah Anda menyanyikan sebuah lagu cinta?" "Baiklah. Tetapi harus ada obyeknya, seorang gadis kepada siapa perasaan saya tertuju!" "Tentu!" jawab Amy gembira. "Ya, memang ada seorang yang ingin saya anggap menjadi pokok perhatian selama saya menyanyi lagu itu." Dalam mengucapkan perkataan itu ia membimbing gadis itu ke kursi bekas tempat duduknya dan menyilakannya duduk di atasnya. Kemudian ia pergi ke belakang kamar dan duduk di atas sebuah divan. Suasana begitu gelap di situ, sehingga Amy tidak dapat melihat pemuda itu. Hening sejenak. Kemudian gadis itu mendengar bunyi dawainya. Lemah-lembut mula-mula, kemudian berangsur menjadi keras, kelompok-kelompok nada terpisah, mencari persesuaian dan akhirnya menemui bentuk sebagai suatu lagu. Kini Lady Amy mendengar suaranya. "Aku percaya akan cintamu, dengan sepenuh hatiku. Tapi bila nasib merenggutmu dari sisiku, aku masih dapat menatap langit. Di situ akan kutemukan cahayamu, cemerlang dan murni, penuh harapan suci; maka doaku selalu agar kau suatu kali jadi milikku." Suatu selingan pendek mengantarkan kepada bait berikutnya dalam nada minor yang liris dan mengharukan. "Aku mengharap cintamu, menjadi pelita dalam hidupku. Bilakah terbuka pintu surga itu, tempat kutujukan langkahku? Maka tenggelamlah segala duka masa lalu ke dalam kesamaran abadi dan rahmat Tuhan membawa damai dengan persekutuan yang suci. " Suatu selingan mengembalikan nada kepada terts besar. Kelompok-kelompok nada bertambah penuh dan kuat, lagu terdiri dari motif-motif yang tetap, dan suara penyanyi pun terdengar lebih kuat. "Cintamu tempat hidupku bertaut, seluruh hati dan jiwaku! Biar, biarkan daku menujumu, tetaplah jadi milikku. Jangan biarkan hatiku merana, berpeluk lutut tanpa usaha. Kau cahaya hidupku, tanpa kau segalanya akan kelam. " Lagu itu sudah berhenti, namun masih lama setelah itu belum terdengar suara-suara di ruang yang gelap itu. Akhirnya Mariano perlahan-lahan melangkah ke depan untuk menggantungkan gitar kembali ke tempatnya. "Nah, bagaimana pendapat Nona?" tanya Mariano. "Lagu itu baru, bukan?" tanya Amy. "Anda sendiri yang mencipta perkataan maupun lagunya." "Benarlah." "Anda seorang penyair besar! Bolehkah saya mengetahui satu hal lagi? Kepada siapa sebenarnya Anda persembahkan lagu Anda itu?" "Kepada-Anda!" Baru saja kata-kata ini terucapkan, maka gadis itu merasa dirinya dipeluk oleh pemuda itu. Pemuda itu meletakkan tangannya ke atas rambut gadis itu lalu berkata, "Tuhan memberkati Nona! Saya mencintai Nona, tetapi masih belum waktunya sekarang mengucapkan itu. Kemudian akan saya kunjungi Anda di Meksiko atau di tempat mana pun di dunia ini untuk mengecap bahagia yang hanya dapat saya peroleh dari Anda." Bibir gadis itu terbakar oleh cium hangat dan ia tiada menolak. Kemudian pemuda itu meninggalkan ruang perpustakaan. Bunyi langkah kakinya makin lama makin menghilang dari pendengaran gadis itu. Gadis itu membiarkan air matanya mengalir dengan bebas karena rasa suka dan bahagia yang dialaminya. Kemudian ia mendengar deru kereta kuda yang sedang datang. Roseta telah kembali dengan Alfonso. Di tengah jalan mereka berjumpa dengan pengantar pos dan menerima berbagai surat dan surat kabar dari padanya. Surat-surat itu dibagi kepada mereka yang harus menerimanya. Notaris menerima juga sepucuk surat. Surat itu mendapat stempel pos dari Barcelona. Bunyinya, "Senor! Baru saja saya masuk pelabuhan dengan kapal Pendola saya. Pelayaran telah menghasilkan banyak uang. Saya harap kedatangan Anda dengan segera, karena saya sedang menanti cuaca baik untuk melanjutkan pelayaran. Henrico Landola. " Surat itu sangat menggembirakan hati Cortejo. Segera ia pergi mendapatkan wanita-sekutunya lalu berseru, setelah mengunci pintu di belakangnya. "Clarissa, ada kabar baik!" Wanita itu bangkit dari tempat duduk dan berkata, "Kabar baik? Aku lebih suka mendengar itu. Sudah berapa lama kita hanya mendengar berita-berita yang buruk saja. Coba ceritakan!" "Landola telah tiba dengan selamat di Barcelona dan mengabarkan bahwa segala usaha telah berhasil dengan baik." "Jadi engkau akan pergi ke Barcelona?" "Tidak, akan kuundang nakhoda itu ke Rodriganda. Keadaan kita di sini terlalu gawat, sehingga kita tidak boleh meninggalkan sehari pun. Lagipula, kudengar berita bahwa Capitano pemimpin perampok itu, kini sedang berangkat ke sini. Ia ingin bertemu denganku tengah malam." "Bagus!" seru Clarissa. "Aku mendapat akal! Kita akan dapat mengetahui, letnan itu mempunyai hubungan dengan Capitano atau tidak. Bila terdapat hubungan, maka Capitano akan menggunakan kesempatan itu untuk bertemu dengannya. Kita harus mengawasi. Akan pergikah ia ke taman atau tidak." "Itu pendapat bagus! Pertama-tama akan kuawasi abdi letnan itu. Layaknya Capitano tidak akan langsung menghubungi letnan itu, karena perbuatan itu akan mencolok sekali." Cortejo pergi, untunglah masih belum terlambat untuk menyaksikan sesuatu. Ketika ia menuruni tangga, dilihatnya abdi Letnan sedang bergegas menuju ke kamar tuannya. "O, begitulah, ini sudah cukup," kata ahli hukum itu dalam hati. "Rajin benar ia. Tentu ada sebab-sebabnya! Aku harus waspada." Ia berjalan melalui suatu serambi dan menuruni tangga. Di kiri kanan tangga itu tumbuh semak-semak, tempat orang dapat bersembunyi dengan mudah. Cortejo menyelinap ke dalam semak-semak itu dan berbaring di atas tanah, supaya jangan dilihat orang. Dari tempat itu ia dapat mengawasi setiap orang yang meninggalkan puri di sisi yang menghadap pada taman. Cortejo menanti selama kira-kira setengah jam, lalu ia mendengar bunyi langkah orang. Letnan de Lautreville keluar dari pintu, menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu cepat-cepat menuruni tangga, menuju ke taman. "Jadi benar juga!" kata ahli hukum itu dalam hati. "Aku harus mengetahui, di mana mereka bertemu!" Ia meninggalkan tempat persembunyiannya, menghindar dari tempat-tempat yang diterangi lampu dan mengikuti jejak letnan itu. Letnan itu tidak berusaha sedikit pun supaya tidak didengar. Ia harus tetap memainkan peranan sebagai perwira. Jika seandainya ia kebetulan bertemu dengan seseorang, maka orang itu tidak boleh mempunyai persangkaan buruk padanya. Karena itu, maka mudahlah bagi si ahli hukum mengikuti jejaknya. Setelah berjalan beberapa lama, letnan itu membelok, menempuh jalan simpang menuju ke sebuah pondok sepi. "Bagus," kata Notaris perlahan-lahan. "Di pondok itu mereka akan bertemu. Aku mengenal tempat ini lebih baik daripada mereka. Akan kuamati gerak-gerik mereka." Ia tidak mengikuti perwira itu lagi, tetapi menyelinap melalui suatu padang rumput dan tempat yang ditumbuhi semak-semak. Dari tempat ini ia dapat melihat pondok itu dengan nyata. Pondok itu kecil, dindingnya tipis. Bila orang bercakap-cakap di dalam dengan suara yang tidak terlalu lemah, maka akan mudah mendengar dari luar. Ahli hukum itu menyelinap ke balik pondok dan memasang telinga. Benar jugalah! Ia mendengar percakapan. Mula-mula ia mendengar suara Capitano agak keras juga. "Jadi engkau tinggal di puri?" "Benar," jawab suara Letnan yang dikenal dengan baik. "Bagaimana sampai dapat berlaku begitu cepat dan memuaskan?" "Untunglah bagiku-atau bagi Anda barangkali malang, Capitano-saya dapat menyelamatkan Condesa bersama kawannya ketika diserang oleh dua orang perampok." "Kurang ajar! Siapakah kedua orang itu? Masih adakah perampok-perampok lain di sini selain kita? Akan kubereskan mereka semua." "Sayang hal itu sudah tidak perlu lagi. Ada dua sebabnya. Pertama karena saya sendiri telah membereskan mereka dan kedua karena mereka itu bukan perampok lain, melainkan orang-orang kita juga." "Astagfirullah! Siapakah mereka itu?" "Juanito dan Bartolo." "Mana mungkin! Mereka takkan berani menghina Condesa demikian rupa." Hening sejenak, tiba-tiba kepala perampok itu berkata, "Jadi engkau telah membunuh kawan-kawanmu sendiri! Tahukah kamu, hukuman apa yang dapat dikenakan pada pelaku perbuatan demikian?" "Hukuman mati," jawab Mariano tenang. "Tetapi hukuman itu tidak usah saya takuti. Apakah perbuatan mereka menyerang Condesa itu dilakukan atas perintah Anda?" "Tidak." "Nah, kalau begitu saya hanya telah menghukum mereka." "Apakah kau berhak berbuat demikian? Hanya aku sebagai pemimpin boleh menjatuhkan hukuman demikian." "Yang seorang telah menyamar dengan memakai kedok dan yang seorang lagi melumuri mukanya dengan arang." Hening sejenak lagi. Akhirnya letnan itu berdeham memperlihatkan ketidaksabarannya dan berkata dengan suara yakin, "Pendek kata mereka sekali-kali bukan kawan saya. Saya bukanlah anggota gerombolan Anda. Anda telah memelihara dan membesarkan saya. Sebagian besar dari hidup saya, saya lewatkan di kalangan Anda, tetapi Anda lupa menyuruh saya mengucapkan sumpah setia. Maka saya tidak perlu mempertanggungjawabkan perbuatan saya pada Anda." "Oleh karena itu sebaiknya sekarang juga engkau mengucapkan sumpah setia itu." "Saya tidak ingin melakukannya." "Beranikah kau...," Capitano hampir-hampir tidak dapat percaya, menjumpai pertentangan sekeras itu. "Bagus! Itulah terima kasihmu pada segala kebaikan yang telah kau terima dari padaku?" "Jangan sebut-sebut perihal kebaikan Anda itu!" seru letnan itu dengan nada benci. "Apakah seorang anak harus berterima kasih, bila ia diculik dari tangan orangtuanya dan dipelihara di kalangan perampok?" Notaris yang secara sembunyi-sembunyi turut mendengarkan percakapan itu terkejut. "Jadi benar, dialah orangnya! Dan ia mengetahui juga, bahwa ia telah diculik!" Capitano pun terkejut. Bertanya dengan marah, "Diculik dari tangan orangtuanya? Kau bicara tentang siapa?" Mariano menyadari, bahwa sebenarnya kurang bijaksana baginya membiarkan dirinya dikuasai oleh perasaannya. Seharusnya ia lebih berhati-hati dan tidak memperlihatkan, bahwa ia sudah banyak mengetahui tentang riwayat hidupnya itu. Namun kini hal itu sudah terlambat. Ia menjawab, "Tentang diri saya sendiri, bukan tentang orang lain!" "Hm, jadi kau kira engkau telah diculik?" tanya Capitano hati-hati. "Benar! Diculik dan ditukarkan!" "Mungkin saja. Tetapi apa hubungan dengan aku? Aku telah menemukanmu di luar dan sampai sekarang aku tidak mengetahui, siapa yang telah meletakkanmu di situ." "Jangan berbohong, Capitano! Anda sendiri yang telah menculikku!" seru pemuda itu dengan marah. "Aku? Coba buktikan! Aku berani bersumpah bahwa aku tidak mengambilmu dari tangan orangtuamu!" "Ya, Anda dapat saja bersumpah mengenai hal itu, karena orang lainlah yang telah menculikku; tetapi itu dilakukan berdasarkan perintah Anda. Masih ingatkah Anda seseorang yang bernama Tito Sertano? Ia berasal dari Mataro." "Bedebah! Dari siapa kau dengar nama itu?" "Selanjutnya masih ingatkah Anda nama hotel El Hombre Grande di Barcelona? Di situlah terjadi penukaran anak pada tanggal dua Oktober 1830." "Dari siapa kau dengar cerita bohong demikian?" "Itu rahasia saya!" "Kau harus mengatakan kepadaku! Aku telah mengirimmu ke Rodriganda untuk memata-matai Gasparino Cortejo dan kawan-kawan, bukan untuk menentang aku dengan berbagai tuduhan palsu. Ayo katakan, dari siapa kau dengar isapan jempol itu?" "Saya tidak akan menceritakannya!" "Kau harus membuka mulut. Aku dapat memaksamu!" "Benarkah?" "Kau kira engkau dapat meremehkan aku? Akan kubuktikan, bahwa engkau takkan sanggup. Aku perintahkan kamu untuk segera kembali ke gua tempatmu!" Pemuda itu tertawa kecil dan menjawab, "Sayang tidak dapat saya laksanakan perintah itu." "O, jadi kau berani menentangku terang-terangan?" Darah Capitano mendidih. "Berani!" kata Mariano sambil tertawa. "Saya tetap tinggal di sini. Apa yang akan dikatakan Pangeran Rodriganda bila mengetahui, bahwa de Lautreville malam hari telah melarikan diri seperti seorang penjahat? Lagipula saya sudah betah tinggal di Rodriganda dan,"-lalu ditambahkannya keterangan berikut ini-"saya sudah benar-benar merasa sebagai salah seorang anggota keluarga Rodriganda." "Jadi engkau minta dipaksa? Turuti perintahku atau akan kubunuh kamu!" "Dengarkan lebih dahulu pendapatku ini, Capitano! Saya sekali-kali tidak membenci Anda," kata Mariano dengan tenang. "Meskipun Anda telah merampokku dan keluargaku yang asli, namun izin serta bantuan Anda membuatku memperoleh segala yang diperlukan untuk menduduki tempatku yang asli. Karena itu saya tidak ingin membalas dendam. Namun camkanlah ini: kini kita sudah impas! Apa yang sekarang hendak saya lakukan, masih belum saya ketahui, tetapi satu hal sudah pasti, yaitu bahwa saya tidak kembali lagi kepada kalian. Anda tidak dapat memaksa saya. Saya lebih kuat dan lebih tangkas daripada Anda. Muslihat pun tidak akan menolong Anda." "Benarkah demikian?" ejek kepala perampok itu. "Tidak dapatkah aku memberitahu Pangeran Rodriganda bahwa engkau adalah seorang perampok?" "Saya kira itu kurang bijaksana. Tentu saja akan ditanyakan di mana kawan-kawan saya bersarang. Rahasia itu akan terpaksa saya buka." "Bangsat!" seru kepala perampok itu. "Tenang, Capitano, tenang! Selama Anda tidak mengusik saya, saya pun akan menutup mulut. Anda kenal saya dan mengetahui, bahwa janji saya dapat dipercaya. Tetapi saya tidak bersumpah setia kepada Anda dan bila memaksa saya dengan tipu daya atau dengan kekerasan, maka Anda akan menjadi musuh saya. Saya dapat mempertahankan diri saya. Sekian perkataan saya." "Inikah keputusanmu yang terakhir?" "Betul, yang terakhir! Hai Capitano, jangan main-main! Mata saya masih dapat melihat dengan terang. Meskipun gelap, saya dapat melihat dengan jelas, bahwa Anda mencabut pisau. Tetapi Anda tidak melihat, bahwa selama percakapan ini saya memegang pistol di tangan saya yang sudah siap untuk ditembakkan. Sebelum Anda dapat mencapai saya dengan pisau Anda, Anda akan menjadi mayat. Anak kecil itu sudah menjadi dewasa dan ia akan berlaku sebagai orang dewasa pula. Selamat tinggal, Capitano!" Mata-mata yang berdiri di luar pondok mendengar juga pemuda itu pergi. "Mariano!" kepala perampok itu memanggil. Tidak ada jawaban. "Mariano!" sekali lagi terdengar Capitano memanggil. Sekali ini bukan dengan nada perintah, melainkan dengan nada yang mengandung kecemasan. Tidak dijawab juga. Bunyi langkah kakinya makin menghilang. "Astagfirullah! Ia pergi!" kata Capitano perlahan-lahan. "Ia ingin bebas, tetapi jangan harap akan berhasil. Barangsiapa sudah dalam kekuasaanku tidak mungkin lepas lagi. Betapa dungu aku mengirimnya ke Rodriganda! Pasti ada orang yang membukakan matanya. Aku harus mengetahui siapa!" Ia perlahan-lahan meninggalkan pondok dan menghilang ke balik semak-semak di dalam taman. Kini ahli hukum itu dapat meninggalkan tempat persembunyiannya tanpa takut didengar orang. Diam-diam ia kembali ke puri dan mencari kawan wanitanya lagi, yang dengan berdebar-debar sedang menantikannya. Alfonso turut hadir juga. Keduanya sangat terkejut ketika mendengar bahwa letnan itu benar-benar anak yang diculik itu. "Ya Allah, apa yang harus kita lakukan?" tanya Clarissa. "Jadi pemuda itu sudah mengetahui siapakah dia sebenarnya?" "Dari ucapannya dapat kutarik kesimpulan, bahwa ia mengetahui." "Kalau begitu, ibarat kita sedang duduk di atas gunung berapi yang hendak meletus," kata Alfonso dengan nada tegang. "Bangsat itu harus disingkirkan selekas mungkin." "Apa yang kau maksud dengan disingkirkan, Nak?" tanya Notaris. "Dibunuh! Hanya mayat dapat menutup mulut. Perkara ini dapat menimbulkan ekor yang sangat merugikan bagi kita, maka tiadalah baik berhati lemah menghadapi seseorang yang begitu berbahaya. Lagipula bukankah ia seorang perampok? Masyarakat harus berterima kasih kepada kita, bila kita dapat membuatnya tidak berdaya lagi." Clarissa mengangguk saja. Akan tetapi ahli hukum itu berkata setelah berpikir, "Tentu ia harus disingkirkan. Dengan membunuhnya atau dengan cara lain masih belum dapat dipastikan. Itu tergantung kepada pembicaraanku dengan Capitano nanti. Tengah malam akan kudengar apa yang perlu kita takuti dan apa yang tidak." Dengan keputusan ini ibu dan anak harus sudah merasa puas. Menjelang tengah malam Notaris kembali lagi ke taman. Di situ terdapat tempat tersembunyi, tempat ia biasa bertemu dengan Capitano. Ia mendapati kepala perampok itu sedang menantikannya. "Anda telah menyatakan dengan tanda supaya saya datang," kata Cortejo. "Itu sangat sesuai dengan kehendak saya, karena saya tidak perlu susah-susah pergi ke pegunungan lagi. Sedianya saya hendak pergi mengunjungi Anda di tempat Anda." "Hendak membicarakan apa lagi?" tanya pemimpin perampok hati-hati. "Masih perlukah Anda menanyakannya?" tanya Cortejo pura-pura heran. "Bukankah Anda telah menerima tugas dari saya, yang hingga kini masih belum terselesaikan karena Anda tidak mengirim orang-orang yang tangguh melakukan tugas, melainkan serombongan pengecut." "Tuduhan demikian sekali-kali tidak dapat saya benarkan," jawab kepala perampok. "Janganlah main kucing-kucingan, Senor. Baik kita selesaikan perkara ini secepat mungkin. Masih inginkah Anda tugas itu dilaksanakan juga?" "Tentu saja! Bahkan saya ingin secepat mungkin." "Baik, maka dengarlah syarat-syaratnya dahulu." "Syarat-syaratnya? Bukankah pada pertemuan kita terakhir kali sudah lengkap dibicarakan syarat-syarat itu?" "Memang, tetapi sejak itu keadaan sudah berubah. Saya sudah mencari keterangan tentang apa yang telah terjadi. Anda telah berpesan berkali-kali, supaya dokter itu dibunuh dengan pisau saja." Notaris bimbang sejenak dan menjawab, "Tidak. Itu siasat Bartolo sendiri!" "Jangan bohong!" kata kepala perampok itu dengan marah. "Anda ingin menghindarkan bunyi tembakan lalu melarang orang-orang itu menembak. Benar tidak?" "Tidak benar." "Saya tidak begitu saja menuduh. Sebelum saya mengatakan sesuatu telah saya kaji lebih dahulu kebenarannya. Bartolo dan Juanito telah tewas pada ketika lain. Apa gerangan yang telah mendorong mereka menyerang Condesa, masih merupakan teka-teki bagi saya. Namun saya percaya, bahwa Anda tidak ada sangkut-pautnya dengan kejadian itu. Tetapi saya anggap Anda bertanggung jawab penuh pada kematian orang lain, yang mayatnya tergolek di taman ini dan yang kemudian diangkut oleh polisi itu. Untuk kesalahan itu Anda harus menambah bayaran Anda dengan dua ratus uang duro. Baru setelah syarat itu dipenuhi kita dapat melanjutkan pembicaraan kita." "Permintaan Anda tidak mungkin dikabulkan." "Apa? Tidak mungkin? Saya anggap sangat mungkin! Ketahui, saya telah bersumpah, bahwa saya tidak akan melepaskan tuntutan itu." Notaris tampak berpikir sejenak. Akhirnya ia berkata dengan perlahan-lahan serta minta perhatian. "Mungkin saya dapat memenuhi keinginan Anda, bila Anda bersedia mengabulkan permintaan saya. Di samping dokter itu masih ada seorang lagi yang merintangi jalan saya." "Jadi ia harus disingkirkan pula? Siapakah orang itu?" "Seorang perwira." "Caramba, ini menjadi sangat menarik! Ia tinggal di tangsi mana?" "Ia tidak tinggal di salah satu tangsi. Ia sedang dalam cuti. Lagipula ia bukanlah orang Spanyol melainkan orang Perancis." "Di mana dapat saya menemukannya?" "Di sini di Rodriganda." "Siapa namanya?" "Alfred de Lautreville." "Alfred de-hm!" geram kepala perampok itu. "Belum pernah mendengar namanya." "O, tentu, tentu," sindir Notaris. "Lagipula meskipun orang itu tiada Anda kenal, namun Anda masih harus mengadakan perhitungan dengan dia. Orang itu jugalah yang telah membunuh Bartolo dan Juanito, kedua orang Anda itu. Anda ingin membiarkan begitu saja?" "Membiarkan begitu saja? Tentu saja tidak," kata Capitano ragu-ragu. "Akan tetapi apa hubungan dengan Anda?" "Sudah saya katakan tadi, ia merintangi jalan saya. Maukah Anda menerima tugas ini? Bila Anda tidak mau, terpaksa saya akan mencari orang lain yang dapat melayani lebih baik daripada Anda." "Janganlah mengharap pekerjaan demikian akan selamat. Saya tidak akan membiarkan orang lain menyaingi usaha saya. Lagipula orang Perancis ini sudah menjadi perhitungan saya, karena ia telah membunuh dua orang saya. Barangsiapa berani menentang saya akan berurusan dengan saya. Camkanlah hal itu!" "Tenang saja! Apakah hal itu berarti bahwa orang itu di bawah naungan Anda?" "Tidak," jawab kepala perampok, "sebaliknya hal itu berarti, bahwa ia menunggu pembalasan saya. Ia tidak akan luput dari pembalasan itu. Ia harus disingkirkan!" "Apakah hal itu berarti dengan kata lain, bahwa ia harus dibunuh?" "Dibunuh? Siapa yang mengatakan harus dibunuh. Saya mempunyai rencana lain dengannya, tetapi saya dapat menjamin Anda, bahwa ia tidak akan menyusahkan Anda lagi." Kini Notaris merasa puas. Ia sudah mengetahui, apa yang perlu diketahuinya. Tetapi ia menjaga, janganlah kentara, bahwa ia sudah mengetahui segala rahasia Capitano, lalu ia menjawab, "Baik, saya percaya kepada Anda, Capitano. Saya akan membayar juga dua ratus duro sebagai ganti rugi untuk orang Anda yang mati, tetapi sebagai imbalan saya ingin supaya dokter itu mati dan orang Perancis itu disingkirkan." "Permintaan Anda dapat saya kabulkan, asal Anda mau membayar untuk dokter itu jumlah uang yang lima ratus duro yang masih tersisa serta lima ratus lagi untuk orang Perancis itu." "Baik, Anda akan mendapat uang itu setelah pekerjaan itu Anda selesai!" "Saya perlu uang sekarang juga. Anda harus membayar separuhnya!" "Saya tidak membawa uang. Kerjakan saja tugas Anda dengan baik, uangnya tentu akan beres! Bila Anda tidak setuju dengan itu, saya terpaksa akan membatalkan perjanjian itu." "Baik, saya terima syarat-syarat Anda," kata kepala perampok itu ragu-ragu. "Tetapi jangan Anda kira, dapat menipu saya satu duro pun! Bilamana harus dilakukan?" "Selekas mungkin. Harinya masih belum dapat ditentukan. Masih adakah sesuatu yang perlu Anda bicarakan? Tidak? Maka kini pembicaraan kita sudah selesai. Selamat malam, Senor!" "Selamat malam!" Perampok itu pergi dan Notaris berjalan perlahan-lahan kembali ke puri. "Hahaha!" tawanya pada diri sendiri. "Kaukira dapat menipuku, Kawan. Kau harus lebih cerdik lagi untuk itu. Aku akan mendahuluimu dan mengatur siasat sendiri." Keesokan pagi masuklah Elvira ke dalam kamar Sternau untuk mengantar kopi. "Terima kasih, Senora," katanya. "Buatkan saya susu segelas saja, saya masih belum ingin minum kopi." "Tidak ingin minum kopi," tanya wanita itu sambil merasa heran. "Apakah Anda barangkali sakit?" "Bukan begitu. Saya harus mengerjakan sesuatu yang membutuhkan ketenangan seluruh syaraf saya dan seperti Anda ketahui, kopi itu dapat merangsang darah." "Pekerjaan itu tentu sangat penting!" "Memang demikian. Berdoalah kepada Tuhan, supaya pekerjaan saya dapat berhasil dengan baik, Senora! Saya hendak melakukan pembedahan pada mata Pangeran Manuel yang kita kasihi itu." Elvira terkejut mendengar itu, hingga talam di dalam tangannya terjatuh ke lantai. "Pembedahan matanya!" seru wanita itu. "Masya Allah! Sungguh benarkah itu?" "Benar. Selanjutnya saya minta, supaya diusahakan suasana hening dan sepi di seluruh puri sedapat mungkin. Jendela-jendela di kamar sakit harus segera ditutup setelah selesai diadakan pembedahan. Bila perlu Anda dapat minta bantuan Condesa, menyediakan barang-barang yang diperlukan! Kini saya ingin mendapat susu saya!" "Baik, baik, Tuan, segera akan Anda dapat. Apa yang akan dikatakan oleh Alimpoku, bila ia mendengar tentang pembedahan itu. Saya sudah pergi, sudah berlari, sudah terbang! Semoga Tuhan memberkati pekerjaan Anda!" Elvira membiarkan sementara pecahan cangkir berserakan di lantai dan bergegas ke luar dari kamar. Gerak yang dinamakannya "terbang" itu sesungguhnya lebih menyerupai "berguling-guling". Ketika dokter masuk ruang tamu, ia dihujani berbagai pertanyaan oleh mereka yang hadir. "Benarkah Pangeran hari ini akan mengalami pembedahan?" tanya Clarissa. "Benar." Lalu Alfonso berdiri di hadapan Sternau dan berkata dengan wajah muram dan nada keras. "Lakukan lebih dahulu dengan pertimbangan yang masak. Apakah Anda sungguh yakin bahwa pembedahan akan berhasil?" "Bukan seratus persen pasti, namun ada harapan besar." "Anda hanya berharap saja! Jadi berdasar pengharapan yang samar-samar Anda sudah berani melakukan pekerjaan berbahaya seperti itu. Dapatkah Anda mempertanggungjawabkan kepada Tuhan dan hati nurani Anda?" "Dapat," jawabnya dengan sungguh-sungguh dan yakin. "Kalau begitu, saya sebagai putra pasien menuntut supaya Anda dibantu oleh beberapa dokter ahli bedah kenamaan." "Saya sekali-kali tidak berminat untuk mengulangi pengalaman pahit masa lalu, untunglah tidak berakhir dengan bencana. Lagipula saya harus menjunjung tinggi keinginan Pangeran, yang tidak menghendaki campur tangan dalam hal ini." "Siapakah yang sebenarnya berkuasa di sini?" tukas Alfonso. "Bukankah kedudukan saya jauh lebih tinggi daripada kalian semua?" "Saya pun sebagai wakil Pangeran tidak dapat dikesampingkan begitu saja!" sambung Cortejo. Sternau menjawab dengan nada pasti. "Saya ingin memperingatkan Tuan-Tuan, bahwa hanyalah seorang dokter boleh memerintah dalam hal ini! Pembedahan akan dikerjakan sepuluh menit kemudian. Segala sesuatu sudah dipersiapkan dan saya harus melarang tiap pekerjaan yang dapat menimbulkan gangguan." "Baik kita tunggu kesudahannya!" seru Alfonso. "Benar, kita tunggu kesudahannya!" jawabnya. "Saya harus memperingatkan Anda, bahwa gangguan yang sekecil apa pun pada Pangeran akan berakibat buruk bagi beliau dan Anda harus memikul tanggung jawab sepenuhnya, bila sampai terjadi sesuatu!" "Kita akan menghadiri pembedahan!" kata Alfonso. "Memang saya akan memerlukan beberapa tenaga pembantu. Saya mendapat kesan, bahwa di antara hadirin terdapat beberapa orang yang tidak suka melihat Pangeran sembuh, maka saya perlu mengambil tindakan-tindakan berkenaan dengan hal itu. Condesa Roseta, maukah Anda menyumbangkan tenaga Anda dalam pembedahan ini?" "Saya rela mengabdikan segenap tenaga saya untuk pekerjaan yang mulia ini," kata gadis itu. "Pekerjaan tidak akan mengatasi tenaga Anda. Yang dibutuhkan adalah tenaga wanita. Barangkali Lady Amy pun suka memberikan tenaganya?" "Terima kasih atas kepercayaan Anda!" jawab gadis Inggris itu. "Dan bagaimana dengan saya?" tanya Clarissa. "Anda tidak usah bersusah-susah, Senora!" kata Sternau dengan nada dingin. "Syaraf Anda kurang sesuai dengan pekerjaan ini. Melihat luka kecil pun Anda sudah hampir jatuh pingsan, sehingga saya terpaksa menyangga Anda. Apalagi bila Anda harus menghadapi pembedahan seperti ini." "Namun saya harus diizinkan hadir!" kata Alfonso. "Dan saya harus menolaknya pula. Saya tidak memerlukan penonton. Hanya seorang pria ingin saya minta bantuannya. Senor de Lautreville, relakah Anda turut menyumbangkan tenaga Anda?" "Saya suka memberi bantuan demikian," jawab Mariano. "Saya ingin mohon sesuatu dan saya yakin Anda suka mengabulkannya. Anda mengetahui letak jendela-jendela yang terdapat pada kamar Pangeran." "Ya, saya mengetahui." "Saya minta supaya Anda selama pembedahan, terus-menerus berjalan-jalan di bawah jendela-jendela itu. Kehadiran Anda di situ akan menjadi jaminan bagi saya, bahwa tidak akan terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki dari pihak sana." Letnan memandang dengan penuh pengertian lalu berkata, "Saya dapat menduga apa yang Anda maksud dan dengan segala suka hati saya akan menyumbangkan tenaga saya. Pekerjaan memulihkan kembali penglihatan Pangeran adalah sesuatu yang sangat mulia dan saya menganggap sebagai suatu kehormatan turut mengambil bagian dalam membuat pekerjaan itu berhasil." "Apa? Kehormatan?" tanya Alfonso mengejek. "Bukankah lebih baik disebut penghinaan, bila diperkuda oleh seorang dokter?" Mariano menghampirinya dengan dua langkah dan berkata, "Tarik kembali perkataan Anda!" "Tidak!" jawabnya dengan marah. "Bahkan saya ingin mengulanginya!" "Baik, kalau begitu biar senjata saja yang akan berbicara, seperti lazimnya dilakukan oleh pasukan kavaleri!" "Haha! Anda? Pasukan kavaleri?" seru Alfonso. "Bukankah Anda hanya..." Don Alfonso palsu itu tidak dapat melanjutkan perkataannya, karena tiba-tiba Gasparino Cortejo mendekati dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Diam, Pangeran!" demikian diperingatkannya. "Sekarang masih belum waktunya dan bukan tempatnya untuk mengadakan pembicaraan semacam itu." "Itu pun pendapat saya," kata Dokter. "Tetapi bila memerlukan seorang pendamping dalam duel, Senor de Lautreville, bolehlah Anda mengambil saya. Kini saya minta Anda dan kedua wanita itu mengikuti saya." Kedua gadis itu begitu terkejut, sehingga mereka mengikuti tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Letnan pun pergi tanpa menoleh kepada orang-orang yang ditinggalkan. Orang-orang itu menunggu dengan sabar sampai bunyi-bunyi langkah ketiga orang itu menghilang. Kemudian Notaris berkata, "Ceroboh benar kamu. Hampir-hampir kamu membuka rahasia kita!" "Apa ruginya?" geram Alfonso. "Alangkah lucu melihat wajah-wajah mereka, bila mereka mendengar bahwa ia sebenarnya seorang perampok!" "Dan lebih lucu lagi, bila mereka mendengar bahwa ia sebenarnya harus menduduki tempatmu. Ia bukan hanya menduga ini, melainkan sudah mengetahui dengan pasti dan tampak ia masih hanya ingin menyelidiki asal-usul keturunanmu. Saya akan berusaha, supaya ia tidak dapat menyusahkan kita lagi." "Dan dokter ini!" seru Clarissa dengan berang. "Sikapnya seolah-olah tuan rumah sendiri di sini." "Sikapnya ketika ia menyatakan dengan sombong bahwa ia tidak boleh diganggu itu?" geram Notaris. "Namun penyembuhan Pangeran harus dicegah sedapat mungkin. Kita harus mengusahakan ketegangan yang cukup besar untuk dapat mengimbangi hasil pembedahan itu." Sedang di ruang tamu diucapkan kata-kata yang bernada bermusuhan, maka Dokter pergi bersama dua orang wanita itu memasuki kamar Pangeran. Ia menempatkan dua orang penjaga di hadapan pintu ruang muka lalu mengunci pintu itu. Pangeran sudah menanti dan membalas salamnya dengan ramah. "Anda membawa siapa, Senor?" tanya Don Manuel ketika ia mendengar langkah-langkah ringan dari dua orang wanita itu. "Condesa Roseta serta Lady Amy. Saya lebih percaya kepada mereka daripada orang lain." "Terima kasih, Dokter! Anda telah mendahulukan keinginan hati saya. Di mana putra saya?" "Ia sedang di ruang tamu dan minta dimaafkan, saya terpaksa minta, supaya jangan hadir di sini." "Apakah dua orang wanita itu akan cukup tabah, Senor?" "Saya kira demikian. Dua wanita itu hanya saya minta membantu saya dengan menyerahkan beberapa alat kepada saya. Bolehkah sekarang saya tanyakan, bagaimana keadaan jiwa Pangeran sekarang?" Pada wajah Pangeran tampak senyum cerah penuh kepercayaan dan ia menjawab, sambil melipat tangannya. "Saya telah berembuk dengan diri saya sendiri dan dengan Tuhan dan saya dapat menyerahkan nasib saya tanpa waswas ke dalam tangan Anda. Keadaan tidur dapat menguasai tubuh kita, namun roh kita mengembara terus mengalami berbagai pengalaman, yang telah kita rasakan dan pikirkan dalam keadaan jaga. Saya telah bermimpi, bahwa Anda membuka mata saya. Saya dapat melihat dunia Tuhan yang indah, saya lihat wajah putri saya yang cantik dan saya lihat juga Anda serta Letnan-namun," demikian ditambahkannya dengan rasa kecewa, "saya tidak melihat putra saya. Sebaliknya saya melihat orang asing, yang wajah maupun bahasanya tidak saya pahami. Apa yang Anda bawa? Saya mendengar bunyi gemerincing." "Itu adalah perkakas kedokteran saya." "Perkakas kedokteran itu tidak menimbulkan rasa takut pada saya. Itu hanya merupakan alat-alat pembantu akal maupun ketangkasan Anda dan mendapat kepercayaan penuh dari saya. Bilamana dapat kita mulai?" "Sekarang juga." Sternau membetulkan letak tempat tidur Pangeran, menyiapkan perkakasnya dan menerangkan kepada dua orang wanita itu, apa yang diperlukan dari padanya. Setelah diyakininya bahwa tidak ada sesuatu yang dilupakan maka ia berdiri di muka jendela. Roseta memeluk ayahnya dengan mesra dan berbisik kepadanya sambil mencucurkan air mata. "Ayah, ia sedang berdoa." "Itu sudah kuduga," jawab ayahnya dengan lemah lembut. Kecuali tiga orang yang bersekongkol itu tidak ada orang lagi di dalam puri yang tidak ingin memanjatkan doa ke hadirat Tuhan untuk mohon agar pekerjaan dokter itu berhasil dengan selamat. Letnan yang berjalan hilir-mudik di bawah jendela-jendela itu pun turut melipat tangannya. "Ya Tuhan," bisiknya dengan segenap hatinya, "limpahkanlah karunia-Mu! Berilah kepada si sakit penglihatan kembali dan saya akan senantiasa memuji nama-Mu. Amin!" Setengah jam telah berlalu sejak Mariano mulai berjaga-jaga, ketika Pangeran Muda meninggalkan ruang tamu. Ia memakai perlengkapan pemburu dan membawa dua ekor anjing terikat pada tali. Para abdi hanya menggeleng-geleng kepalanya saja melihat tuannya tega pergi berburu, sedang nasib ayahnya dalam keadaan gawat. Ketika ia berjalan melewati sang letnan, dilihatnya di pucuk pohon seekor burung gagak. Cepat-cepat diambil senapannya yang berlaras dua lalu dipasangnya. "Sasaran yang bagus sekali! Awasi burung itu, Pluto, Pollux! Tangkap!" Ia hendak memetik picu, namun tak sampai. "Bangsat!" terdengar suara dekat telinganya. Lalu ia tidak mendengar apa-apa lagi. Kepalanya terasa pusing, telinganya mengiang. Mariano telah melompat ke arahnya, memegang kerongkongannya dan dengan tangan yang sebelah lagi merampas senapannya. Ditinjunya sekali, lalu bedebah itu rebah ke atas tanah tanpa mengeluarkan suara. Beberapa orang abdi telah menyaksikannya, di antaranya penjaga puri. "Ya Allah! Ia bermaksud hendak menembak!" keluh Alimpo yang baik hati itu. "Ia ingin mengejutkan Senor Dokter! Elviraku telah mengatakan juga. Harus kita apakan dia?" "Tidak usah," jawab Letnan. "Bila Anda berani mengapa-apakannya, ia akan membalas dendam kepada Anda!" "Jadi ia masih belum mati?" "Tidak. Ia hanya belum dapat bernapas." "Saya kira ia sudah mati. Sayang benar, bila ia-mati!" Jelas sekali bahwa yang dimaksud penjaga puri itu justru kebalikan dari yang telah diucapkannya. "Anda tidak usah menghiraukan dia! Saya akan mengamankannya." Letnan itu mengangkat tubuh Alfonso, membawa masuk ke dalam puri, menuruni salah satu tangga, menaruh tubuh itu ke dalam ruang di bawah tanah, mengunci erat-erat, mengambil anak kuncinya, lalu kembali lagi ke pos jaganya. Hanya beberapa saat kemudian, Condesa memanggil istri penjaga puri masuk ke dalam kamar Pangeran. Ketika wanita itu masuk kamar dengan langkah-langkah yang tiada berbunyi, Pangeran sedang duduk di atas kursi besar dan Dokter sedang mengenakan pembalut. "Kini tutuplah semua kain gorden!" kata Sternau. "Tadi saya memerlukan cahaya matahari. Kini semua harus diusahakan gelap. Tetapi jangan membuat gaduh!" Di dalam kamar masih tercium bau khas dari chloroform. Wajah Pangeran, sepanjang masih dapat dilihat, pucat pasi. Suaranya kedengaran parau namun tetap, ketika ia bertanya, "Dokter-berhasilkah-Anda? Bolehkah saya menaruh harapan?" "Hm, boleh." "Sedikit saja?" "Itu semata-mata tergantung pada Anda sendiri, apakah tidak ada, ada sedikit, ataupun banyak harapan. Saya mohon supaya Anda tetap tenang, Don Manuel. Esok hari Anda boleh mendengar lebih banyak lagi." Pangeran menarik napas panjang. Tetapi Roseta memegang tangan Dokter dan berbisik tanpa terdengar ayahnya. "Saya minta Anda berterus terang saja kepada saya!" Dokter melihat dengan bangga dan gembira. Hatinya seolah-olah menjadi lega, ketika ia menjawab dengan berbisik juga. "Pekerjaan itu berhasil!" "Jadi Ayah dapat melihat lagi?" "Benar! Sst! Diam! Kegembiraan hati dapat membahayakan kesehatannya seperti juga perasaan tegang lainnya." Maka Roseta tidak sanggup menguasai perasaan lagi. Sungguhpun dapat disaksikan oleh kawan wanitanya dan oleh istri penjaga puri, dipeluknya Dokter Sternau serta diciumnya. Elvira ketika menyaksikan peristiwa itu, hampir-hampir terpekik karena terkejut. Untunglah ia masih berhasil menguasai dirinya dan ia menghibur hati dengan pendapat, "Aku harus menceritakan kejadian ini kepada Alimpoku. Masya Allah, berita itu akan mengejutkan dan menggembirakannya!" Lady Amy pun terkejut. Beberapa saat kemudian Dokter pergi untuk menggantikan Letnan berjaga. "Sudah selesai, Senor?" tanya Mariano, ketika dilihatnya Sternau. "Dan bagaimanakah hasilnya-tetapi sebenarnya saya tidak usah bertanya lagi. Saya dapat menyaksikannya pada wajah Anda yang gembira." "Pembedahan berhasil lebih baik daripada harapan saya. Tetapi ini tidak boleh diberitakan kepada si sakit. Bedil apakah itu?" "Bedil kepunyaan Alfonso. Saya telah mengamankannya," kata Mariano dengan wajah muram. "Diamankan? Mengapa?" Letnan menceritakan peristiwa yang telah terjadi. Dokter mendengar dengan hati makin panas. "Orang macam apa dia!" serunya. "Alangkah busuk hatinya! Itu tidak mungkin dilakukan tanpa sengaja. Dan ia menamakan diri pangeran!" Mariano sebenarnya ingin sekali memberi komentar mengenai hal ini. Akan tetapi ia menahan diri dan tidak mengatakan apa-apa. Dokter melanjutkan perkataannya, "Anda mempunyai rencana apa dengan dia?" "Baik saya serahkan hal itu kepada kebijaksanaan Anda saja, Senor. Anda tentu lebih mengetahui, ia berbahaya atau tidak." "Andaikata ia dapat melepaskan tembakan tadi, besar sekali kemungkinan Pangeran akan sadar dari pembiusan dan dengan demikian dapat membahayakan pembedahan itu. Tetapi sekarang hm, bawalah saya kepadanya! Saya ingin berbicara dengannya." Mereka pergi ke ruang di bawah tanah dan Letnan membuka pintu. Alfonso telah mendengar mereka datang dan berdiri di belakang pintu. Ia langsung menerkam Mariano, kalau ia tidak dihalangi oleh Sternau yang memegang kedua belah tangannya erat-erat. "Perampok! Bangsat!" serunya sambil mengertakkan gigi. "Maki-makilah sesuka hatimu!" kata Sternau. "Perkataan Anda sekali-kali tidak akan mengenai kami. Kami akan membebaskan Anda kembali. Tetapi sebelumnya, dengar lebih dahulu petuah saya." "Enyahlah, kamu sekalian, bangsat! Atau saya perintahkan mengeluarkan kamu!" "Sabar dahulu! Saya tidak akan melepaskan Anda, sebelum Anda mendengarkan perkataan saya." "Bicaralah, cepat!" hardik Alfonso. "Yang hendak saya katakan ialah, bahwa kelakuan Anda sangat mencurigakan. Meskipun saya tidak mengerti apa yang menjadi sebab, saya ingin supaya Anda jangan mengunjungi ayah Anda sebelum mendapat izin dari saya. Pendeknya bila terjadi sesuatu dengan ayah Anda karena perbuatan Anda, akan saya paparkan hal itu di surat kabar, lalu saya akan menyerahkan Anda kepada pengadilan." "Lakukanlah, ya, lakukanlah!" seru penipu itu berkeras kepala. "Maka akan saya perintahkan mendera kalian berdua dengan cemeti!" Kini sang letnan tidak dapat menahan diri lagi. Ia sebenarnya ingin menyimpan rahasia itu baik-baik, namun kini ia tidak dapat menguasai diri lagi. Diletakkan tinjunya ke atas bahu Alfonso lalu ia berkata, "Sekali lagi berani kau keluarkan ancaman seperti tadi, kau akan rebah oleh tinjuku! Kau kira, kau sendiri tidak perlu takut kepada pengadilan, engkau bersama orangtuamu yang bagus itu? Perwira pengadilan akan menentukan, engkau benar-benar keturunan Pangeran Rodriganda y Sevilla atau bukan! Sekarang pergilah!" Ditinjunya Alfonso kuat-kuat, sehingga orang itu terlepas dari tangan Dokter dan terempas pada dinding. Ia jatuh terguling, tetapi lekas-lekas berdiri dan lari menaiki tangga. "Apa yang Anda katakan?" tanya Dokter. "Jadi orang itu bukan putra Pangeran Manuel?" Kini anak muda itu sadar, bahwa ia telah membuat kekeliruan besar. Ditekankannya tangannya kepada dahinya yang panas membara lalu ia bertanya, "Dapatkah Anda menyimpan rahasia, Senor?" "Dapat," kata Sternau. "Anda berkenan di hati saya. Maukah Anda menjadi sahabat saya?" "Dengan senang hati! Ini, terimalah tanganku!" "Maka penuhilah keinginan saya!" pinta Mariano sambil menjabat tangan Dokter. "Simpanlah segala yang akan Anda dengar ke dalam hati Anda!" "Baik, akan saya pegang teguh rahasia itu, namun, meskipun ingin sekali saya mendengarnya dari Anda, kini timbul persoalan lain yang lebih mendesak. Saya harus segera pergi ke Pangeran, supaya jangan sampai kedahuluan Alfonso. Kemungkinan ia pergi ke Pangeran untuk menggagalkan segala pekerjaan saya." Untunglah bagi Sternau, Alfonso tidak menempuh jalan itu. Ia segera pergi ke Senora Clarissa. "Ibu," keluhnya ketika ia masuk, "suruh Ayah datang segera! Suatu bencana telah terjadi. Mati kita! Benar-benar mati! Tidak ada abdi di depan. Aku akan memanggil Ayah sendiri." Alfonso bergegas ke luar dan tidak lama kemudian kembali lagi dengan ayahnya. Alfonso menceritakan apa yang telah terjadi. Kedua orangtuanya sampai terkejut. "Apa yang harus kulakukan? Katakanlah!" seru Alfonso dengan gugup. Notaris bangkit dan berkata dengan nada keras. "Menutup mulut! Kau harus pandai menutup mulut! Kau telah berbuat suatu kebodohan besar. Siapa yang menyuruh menembak di bawah jendela Pangeran. Kau telah membahayakan dirimu sendiri, orangtuamu, dan seluruh rencana kita. Satu-satunya jalan pemecahan ialah, aku harus segera pergi ke Barcelona, ke Nakhoda Landola. Tadi aku terima sepucuk surat telegram, yang menyatakan bahwa ia berhalangan datang karena harus hadir di kapal ketika kapal itu memuat dan membongkar barang. Mualim yang seharusnya melakukan pekerjaan itu sedang sakit." "Bilamana kau hendak pergi?" tanya Clarissa. "Setengah jam lagi. Tetapi aku ingin ditaati, Alfonso. Bila sekali lagi engkau melakukan suatu kebodohan, aku takkan dapat menolongmu lagi. Camkanlah itu!" Itu sekali-kali tidak diduga Alfonso. Belum pernah ia ditegur secara demikian oleh ayahnya. Ia meninggalkan kamar tanpa berani mengucapkan sepatah kata pun. Tiga hari kemudian pagi-pagi sekali Sternau berjalan-jalan dengan Letnan di dalam taman. Selama beberapa hari ini ia tidak pernah meninggalkan Pangeran. Baru sekali ini ia keluar menghirup hawa sejuk. Mereka menjumpai dekat rumpun bunga, istri penjaga puri sedang memetik bunga dan mengumpulkan di pangkuannya. "Selamat pagi, Tuan-Tuan!" seru wanita itu dari jauh. "Anda melihat bunga mawar yang indah-indah ini? Hari ini harus dipetik bunga-bunga yang terindah, itu pun dikatakan oleh Alimpoku." "Ada apa hari ini?" tanya Sternau. "Apa? Anda tidak mengetahui?" tanya wanita itu terheran-heran. "Bukankah hari ini Condesa kami yang tercinta merayakan ulang tahunnya?" "Benarkah? Kalau begitu, kita harus segera mengucapkan selamat kepadanya." "Benar! Condesa sudah bangun. Pangeran pun sudah bangun dan menyuruh saya pergi ke taman. Ia ingin menghadiahkan bunga-bungaan itu kepada Condesa di kamarnya." "Saya tidak mendengar dari Pangeran tentang hal itu," kata Dokter. "Mungkin beliau ingin merahasiakan dahulu. Barang-barang bingkisan sudah diterima kemarin. Pergilah ke atas, Senor, Anda dapat membantu merangkai bunga!" Lima menit kemudian Sternau sudah di kamar Pangeran dan membantu istri penjaga puri mengatur bingkisan-bingkisan yang indah itu. Kemudian Elvira memanggil Roseta. Sternau hendak meninggalkan kamar, tetapi Pangeran menahannya. "Jangan pergi, Dokter!" pintanya. "Kehadiran Anda menambah kesukaan hati saya." Condesa datang. Ia berbaju putih sederhana. Ia menjabat tangan kedua orang itu, menyatakan kegembiraannya seperti anak kecil melihat karangan bunga yang indah itu, lalu menyatakan terima kasih kepada ayahnya dengan memeluknya. "Kata Elvira, Anda pun telah membantu mengubah bunga. Terima kasih," katanya kepada Sternau. Sternau menyambut tangan Roseta yang sekali lagi diulurkan kepadanya dan menciumnya lalu menjawab, "Apa yang saya perbuat tidak ada artinya, tetapi bila Anda mengizinkan, saya akan memberanikan diri mempersembahkan bingkisan yang jauh lebih berharga. Bolehkah?" Wajah gadis itu menjadi merah, tetapi ia berkata, "Dari tangan Anda setiap bingkisan, yang sekecil-kecilnya pun, penuh mengandung arti bagi saya." "Kita akan mengusahakannya. Semoga diberkahi oleh Tuhan!" Sternau menghampiri Pangeran. "Silakan memutar badan Anda, Yang Mulia!" Ia mohon dengan rasa tegang. Perlahan-lahan dan hati-hati dilepaskannya pembalut dari mata Pangeran Manuel. "Dapatkah Anda melihat putri Anda?" Pertanyaan itu diucapkan dengan nada sungguh-sungguh, sehingga Pangeran masih tetap menutup mata setelah pembalut dilepaskan. Ia berdiri dekat meja yang penuh dengan bunga-bunga itu, tempat ia menyandarkan tangan dan ia tidak menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Tetapi akhirnya ia dapat menguasai dirinya dan berbisik, "Betapa agung hari ini! Betapa suci saat ini! O Tuhan, berilah supaya usaha ini berhasil!" Sambil gemetar di seluruh tubuhnya, perlahan-lahan ia membuka mata. Sternau sedang membelakangi Pangeran sehingga tidak dapat melihat mukanya, tetapi ia melihat Pangeran mengangkat tangannya, membuat dua langkah ke depan dan menghampiri putrinya. Kemudian ia mendengar berseru dengan gembira sekali. "Astagfirullah! Benarkah ini? Bukankah hanya mimpi? Aku dapat melihat! Senor Dokter, sungguhkah itu?" "Ayah melihat aku! Itu dapat kulihat pada mata Ayah!" sorak Roseta. Dipeluknya Pangeran. Pangeran begitu terpengaruh oleh perasaannya, sehingga ia rebah ke atas divan dan menutup matanya. "Ya Tuhan," keluh Roseta. "Ayah jatuh pingsan. Itu akan berakibat buruk pada matanya." "Jangan khawatir, Condesa!" kata Sternau, menghibur hatinya. "Pangeran hanya merasa bingung, tetapi tidak pingsan. Matanya sudah sembuh dan tentu akan dapat bertahan pada kegembiraan ini." "Benarlah, mataku dapat bertahan!" bisik Pangeran dengan senyum bahagia. "Aku dapat merasakannya. Bolehkah aku membukanya?" Sekali lagi Pangeran membuka matanya perlahan-lahan. Roseta bersorak dan menangis bergantian dan menyerahkan diri tanpa sengaja ke dalam pelukan Sternau; cepat-cepat ia kembali lagi ke ayahnya serta memeluknya sekali lagi. Pangeran tidak dapat melepaskan pandangan pada putrinya. Ia memeluk putrinya erat-erat, membelai dan memanggilnya dengan berbagai nama kesayangan. Akhirnya ia berseru, setelah menyadari kembali kewajibannya. "Maaf Senor, aku telah melupakan Anda! Ke marilah, supaya aku dapat melihat jelas orang yang telah menyembuhkan penyakitku itu!" Sternau menghampiri Pangeran dan berjabatan tangan dengannya. Pangeran memandangnya lama tanpa berkata-kata. "Sama benar dengan yang selalu kubayangkan tentang Anda," katanya. "Senor, aku tidak dapat menyatakan terima kasihku, tetapi selama hidupku, aku adalah milik Anda!" Dengan mengucapkan perkataan itu ditariknya Sternau ke arahnya dan diciumnya, seolah-olah ia berhadapan dengan putranya sendiri. "Sekarang aku ingin melihat yang lain," pintanya. "Don Manuel, biarlah cukup pengalaman Anda untuk hari ini," jawab Dokter. "Anda harus beristirahat dahulu sampai petang hari. Istirahat itu perlu bagi Anda." "Putraku pun masih belum boleh kulihat?" "Lebih baik jangan dahulu," kata Sternau yang tiba-tiba mendapat akal yang baik. "Condesa Roseta akan tetap mendampingi Anda, yang lain akan Anda lihat waktu senja, bila cahaya matahari sudah kehilangan tenaga. Saya mohon kepada Anda, turutilah keinginan saya sekali ini saja!" "Baik, kuturuti keinginan Anda," kata Pangeran. "Tetapi aku tidak ingin bergembira seorang diri saja. Roseta, usahakanlah supaya seluruh Rodriganda bergembira. Kita harus merayakan pesta, pesta besar, dan barangsiapa mempunyai suatu keinginan, harus menyampaikannya kepadamu, jangan kepada Senor Gasparino atau Alfonso, melainkan kepada kamu saja. Bila mungkin, keinginan itu akan kukabulkan. Semua orangku hari ini harus menerima gaji tambahan satu bulan. Selanjutnya aku harus memberi-harus memberi... Senor, apakah Anda mempunyai sanak saudara?" "Seorang ibu dan seorang kakak," bunyi jawabnya. "Di Jerman?" "Benar, di Mainz." "Sudah dapatkah aku membaca?" "Dapat, tetapi sebaiknya j angan dahulu." "Hanya beberapa patah kata saja." "Itu saya izinkan." "Atau menulis? Hanya beberapa baris saja, tidak lebih daripada itu." "Begitu mendesak hal itu?" "Memang." "Kalau begitu, bolehlah, tetapi jangan menghadap ke jendela ketika menulis." Pangeran pergi ke meja tulisnya. Ia mengeluarkan sehelai surat cek blanko dan mengisinya. Kemudian dilipatnya surat itu dan diserahkannya kepada putrinya. "Inilah, Roseta, anakku," katanya, "mintalah kepada Dokter untuk menerima perkataan ini sebagai kenangan kepada hari ini. Pemberian ini bukanlah dari padaku, melainkan dari pada kamu, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk ibu dan kakaknya! Jasa-jasanya tidak dapat ditukar dengan pemberian apa pun, namun kepada ibu dan kakaknya kita boleh menyatakan perasaan kita, bahwa kita sangat menyayanginya." Roseta mengambil surat itu dan memberikan kepada Sternau, namun Sternau mengangkat tangannya untuk menyatakan menolak. "Itu sudah saya duga," kata putri itu sambil menjadi merah mukanya, "tetapi janganlah salah mengerti: Anda tidak diberi sesuatu. Anda tidak berhak untuk menolak sesuatu yang diberikan kepada orang lain." Ketika Sternau tetap menolak juga, Roseta mendekapnya, memasukkan surat itu ke dalam tangan, lalu berbisik perlahan sekali, "Carlos, terimalah demi aku!" Ini mematahkan segala perlawanannya. Ia mengucapkan terima kasih serta menjabat tangan kedua orang itu. Kemudian ia pergi. Sesampai di kamarnya baru diketahuinya bahwa surat di dalam tangannya itu berupa surat cek seharga dua puluh lima ribu piaster perak, suatu honorarium yang layak dianugerahkan oleh raja-raja, yang dalam sekejap mata dapat mengubahnya menjadi seorang hartawan. Roseta mengira, bahwa Sternau lekas-lekas pergi karena ia merasa dirinya tersinggung. "Aku kira tidak, Nak. Ia tidak boleh memandang kepada uangnya, melainkan kepada itikad yang baik. Ia bukan menerima honorarium, melainkan segala yang kumiliki adalah miliknya juga. Tekankan sekali lagi hal itu kepadanya, Roseta! Tetapi kini lekaslah siapkan supaya semua orang mengambil bagian dalam suasana gembira ini!" Bersambung ke Jilid III Sumber Pdf: http://id.karlmay.wikia.com/wiki/E-Book Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net